Empat desa yang disebut adalah MARGOMULYO, PRIGI, TASIKMADU, DAN KARANGGANDU. Warga memang sudah merasa tolerans hidungnya sehingga bahu yang menyengat tidak lagi dianggap mengganggu. Yang pasti, secara ekologis, limbah akan merusak ekosistem. Ditunggu peran pemerintah setempat secepatnya atau terjadi kerusakan yang ongkosnya jauh lebih besar karena terlambat. Mungkinkah limbah pindang adalah peristiwa tersisa yang luput ditengah kesuksesan Emil Dardak ?
KampusDesa, Tenggalek–Minggu 09 Juli 2018. Dalam keadaan badan tidak sehat, saya meluncur ke acara “kumpulan” yang diadakan oleh para pemuda di Watulimo, Trenggalek. Acara bertempat di Dukuh Sempu, Desa Margomulyo. Kumpulan ini adalah untuk mendiskusikan keberadaan pencemaran limbah yang mencemari sungai-sungai mereka akibat industri ikan pindang di beberapa titik (tempat) oleh beberapa pengusaha di Desa tersebut.
Ada 20-an pemuda yang hadir, selain dari Desa Margomulyo juga hadir pemuda dari desa dan kecamatan lain dalam diskusi mengatasi masalah yang menjadi ancaman serius terhadap ekologi dan kesehatan, air tanah, air sumur, dan efek perusakan keanekaragaman hayati bagi masyarakat desa. Mereka hadir dari desa Tasikmadu, desa Watu Agung, dari Pogalan, dan Kampak yang merupakan teman teman yang bersolidaritas untuk mendukung penyikapan limbah pindang.
Sebelum rapat dan diskusi di siang harinya, beberapa pemuda sempat melalukan susur sungai untuk kembali mendokumentasikan keberadaan limbah. Saya juga ikut di dalamnya, menyusuri beberapa sungai besar dan kecil yang ada di Dukuh tempat saya dilahirkan itu, termasuk sungai yang memisahkan desa kami dengan desa satunya. Hasilnya, ternyata kondisinya amat parah, hingga kami pada suatu kesimpulan bahwa limbah pindang ini tak boleh lagi dibuang ke sungai.
Sekitar jam 14.00 para pemuda sudah berkumpul di rumah Joko, salah seorang pemuda, yang rumahnya tepat 4 meter dari sungai kecil yang penuh limbah. Dalam rapat ini, di bahasa sejarah muculnya limbah yang tentunta bersamaan dengan keberadaan limbah pindang yang mulai muncul sudah lama sekali, sejak tahun 1990-an. Dampak sekian tahun membuat lingkungan tak bisa lagi menjaga keseimbangan ekosistem, dampak kesehatan, dan dampak pada air sumur yang tak layak lagi dikonsumsi.
Para Aktifis Lingkungan bergerak
Joko, pemuda gagah yang sering memviralkan keberadaan limbah pindang di dekat rumahnya itu memang merasa geram, demikian juga para pemuda lainnya. Upaya mencari solusi tak pernah mulus, karena memang masih belum ada kesadaran massif di kalangan lingkungan yang kebanyakan hanya pasrah. Bahkan seperti sudah biasa dengan bau busuk limbah yang lewat sungai-sungai. Upaya pemerintah daerah beberapa tahun sebelumnya untuk mensentralisir usaha pindang di satu titik, juga tak dikawal. Hanya sebatas kegiatan “proyek” yang hanya dilihat anggarannya saja.
Rakyat sendiri menganggap hidung yang sudah terbiasa dengan bau busuk adalah hal yang biasa dan bahkan adaptasi organ tubuh terhadap limbah ini tak lagi membuat bau busuk dari hidung mengganggu pikiran.
Efeknya, tanpa kawalan dan keseriusan untuk menyelesaikan masalah ini, rakyatlah yang menerima dampak buruknya. Karena industri yang mengasilkan limbah membahayakan ini tetap ada yang beroperasi di lingkungan pemukiman penduduk dan limbahnya dibuang ke sungai. Rakyat sendiri menganggap hidung yang sudah terbiasa dengan bau busuk adalah hal yang biasa dan bahkan adaptasi organ tubuh terhadap limbah ini tak lagi membuat bau busuk dari hidung mengganggu pikiran. Padahal, efek yang paling nyata adalah pada air tanah serta jelas-jelas pada jilangnya keanekaragaman hayati.
Limbah pindang telah menghilangkan spesies yang ada di sungai kami. Dulu di sungai itu hidup berbagai spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan di sisi sungai. Ada udang, berbagai jenis ikan (Wader, Sidat atau ‘Gatheng’, Kepiting berbagai jenis, Ikan Cerek, Ikan Glendeng, Lele lokal, dan berbagai jenis spesies dalam sebuah ekosistem. Sekarang ekosistem hilang dan keanekaragaman hayati musnah. Yang ada adalah air busuk, penuh racun, masuk ke dalam tanah yang kemungkinan besar masuk ke air sumur.
Ada kabar bahwa Bupati Trenggalek akan datang ke Prigi untuk meninjau limbah pindang ini karena isu limbah ini memang santer beredar beberapa minggu terakhir ini.
