Petani Pinggiran yang Paling Mudah Bertahan dalam Pandemi Virus Corona

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Pandemi Virus Corona jelas menggilas perekonomian warga. Berbagai tempat kerja libur dan sejumlah aktifitas ekonomi mandek. Gerak orang dibatasi demi memutus laju Covid-19. Siapa yang paling mudah bertahan? Saat persediaan pangan semakin menipis, petani pinggiranlah yang masih bisa memetik aneka tanam yang dapat langsung dijadikan bahan makan sehari-hari sebagaimana keseharian mereka juga bertahan dengan hasil tanamnya.


Kampusdesa.or.id–Kedatangan orang-orang dari daerah perkotaan, terutama kota-kota yang dinyatakan Zona Merah dalam hal sebaran virus Corona (Covid-19), mendapatkan reaksi dari wilayah-wilayah pinggiran. Di Kabupaten Trenggalek, misalnya, tempat-tempat wisata yang selalu banyak didatangi orang-orang dari wilayah perkotaan ditutup.

Berikutnya, setelah penutupan tempat wisata adalah larangan bagi acara yang melibatkan kerumuman massa. Dan yang baru saja dilakukan oleh pemerintah daerah Trenggalek adalah memblokir jalan-jalan untuk mencegah orang-orang dari kota yang masuk. Tentu saja setelah berbagai kota melakukan instruksi untuk tidak keluar rumah bagi warganya, yang tersisa adalah orang-orang dari kota yang datang ke Trenggalek untuk pulang kampung.

RelatedPosts

Rerata mereka adalah yang bekerja di kota dan luar daerah (baik luar pulau atau luar negara) yang pulang kampung karena tempat pekerjaannya ditutup. Awalnya migrasi adalah ikhtiar ekonomi, dan pulang kampung kali ini adalah untuk kembali ketika usaha mencari penghidupan di luar kampung halaman mengalami kebuntuan akibat ekonomi lesu. Tambahan lagi, mereka juga akan ikut hidup lagi di kampung halaman.

Ketika sektor industri baik manufaktur maupun sektor informal di perkotaan lesu dan bahkan mati, maka orang-orang ini kembali ke kampung halaman yang masih punya bahan pangan untuk hidup. Tentunya mereka yang pulang kampung ini masih harus dicurigai, jangan-jangan membawa virus dari kota. Mereka otomatis bahkan ditetapkan sebagai orang dalam pengawasan (ODP).

Dengan kedatangan orang-orang dari kota dan pusat-pusat wilayah yang selama ini ramai dan sudah menjadi kota yang mati, daerah pingiran yang bercorak pertanian dan perladangan dianggap masih bisa menampung mereka yang kembali secara ekonomi. Setidaknya, di era matinya interaksi antar umat manusia, kembali ke desa setidaknya masih bisa “nunut makan” dengan orang-orang yang di rumah.

Sebenarnya sejauh mana daya tahan orang-orang pinggiran terutama yang corak produksinya berbasis tanah itu dibanding sektor-sektor masyarakat yang lain?

Mereka yang selama ini hidup dengan menyandarkan dari tanah, yang menanam dan mengambil hasil dari tanah itu, merekalah yang tetap bisa bertahan.


Ada yang beranggapan bahwa selain Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pekerjaan yang tiap bulan dapat gaji dari negara, yang paling aman adalah Petani atau mereka yang punya tanah. Ini bisa kita lihat saat ini misalnya di masyarakat yang tinggal di dekat sawah dan gunung atau bukit. Mereka yang selama ini hidup dengan menyandarkan dari tanah, yang menanam dan mengambil hasil dari tanah itu, merekalah yang tetap bisa bertahan. Merekalah yang juga merupakan kalangan yang punya kekawatiran amat kecil terhadap isu Corona.

Tanah, apalagi di musim ini, benar-benar mampu menumbuhkan tanaman sebagai sumber makanan dengan baik. Di beberapa wilayah pinggiran Trenggalek, misalnya, jagung saat ini menghasilkan panen yang baik. Sawah sebentar lagi juga panen dan juga akan ditanami lagi, dan nantinya akan membuahkan hasil lagi. Bagi penduduk pinggir hutan dan tepi sawah, mereka juga masih punya sapi dan kambing, serta persediaan rumput yang tumbuh di atas tanah yang siap potong sebagai makanan ternak berkaki empat itu. Demikian juga ayam juga masih terpelihara dengan baik.

Bagi yang punya sawah memang lebih aman lagi. Saat persediaan gabah masih tersimpan dalam beberapa atau banyak karung yang bertumpuk di salah satu ruangan dalam rumah, selain untuk makan kelebihannya juga masih bisa dijual. Apalagi setelah panen yang akan datang ini. Bagi yang punya sawah untuk tanam padi, ladang untuk tanam jagung dan ketela, dan masih punya dua ekor sapi, beberapa ekor kambing atau belasan ayam kampung, memang masih ada yang diharapkan untuk ke depannya.

