Postmodern dan Bule Masuk Kampung

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Kesadaran mengenai asupan tubuh yang lebih orisinil sehingga tubuh kita terjamin dari ancaman micin, apakah sebuah keutuhan pemahaman mengenai hidup sehat ? Seorang bule Jerman begitu selektif memilih makanan yang dia santap. Dia pun menolak makan bakso, setelah bertanya, apakah di bakso itu ada micin? Apakah lidah kita sudah mengalami doktrin micinisasi hingga jauh merasuk dalam keyakinan kita ?

3 Februari lalu, Alhamdulillah masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk pulang ke tanah kelahiran setelah hampir dua tahun terdampar di Negeri der Panzer. Momen tersebut begitu berarti setelah sekian lama menabung kerinduan di Negeri seberang. Mudik dan Desa dua khasanah yang tak akan pernah bisa dipisahkan dalam perjalanan kehidupan saya. Suasana kekerabatan, gotong royong, hidup sederhana, dan beragam kekhasan lain yang mungkin telah memudar atau bahkan langka ditemukan lagi hari-hari ini.

Dikarenakan tidak banyak barang yang akan dibawa pulang berinisiatiflah saya untuk ikut tradisi teman-teman di perantauan berupa jasa jual bagasi. Jasa jual bagasi ini kebanyakan dilakukan oleh para mahasiswa dari Jerman yang hendak pulang ke Indonesia dan menjual bagasinya dengan harga per kilogram sekian Euro. Selain menguntungkan bagi para mahasiswa yang rata-rata di Jerman ini Kuliah sambil Bekerja, tradisi tersebut juga menguntungkan para pembeli jasa sebagai alternatif mengirimkan barang dengan segera sebab kesempatan untuk pulang ke Tanah Air yang memang masih jauh dari perencanaan.

RelatedPosts

Dari sekian nama yang menitipkan barang ke saya, kebetulan satu diantaranya adalah Mbak Bule Jerman yang telah tinggal lebih dari tiga tahun di Yogyakarta, sebut saja namanya Mbak Susie. Hari berikutnya, tanggal 4 Mbak Susie berencana mengambil barang ke rumah. Dengan modal share-loc dari Whatsapp berangkatlah Mbak Susie beserta sang anak mencari alamat yang juga berada sekitar 12 Km dari puncak Merapi itu. Meski dihadang hujan deras bulan Februari dan bertanya ke orang di jalan, sampailah Mbak Susie di rumah saya. Entah kebetulan atau tidak Mbak Susie ini sepertinya orang Bule pertama yang masuk ke dusun kami dan dia sangat terkesan dengan hijaunya rerimbunan pohon Salak yang tak putus-putusnya di daerah kecamatan kami.

Makanan-makanan Bio setidaknya 5 sampai 15 tahun terakhir menjadi pilihan utama mayoritas warga Jerman yang telah sadar akan pentingnya makanan yang diproduksi secara baik, sehat serta tidak banyak campuran zat kimia bagi kesehatan.

Setelah menyerahkan barang-barang titipan yang kebanyakan adalah makanan berlabel Bio, kami pun mengobrol panjang lebar. Makanan-makanan Bio setidaknya 5 sampai 15 tahun terakhir menjadi pilihan utama mayoritas warga Jerman yang telah sadar akan pentingnya makanan yang diproduksi secara baik, sehat serta tidak banyak campuran zat kimia bagi kesehatan. Harga produk-produk Bio ini pun lebih mahal daripada produk makanan biasa lainnya. Mbak Susie ini rela membeli hampir 10 Kg produk-produk Bio dari Jerman untuk sediaan bagi dirinya dan sang anak. Bio di Indonesia bisa hampir disamakan dengan produk-produk organik yang tidak menggunakan obat atau bahan kimia tambahan dalam proses produksinya.

Ada tiga hal lain yang membuat saya terperanjat dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 4 jam itu. Kalau hal-hal tersebut terjadi di Jerman maka saya tak akan heran, namun saya sangat salut karena kebetulan itu terjadi di Indonesia dan di Rumah kami. Oh ya, Mbak Susie ini usianya kira-kira masih dibawah 35 tahun, saya pribadi enggan bertanya karena itu merupakan wilayah privasi yang kebanyakan Bule tidak menyukainya jika ada yang bertanya.

Pertama, dikarenakan dingin setelah hujan kami berinisiatif menyajikan bakso hangat bagi Mbak Susie dan sang anak. Sejurus kemudian Mbak Susie bertanya, itu di dalamnya apakah ada kandungan micin-nya? Sontak kami pun mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Meskipun si Anak sangat menginginkannya, Mbak Susie hanya memperbolehkan si Anak mengambilnya satu butir. Sedang minumannya pun dia tak mau teh dengan gula yang kebanyakan menjadi minuman utama bagi tamu, Mbak Susie memilih untuk segelas air  putih hangat saja.

