Disrupsi Profesional Kampus, Maukah Mengalah Demi Merdeka Belajar?

Kampusdesa.or.id–Merdeka Belajar Kampus Merdeka membuat disrupsi profesional, utamanya nomenklatur kurikulum dan administrator akademik kalangan kampus. Sejauh yang saya tahu dari beberapa forum baik di kementerian agama dan beberapa dari kemenristek dikti, mereka mengambil proyek pertukaran mahasiswa dan perpindahan matakuliah dari satu kampus ke kampus lain. Pilihan ini memang yang paling mudah karena satu kultur administratif birokrasi. Ada juga yang magang di perusahaan dan proyek nasional yang membikin administrator akademik galau karena tidak sejalan antara proyek yang diambil dengan kemapanan capaian belajar di suatu program studi.

Bagi mahasiswa, mereka berharap dapat 20 kredit, tetapi ketika disodorkan program studi ternyata tidak sejalan dengan capaian pembelajaran yang sudah digedok sebagai privillese calon profesional.  Merdeka Belajar Kampus Merdeka menjadi tidak sederhana dan berada dalam kekacauan karena bertubrukan dengan kemapanan akademik yang memiliki otoritas menjamin kematangan calon profesional. Betulkah terjadi disrupsi profesional kampus?

RelatedPosts

Telaah filosofis yang semestinya dihidupi dalam merdeka belajar

Ada problematika filosofis yang belum diperkuat menyongsong merdeka belajar. Ada proses yang terus berulang saat perubahan kurikulum didistribusikan sebagai tanggungjawab administrasi akademik. Kegopohan langsung bergerak pada level administrasi kurikulum sehingga semua akhirnya berproses pada panduan teknis kurikulum. Ada kekhawatiran sistem jika tidak segera menemukan pola administratifnya maka akan ada ancaman standarisasi atas nama jaminan mutu. Sistem kuasa selalu menjadi alat hegemonik dan meninggalkan subyek pembelajar.

Sekali lagi, kurikulum menjadi kepentingan lembaga, bukan kepentingan mahasiswa. Suara mahasiswa tidak pernah didengar. Realitas ini menjadikan tiadanya perdebatan filosofis atau memang tidak pernah muncul inspirasi bagaimana filosofi kurikulum mewarnai desain kurikulum. Sedemikian mahasisiwa yang disebut sebagai subyek pembelajar aktif tidak pernah punya ruang menjadi pelaku kurikulum tetapi penerima jadi konstruksi kurikulum.

Sekali lagi, kurikulum menjadi kepentingan lembaga, bukan kepentingan mahasiswa. Suara mahasiswa tidak pernah didengar.

Merdeka Belajar membutuhkan kaca benggala dan keadilan dalam menempatkan mahasiswa sebagai subyek pencipta, bukan hanya subyek pembelajar. Sebagai subyek kreator mahasiswa memiliki keputusan menentukan apa yang seharusnya dipelajari. Lebih dari itu, mereka difasilitasi melalui kemerdekaan diri dalam melihat dirinya, difasilitasi memilih, dan bahkan mendesain inisiasi karir dalam berbagai kesempatan. Mereka mendapat ruang untuk berkolaborasi, memerkaya pengalaman, mencoba berbagai kesempatan, sedemikian dia memiliki jalan merintis karir dari kelas-kelas kreatif yang termobilisasi dalam keragaman peluang karir.

Eksperimentasi mahasiswa juga lebih obyektif ketika uji belajarnya langsung berkorelasi dengan praktik hidup dan teruji secara publik. Pengalaman belajar bukan dibatasi tumbuh dalam literasi tekstual dan dalil-dalil teoritis yang tidak berjejak dengan kontribusi hidup dirinya dan orang lain. Pengalaman belajar terwadahi langsung melalui obyektifikasi user ended. Dalam konteks uji publik, user ended adalah belajar aplikasi keilmuan yang relevan dengan hasil layanan, hasil produk, hasil pertumbuhan, termasuk hasil keuntungan yang dirasakan baik dari miniatur penerima manfaat dan feedback finansial yang dirasakan oleh pembelajar. Mahasiswa bertumbuh dalam eksperimentasi filsafat ilmu pengetahuan, yakni menemukan kebenaran (ontologis), mendapatkan logika ilmu (epistemologi), dan berdampak terhadap ketrampilan hidup secara kolektif (aksiologis).

