Perempuan Seharusnya Bisa Keluar dari Budaya Patriarki

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Budaya patriarki, yakni budaya yang mengunggulkan laki-laki masih menyisakan beragam kisah tentang perempuan yang masih dipinggirkan atau mengalami marginalisasi. Tak terasa perempuan juga ikut melanggengkan budaya patriarki tersebut. Ketidakadilan terhadap perempuan akhirnya tetap mendapat legitimasi atas nama kuasa laki-laki.

Kampusdesa.or.id–Saya saksikan dan saya “niteni” memang “iya” , perempuan kadangkala tidak sadar bahwa dia telah melemahkan dirinya sendiri dan kaumnya.

Di tempat kerja dan lingkungan sosial masih ada perempuan terperangkap dalam perundungan. Perundungnya perempuan dan laki-laki.

RelatedPosts

Perempuan yang melejit prestasi kerjanya, ada saja tekanan dari atas agar perempuan tersebut tidak banyak diberdayakan di bidang lain. Dibuatlah framing bahwa perempuan tersebut tidak patuh aturan organisasi, instansi atau komunitas. Perempuan lainnya tidak kuasa membela atau bahkan merasa kebetulan temannya tidak diberdayakan. Entahlah.

Perempuan masih merelakan lisannya menggunjing sesama perempuan tentang perilaku kerjanya dan perilaku hidupnya. Perempuan masih memandang dan berujar sinis ke perempuan lainnya ketika ia kalah bagus prestasinya. Perempuan yang semestinya saling mengapresiasi tetapi terjebak dalam sentimen antar-pribadi.

Ada pula hanya sekedar ingin mengungkapkan rasa tidak nyaman melihat perilaku perempuan, gunjingan pun dilancarkan. Nyata-nyata disampaikan di ruang terbuka dengan kesan merendahkan pun juga ada. Ini dengan sesama perempuan. Ini seperti realitas konflik yang menjadikan hubungan antar-perempuan tidak saling mendukung proses keberdayaan. Padahal situasi saling mengapresiasi keberdayaan sesama perempuan akan membantu proses bahu membahu melawan marginalisasi.

Seharusnya perempuan berprestasi yang ditekan oleh upaya marginalisasi kepentingan tertentu layak dibela. Perlakukan perempuan tersebut sebagai wakil kelompok perempuan yang mewakili kesuksesan bersama. Ia bisa menjadi sumber belajar, mengisnpirasi, memberi contoh, dan tempat berkonsultasi sesuai bidang yang digeluti bersama. Tapi, nyatanya kaum perempuan kurang greget menuju ke sana.

Baca juga: Pelajaran Hidup Dari Kerelawanan di Chow Kit

Jika ada perilaku kerjanya atau perilaku hidupnya tidak tepat, tentunya semakin mempererat kebersamaan jika diingatkan dengan suasana kebersamaan. Lebih bijak dan lebih cerdas dari menggunjing dan merundung bukan?

Perempuan kadangkala juga melemahkan dirinya sendiri dengan malas menambah wawasan. Kurang wawasan akan menjadi bahan olok-olok lagi. Kurang pengetahuan menyebabkan perempuan tidak tahu dirinya diperlakukan tidak semestinya. Seperti apa pelabelan, marginalisasi, dan budaya patriarki dalam ujaran dan perilaku mereka tidak tahu. Jika demikian, justru dari perempuan, budaya #patriarki dibudidayakan.

Perempuan Melawan Marginalisasi

Kerap kali perempuan ikut pula melanggengkan pelabelan yang tak menguntungkan. Mengadvokasi dirinya tapi tak tepat.

“Maklum peran multitasking, jadi tidak fokus, suka lupa.” Yang tak punya peran multitasking juga bisa lupa, pernah tak fokus jugakan?

Baca juga: Perempuan Mandiri Itu Tidak Melulu Sibuk di Ranah Publik

Perempuan juga menyetujui budaya patriarki berlangsung di lingkungannya dengan memilih pemimpin tidak melihat kinerjanya, tapi karena jenis kelaminnya. Akhirnya meski tidak kompetens tetapi karena jenis kelaminnya laki-laki, itu yang lebih dikedepankan.

Perempuan yang kerjanya “cekat-ceket” atau energik, dan cepat tuntas banyak juga.

Astatik Bestari

Iyo, enak wong lanang sing mimpin, cekat ceket“. Perempuan yang kerjanya “cekat-ceket” atau energik, dan cepat tuntas banyak juga. Mereka yang berani menjadi pemimpin sudah memiliki keahlian itu, dan terbukti.

Gara-gara budaya patriarki inilah perempuan diajak meminggirkan / memarginalisasi kaumnya sendiri sedemikian tidak menyadarinya. Perempuan yang berpotensi lebih baik kinerjanya dari laki-laki diupayakan tidak diberdayakan di bidang lain, terkendala naik jabatan dengan dalih “pantes wong lanang sing njabat” Anehnya perempuan yang lain tidak berkutik untuk memperjuangkan.

Baca juga: Perempuan di Balik Sekolah Rakyat dan Wisata Desa Petung Ulung Nganjuk

Nah, ilmu pengetahuan sepertinya yang mampu menolong perempuan agar bisa menjaga dirinya sendiri, memperjuangkan kaumnya, berbuat dan berkarya lebih banyak untuk kepentingan yang lebih luas lagi. Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan pencapaian kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dapat menyadarkan perempuan dan memberi kesempatan bagi perjuangan mereka.

Oleh karena itu, janganlah perempuan terperangkap dalam budaya patriarki dan justru rame-rame mengamininya. Lebih menarik jika perempuan juga turut menyadari proses saling berdaya adalah kekuatan bersama bagi setiap perempuan untuk selalu bergotong royong dalam melawan budaya patriarki dengan cara penuh kerja keras, dan tentunya berdiri di atas prestasi.

Baca artikel lain dari Astatik Bestari di laman Kamipus Desa Indonesia

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.