Momen kedua, kala Mbak Susie menengok kolam belakang rumah kami yang kebetulan ikannya sudah besar-besar karena Bapak memang merencakan untuk menangkapnya setelah saya pulang ke rumah. Mbak Susie pun bertanya, ikannya dikasih makan apa kalau di sini? Tradisi di rumah kami sekian lama sebenarnya hanya memberinya dedaunan lalu entah sudah berapa lama akhir-akhir ini juga menggunakan pelet sebagai tambahan. Mbak Susie pun bilang kalau pelet itu pun sebenarnya tidak baik buat ikan, karena banyak kimianya. Saya sendiri pun saat itu sebenarnya belum menyelidiki dari apakah pelet terbuat? Momen menohok yang luput dari pengetahuan saya pribadi dan hanya berarti harus lebih teliti dan belajar lebih lagi tentang apa-apa saja kandungan dalam setiap makanan itu.

Momen ketiga, setelah dua hingga tiga jam mengobrol kesana-kemari dan hujan sepertinya telah usai Mbak Susie beserta anak ingin ditemani jalan-jalan ke luar melihat-lihat dusun. Di sebelah timur dusun kami terdapat Benteng yang dibangun lebih tinggi dari pemukiman warga sebab berbatasan langsung dengan Kali Bebeng (Sungai Bebeng) yang dulunya dibuat untuk menanggulangi Banjir Lahar Dingin Merapi yang dulu pernah menyapa dusun kami. Hilir dari Kali Bebeng ini nantinya adalah Kali Krasak yang menjadi batas antara Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mbak Susie menyampaikan kesannya akan sangat senang bisa jalan-jalan di hijaunya dusun kami, melihat banyak tanaman palawija, kolam, juga pohon-pohon Kelapa yang begitu langka. Saya sendiri sangat maklum sebab di Jerman tidak ada pohon Kelapa dan imajinasi mereka tentang liburan indah ialah bisa berjemur di Pantai dibawah pohon-pohon Kelapa dengan hangatnya sinar mentari yang menyinari.

Posmodernisme, Kembali ke yang Aslikah ?

Salah satu ide positif dalam Postmodernisme ialah penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi dan spiritual yang tergeser oleh rasionalisme yang pragmatis. Masa dimana suatu hal dapat mudah sekali terganti dengan hal yang baru yang memiliki nilai lebih tinggi sebab manusia tak lagi memandang modernisasi sebagai suatu upaya yang dapat memuaskan kebutuhan mereka. Salah satu ciri postmodern sebagaimana cerita di atas bisa kita sebut kecenderungan adanya Bali Ndeso, Kembali ke Desa, kembali pada kearifan-kearifan yang telah lahir dan mengakar sejak dahulu di sana. Seperti semangat bule yang saya ceritakan di atas, barangkali peristiwa tersebut bisa dikait-kaitkan, oh ternyata postmodern sendiri pertama kali muncul dari Jerman pada tahun 1917 oleh Rudolf Pannwitz. Kalau ada bule Jerman sadar terhadap kebutuhan otentik tubuhnya dan selalu bertanya yang asli-asli, maka posmodern adalah kesadaran membongkar kepalsuan menuju keaslian. Dan gaya hidup resto kembali ke budaya dan tradisi akan menjadi bagian dari kesadaran akan yang asli.

Pada budaya makan sendiri orang-orang Indonesia terutama konsep-konsep restoran sudah banyak yang kembali menampilkan suasana budaya adat sebagai ikon yang dihadirkan tahun-tahun belakangan ini. Di Jogja misalnya telah menjamur konsep resto dengan dekor Joglo, Saung, hiburan instrumen gamelan, Lesehan, Makan dengan tangan langsung, Kendi, dan suasana khas Jogja dan Jawa lainnya. Pada perjalanan waktu benar bahwa jadilah dirimu sendiri, diri yang ditakdirkan Tuhan terlahir bersuku Jawa dengan budaya dan keluhurannya yang tinggi. Jangan mudah latah, ikut-ikutan budaya lain yang malah jauh melenceng dari sejatinya diri kita. Terimakasih kepada Mbak Susie dan family yang telah mengingatkan akan budaya Jawa kami yang setidaknya telah banyak berubah sekitar 20 tahun terakhir ini.

Apakah Bali Deso itu berarti kembalinya lidah orisinil tanpa micin. Orang Jerman mengingatkan saya, kehadiran Bule Kampung menyadarkan jika reproduksi kebudayaan Jawa dalam berbagai ekshibisi modern seperti kuliner, ekonomi kreatif dan berbagai pilihan barunya, apakah sejatinya mereka hanya sebagai kegiatan membangun branding atau mereka pun telah mampu mengembalikan taste lidah kulinernya tanpa micin ? Posmodernisme berarti melawan hegemoni micinisasi yang meninabobokkan.

30 JUNI 2018. BADEN WUERTTEMBERG, JERMAN

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.