Dalam diskusi, Joko juga menginformasikan bahwa ada kabar bahwa Bupati Trenggalek akan datang ke Prigi untuk meninjau limbah pindang ini karena isu limbah ini memang santer beredar beberapa minggu terakhir ini. Bahkan konon Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), dinas Lingkungan Hidup, kataya sudah turun, tapi dalam diskusi ini semua mengaku tidak tahu di mana di mana turunnya. Serta belum jelas pula hasil dan tindaklanjutnya.
Sehingga, dalam diskusi ini, 20-an orang termasuk pak RT, tokoh di dukuh Sempu, dan beberapa pengurus Karangtaruna yang datang di rapat kemarin juga membentuk wadah yang bernama Jaringan Aksi Masyarakat untuk Budaya dan Ekologi (JAMBE) yang ingin menjadikan wadah ini sebagai lembaga pemberdayaan di bidang lingkungan dan dalam proses berjejaring dengan organisasi lingkungan di kabupaten lain, di propinsi, dan nasional ke depannya.
Potret pencemaran lingkungan dari limbah pindang
Pembentukan organisasi ini adalah salah satu metode membangun gerakan yang terorganisir. Sebab ternyata masalah yang dihadapi masyarakat Sempu, Margo, dan desa-desa lainnya di Watulimo, bahkan masyarakat Trenggalek bukan hanya masalah limbah pindang saja, tapi juga sampah serta setumpuk persoalan ekologi dan kebudayaan yang parah.
Dari diskusi ini juga dinyatakan sikap yang harus disampaikan pada publik. Berpatok pada isu awal yang harus diatasi adalah limbah pindang dan sampah sungai. Mereka menyepakati tuntutan mendesak yang akan dilontarkan ke media massa, antara lain.
Pertama, mereka memohon jika Bupati benar-benar terjun ke lapangan, pastikan terjun ke Dukuh Sempu tepatnya RT 14 RW 01 Desa Margomulyo karena memang merupakan tempat limbah yang parah. Dukuh sempu adalah wilayah yang memang dilingkari sungai yang semuanya kebak limbah. Mereka juga menuntut agar pemerintah menjadikan isu limbah ini sebagai prioritas untuk diatasi dan dituntaskan.
Kedua, TOLAK BUANG LIMBAH DI SUNGAI adalah harga mati, tuntutan yang tak bisa ditawar lagi. Ketiga, mengajak pemerintah, mulai kabupaten, kecamatan, dan desa untuk melakukan penyadaran massif atasi masalah limbah dan sampah di sungai.
Negara Indonesia punya tujuan untuk “melindungi segenap bangsa” dan “memajukan kesejahteraan umum”. Frase indah dalam Preambule UUD 1945 itu bermakna bahwa semua orang harus dilindungi, diberi penghidupan yang layak, bebas dari imbas buruk. Kegiatan yang dilakukan dalam keseharian, termasuk membangun usaha, tidak boleh merugikan orang lain, tak boleh memberikan pencemaran pada orang lain sementara si pembuat limbah yang hanya memikirkan keuntungan pribadi tak peduli lingkungan sekitarnya.
Konstitusi kita (UUD 45) menegaskan bahwa salah satu hak rakyat adalah dalam hal LINGKUNGAN HIDUP. Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutak dari kehidupan manusia. Dalam UUD 45, dari pasal 28 H ayat 1 dinyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK DAN SEHAT serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Sebagai warga masyarakat (apalagi Negara/pemerintah) Indonesia kita mungkin bisa memperjuangkan hak-hak tersebut karena hal itu akan menjamin utuhnya sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” agar tidak tercoreng oleh orang yang mengaku orang Indonesia tetapi tidak bisa menjaga HAM yang telah diatur di Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menghentikan ketidakadilan di Indonesia sebelum pelanggaran HAM merajai Indonesia kembali kita perlu menamkan kepada diri kita sendiri tentang pentingnya menjaga hak asasi orang lain, mungkin secara tidak sadar atau tidak sengaja kita telah melanggar HAM tapi jika kita telah mengetahui hak yang telah kita langgar kita harus segera meminta maaf untuk mencegah pelanggaran HAM yang lebih besar.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditegaskan bahwa harus ada upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam berbagai kegiatan, termasuk usaha.
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi payung hukum bagi setiap kegiatan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam melakukan pembangunan, termasuk industri dan penataan kawasan. Pemerintah (Negara) harus hadir ketika ada kepentingan yang tak terdamaikan di masyarakat.
Prinsip ini berkaitan dengan peraturan pemerintah tentang penataan ruang dan wilayah yang harus memperhatikan dampak lingkungan. Sudah benarkah bahwa industri yang membawa dampak kerusakan lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang berada di daerah pemukiman di mana air bersih dan sungai bersih amat dibutuhkan? Sudahkah Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek ditegakkan dengan prinsip tersebut?
Perlu sekali untuk membuat gerakan bersama melakukan pelestarian lingkungan hidup Trenggalek. Kasus Limbah Pindang di dukuh kami, dan di Prigi umumnya, harus kita jadikan gerakan penyadaran. Harus kita jadikan test-case apakah Negara ini serius dalam mengurusi lingkungannya, melindungi korban limbah industri. Serta bagaimana menata industri itu sesuai dengan prinsip-prinsip UU dan peraturan daerah. Untuk apa UU dan Peraturan dibuat kalau tidak ditegakkan?*