Interaksionisme Simbolik; Antara Lonte dan Merdeka Belajar

325
SHARES
2.5k
VIEWS
METODE PENELITIAN KUALITATIF ITU BANYAK MACAMNYA, SALAH SATUNYA ADALAH INTERAKSIONISME SIMBOLIK. BERIKUT PETIKAN YANG MENJADI KATA KUNCI DARI MAKNA INTERAKSIONISME SIMBOLIK. DI SINI METODE INI DIUMPAMAKAN, MENGAPA NIKITA MIRZANI YANG DIHUJAT SEBAGAI LONTE JUSTRU MENDAPAT SIMPATISAN DARIPADA PEMBELA IMAM BESAR? BERIKUT REVIEW BUKU YANG TERSAJI BERIKUT INI.

Kampusdesa.or.id–Bertemu lagi dengan buku baru ya. Ini tentang metodologi penelitian dalam psikologi dan pendidikan.

Ok. Saya mulai dari kisah tentang, lonte lo. Kata yang terlontar oleh seorang pembela imam besar sempat santer beberapa waktu lalu. Kata yang menyerang sosok artis ternama di negeri ini, Nikita Mirzani. Si Nikita Mirzani waktu itu seperti menjadi sosok anti-kemapanan yang menjadi wacana tanding sosok imam besar. Dia menceburkan diri sebagai simbol amoral vis a vis moralis ala imam besar. Tapi amoralnya Nikita Mirzani yang boleh jadi seronok, justru menjadi simbol antitesis moralitas imam besar. Bahkan Nikita Mirzani justru menjadi sosok yang mampu mereduksi moralitas imam besar. Dia banyak dukungan dan simpatisan.

RelatedPosts

Sudut pandang seseorang akan berbeda dalam membuat makna dan menentukan perilaku. Mana mungkin sosok yang dilontekan justru mendapat simpatisan. Yah, karena lonte ditempatkan sebagai sudut pandang perlawanan dan pemihakan, sementara simbol agama yang semestinya mendapat pujian, justru diserang habis²an. Nah, simbol akan berbeda maknanya jika carapandangnya berbeda.

Ok. Itu kasus pertama untuk mencoba memahami konteks buku ini.

Saat di bangku sekolah dan kuliah, pernahkah Anda berebut menghindari tempat duduk terdepan. Duduk di depan penuh resiko. Jadi sasaran tunjuk guru dan dosen. Kalau ngantuk pasti kelihatan duluan. Duduk di depan berarti murid atau mahasiswa itu umumnya yang pintar-pintar. Meskipun tidak pintar amat, mereka biasanya teman-teman yang memiliki disiplin yang lebih baik.

Kalau saya, selalu menghindari duduk di depan selama di bangku-bangku sekolah. Heee…

Baca juga Pendidikan yang Membebaskan Ternyata Ada di Indonesia

Nah, guru perlu tahu itu. Guru perlu memahami bagaimana siswa menandai simbolis dirinya. Kalau dia pintar atau disiplin, dia akan mengambil tempat di depan, lebih dekat dengan gurunya. Penyimbolan ini menunjukkan jika si murid memiliki semangat yang kuat untuk berkomunikasi secara baik dengan gurunya. Bagi yang sengaja memilih duduk di belakang, boleh jadi dia mengambil jarak, dan memaknai dirinya sebagai simbol murid yang menghindari guru, agar tidak ketahuan jikalau belum mengerjakan PR, minimal tidak serta-merta menjadi obyek pandang utama. Duduk di belakang menyimbolkan kondisi dan keinginan tertentu bagi si murid.

Ketika kita ingin memahami relasi belajar yang merdeka, maka simbol-simbol guru dan muridlah yang perlu dipahami dan diciptakan dengan makna yang merdeka, baru merdeka belajar dapat diwujudkan,

Relasi guru murid selalu berebut simbol itu. Oleh karenanya, ketika kita ingin memahami relasi belajar yang merdeka, maka simbol-simbol guru dan muridlah yang perlu dipahami dan diciptakan dengan makna yang merdeka, baru merdeka belajar dapat diwujudkan, tetapi jika tidak maka proses belajar akan lebih searah dan tetap membelenggu relasi merdeka itu sendiri.

Untuk memahami makna berbagai simbol, khususnya dalam proses pendidikan sehingga tercipta perilaku yang produktif, setidaknya para guru perlu memahami cara kerja interaksionisme simbolik. Ada tiga hal mendasar yang perlu dipahami, yakni,

Pertama, interaksi. Hubungan guru murid sangat ditentukan oleh konsep simbol dari masing-masing orang. Jika guru menyimbolkan dirinya sebagai ororitas tunggal, maka selamanya guru akan menjadi penguasa kelas. Apalagi jika murid sudah terjebak sebagai sosok yang memaknai simbol diri dalam kepatuhan sub-ordinat, selamnya murid juga akan cenderung patuh atas kebenaran tunggal guru. Di sini, guru bisa menjadi momok dalam setiap proses belajar.