Sayur daun ketela. Sayur seperti ini tidak harus membeli. Cukup memetik dari ladang akan cukup untuk makan sehari-hari.
Desa selama ini memang menjadi basis produksi pangan, meskipun tak selalu produksi pangan sebagai bahan industri di perkotaan. Meskipun kegiatan bertani belum bisa mengangkat mereka ke arah perbaikan hidup yang lebih baik dibanding sektor lainnya, setidaknya kegiatan bertani di desa bisa menjadi cara bertahan hidup.

Selama ini penghasilan dari bertani hanya untuk makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok belum tentu mampu. Para petani kecil ini tidak bisa memenuhi kebutuhan papan dari bertani. Buktinya, rerata orang desa bisa membangun rumah setelah mereka juga mencari uang ke kota atau ke luar daerah ketika sawah dan ladang bisa ditinggal. Untuk memenuhi kebutuhan yang membutuhkan uang yang cukup banyak, mereka tidak bisa mengandalkan hasil dari bertani.

Mereka amat mimim uang (cash money). Berbeda dengan para pegawai negeri, pedagang, buruh di pabrik, dan sektor informal lainnya (sebelum isu Virus Corona). Bisa dilihat ketika mereka mau membuat acara pesta pernikahan anak, misalnya. Ada yang menjual sapi peliharaannya dulu. Bahkan ada yang kebutuhan pesta (“nduwe gawe”) didapat dari hutangan dulu dan akan dibayar setelah acara selesai, dari uang arisan dari acara “nduwe gawe” atau “becekan”.

Kebiasaan tidak memegang uang atau kebiasaan punya uang minim tapi punya bahan makanan yang mudah didapat dari tanah yang dimiliki inilah yang membuat mereka tidak berada pada mata rantai paling beresiko dalam situasi krisis dan kelesuan ekonomi.

Kebiasaan tidak memegang uang atau kebiasaan punya uang minim tapi punya bahan makanan yang mudah didapat dari tanah yang dimiliki inilah yang membuat mereka tidak berada pada mata rantai paling beresiko dalam situasi krisis dan kelesuan ekonomi. Mereka sudah terbiasa beradaptasi dengan keadaan tanpa memegang uang.

Hal ini berbeda dengan kalangan masyarakat yang selama ini terikat dengan hubungan kerja dengan majikan sementara unit usaha di mana mereka bekerja dibubarkan karena isu Corona. Tidak sama pula dengan orang yang tiap hari harus menggunakan uang untuk bisa makan, seperti kalangan masyarakat di perkotaan. Alangkah sengsaranya buruh pabrik yang pabriknya tutup dan tak lagi mendapatkan upah untuk membiayai hidupnya.

Lebih parah lagi adalah sektor informal. Pedagang makanan yang warungnya tutup. Pekerja seni seperti penyanyi dan MC yang terbiasa hadir menghibur pada acara-acara pernikahan atau di kegiatan-kegiatan yang melibatkan kerumunan massa, sementara kerumunan massa dilarang. Pembubaran acara nikahan yang sedang diisi hiburan musik elekton terjadi beberapa hari lalu di Trenggalek. Nasib buruk dialami oleh orang-orang yang selama ini mendapatkan penghasilan dari keberadaan kerumuman massa dan keramaian interaksi antar manusia di luar rumah.

Memang harus kita pahami pula bahwa para petani dan peladang yang kebanyakan tingal di daerah pinggiran memang tidak berarti punya dampak dari kelesuan ekonomi di perkotaan. Buktinya anak-anak, saudara, orangtua, atau siapapun yang masih belum punya rumah di perkotaan pada pulang kampung di desa. Anggota keluarga bertambah dan tanggungan ekonomi juga meningkat.

Belum lagi kalau nantinya terjadi dinamika ekonomi di mana harga-harga barang meningkat lebih tajam daripada bahan-bahan pangan. Jika harga beras, sayur, lombok, bumbu, dan produksi pertanian naik barangkali petani yang selama ini masih bisa menanam tidak akan begitu terkena dampak yang paling parah. Tapi kalau sudah harga sabun, rokok, bahan bakar dan energi, dan produk industri dari luar desa meningkat pesat, maka siapapun juga akan susah—termasuk kaum tani dan orang-orang pinggiran yang masih punya sawah dan ladang.

Sebab kebutuhan sehari-hari itu bukan hanya dari apa yang bisa dihasilkan dari menanam saja, tapi juga banyak hal. Katakanlah ada beras dan lauk, tapi bagaimana misal harga bensin dan gas meningkat pesat sementara meskipun hidup di pinggir gunung dan sawah, masak sudah tak pakai kayu bakar. Ketergantungan pada produk yang tidak bisa diproduksi sendiri menjadi potensi masalah dalam hal ini.***

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.