Baca juga Tak Seiman, Tapi Sejalan; Perjalanan Psikologis Gusdurian

Sebaliknya, jika guru dan murid berhubungan setara untuk saling mengisi, maka proses belajar akan berjalan dengan simbol saling melengkapi tujuan. Nah, perubahan penting dalam proses merdeka belajar dapat dicapai pada bagaimana simbol-simbol hubungan itu juga dikonsepsikan oleh guru dan murid dalam kerangka posisi yang menciptakan kemerdekaan? Tentu ini sangat penting mengubah simbol diri jika ingin menciptakan model merdeka belajar.

Kedua, makna. Interaksi menentukan makna. Jika interaksi terjadi antara guru dan murid dalam budaya subordinasi, maka posisi searah memiliki peran dalam proses pemahaman guru-murid. Jika makna terbentuk sub-ordinat, maka proses belajar pun akan timpang. Pengandaian ini memberikan pengakuan keberadaan yang tidak seimbang sehingga akan selalu melahirkan sudut pandang yang kontraproduktif, kecuali seorang murid memang menyukai cara seperti ini, maka semakin baik gurunya, maka semakin patuh muridnya, akan mencapai ekspektasi gurunya. Makna ini akan melahirkan anak-anak yang pandai secara akademik. Tentu ini akan bertolak-belakang dengan makna merdeka belajar. Merdeka belajar akan muncul ketika makna utama dibangun oleh murid, tentunya dengan model interaksi yang mendahulukan konsepsi makna dari murid yang lebih dikedepankan.

Baca juga: Siswa Radikal, Fenomena Survey atau Tamparan Pada Guru

Ketiga, perilaku. Makna adalah sudut pandang dari model interaksi yang dibangun seseorang. Jika lonte dimaknai sebagai sudut pandang perlawanan, maka konsep lonte adalah simbol tentang keberanian sosok seperti Nikita Mirzani untuk menyodok relasi kontraproduktif yang dihadirkan pembela imam besar sebagai sosok yang perlu dikendalikan dan dijinakkan. Begitu juga perilaku merdeka belajar, jika relasi masih sub-ordinat dan murid sebagai anak dengan disiplin atas-nama kepatuhan, maka merdeka belajar akan sulit melahirkan kemerdekaan konsep tentang otonomi siswa. Merdeka belajar berarti adalah perilakunya juga merdeka. Artinya, sekumpulan siswa akan memiliki karya yang beragam karena keragaman otonomi dalam berinterasi, membuat makna dan bertindak.

Kehadiran orang lain selalu dipandang dari sisi realitas simbolik dibalik setiap penampakan seseorang. Di situlah makna dibentuk dan perilaku tertentu akan muncul dalam konteks tranformasi simbol-simbol yang ada.

So, buku ini memberi dasar filosofi bagaimana memahami cara kerja interaksionisme simbolik. Buku ini memberikan dasar filosofi interaksi seseorang sudah sejak lama dipikir oleh para filosof sebagai dasar didalam memahami orang lain. Kehadiran orang lain selalu dipandang dari sisi realitas simbolik dibalik setiap penampakan seseorang. Di situlah makna dibentuk dan perilaku tertentu akan muncul dalam konteks tranformasi simbol-simbol yang ada.

Baca juga : Pendidikan yang Membebaskan Ternyata Ada di Indonesia

Pun, buku ini juga secara metodologis dapat digunakan sebagai teknik membongkar relasi dengan menguak simbol-simbol dibalik layar yang ditampakkan seseorang. Sebagaimana lagunya Akhmad Albar,

“Dunia ini, panggung sandiwara.”

Buku ini sangat baik dipelajari oleh guru, agar dapat menguak aneka simbol yang selama ini menjadi mitos dalam dunia pendidikan. Dengan memahami aneka simbol, seorang guru akan tahu apa semestinya yang dibutuhkan untuk merenovasi rumah pembelajaran mereka. Bahkan, jika merdeka belajar adalah makna baru dalam dunia pembelajaran, cara pandang itu hanya bisa dijadikan sebagai paradigma baru dalam pendidikan, manakala para guru bisa meriset perubahan mindset baru tentang kebutuhan simbol-simbol baru untuk mewujudkan merdeka belajar. Tanpa itu, mustahil merdeka belajar dijadikan sebagai habitus baru dalam pendidikan.

Milikilah buku ini, untuk berbodong-bondong mengubah simbol demi menginovasi cara baru pendidikan kita? Anda bisa belajar memahami relasi simbolik (interaksionisme simbolik) dengan belajar melakukan penelitian di kelas menggunakan panduan buku ini.

Buku Interaksionisme simbolik ini dapat dibeli secara online di Intrans Publishing.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.