Baca juga: Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

Kelas berperan menjadi dinamika produksi life-skill yang merdeka. Merdeka belajar tetap membutuhkan ruang kelas sebagai perjumpaan dialektika (diskusi) ilmu pengetahuan yang diisi oleh mahasiswa yang berjibaku dengan hasil-hasil eksperimentasi. Mereka sebagai pelaku vocasional, tetapi juga sebagai calon ahli yang diberi ruang untuk menyusun ilmu pengetahuan induktif dan deduktif menjadi literasi dalam menumbuhkan temuan mutakhir. Teori, dalil, dan buku teks didudukkan semata sebagai ekspresi literasi untuk dijadikan stimulan eksternal mahasiswa agar mereka menjadi sosok yang diberi mimbar bebas berpikir tinggi (high order thinking skill).

Semua dapat dilakukan melampaui kelas konvensional. Mereka boleh menciptakan kelas pilihan secara hybrid (dalam jaringan, luar jaringan)atau blended (kombinasi metode belajar merdeka). Pada konteks ini, mahasiswa yang mempertajam kualitas life-skill dengan basis saintifik (murni dan terapan), selalu diberi ruang untuk melampaui batas-batas eksperimentasi (percobaan), karir, dan kacamata kuda disiplin ilmu mereka. Ruang mereka dihidupi oleh perdebatan filsafat ilmu pengetahuan. Mahasiswa adalah public speaker di kelas miniatur merdeka belajar.

Politik birokrasi tak seharusnya mematikan merdeka belajar

Telaah lain adalah tentang politik birokasi kurikulum merdeka belajar. Tantangan yang muncul adanya problematika birokrasi akademis yang sudah mapan, hegemonik, dan otoritatif sebagai kuasa pengetahuan, bahkan atasnama menjamin masa depan profesionalisme, kurikulum telah terpola pada keseragaman profesional. Sedangkan faktanya, keragaman belajar berpotensi merangsang pilihan karir yang kompleks tanpa terbatas pada monologi keilmuan. Karir ditentukan oleh nilai guna. Nilai yang selaras dengan pilihan, fungsi, dan capaian yang berdampak pada mahasiswa. Basis belajarnya terletak di pengalaman praktis. Sementara, sebagian kelas bertumpu pada basis studi pengetahuan tekstual teoritik.

Pada hari ini rumit rasanya membatasi kreasi ketrampilan karena ditentukan oleh peluang (kesempatan), nasib, dan orientasi laten yang tumbuh dari kebiasaan pengalaman hidup yang digeluti. Suatu misal, ada sarjana psikologi tetapi dia lebih banyak manggung di pertunjukan musik dari kafe ke kafe. Ketika birokrasi kurikulum saklek dalam monologi disiplin keilmuan, maka perjumpaan ketrampilan hidup menjadi berjalan sendiri di kamar yang berbeda dengan otoritas keilmuan yang disorientasi karir. Tantangan birokrasi akademis dalam merdeka belajar adalah kemampuan memediasi ketrampilan hidup dominan peserta belajar yang disuplai menggunakan kekayaan disiplin keilmuan.

Representasi diri mahasiswa menjadi dilema karena munculnya pertarungan kompetensi versus profesionalisme. Batas-batas yang hari ini terdisrupsi. Boleh jadi kompetensi peserta belajar yang lebih terjiwai sebagai entrepreneur akan lebih diakui sebagai keunggulan karya dan kerja. Sedangkan profesionalisme kampus yang digodok dalam rentetan semester panjang tidak menjadi output definitif terhadap profesi yang terbentuk pada pengambilan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Misalnya, ternyata seorang mahasiswa sudah berjibaku dengan studio fotografi, sementara dia hadir dalam ruang kelas psikologi. Suasa akademik dibangun berdasarkan profil dan kompetensi profesional psikologi yang itu-itu saja. Semisal umumnya seorang sarjana psikologi menjadi konselor, peneliti, asisten terapis atau psikologi, motivator, bekerja di PSDM.

Sebagaimana kasus tersebut, seorang mahasiswa tentu akan memihak kompetensi unggul sebagai pemilik studio fotografi sementara profesi sebagai lulusan psikologi tidak pernah menemukan bentuknya. Jika demikian, maka politik birokrasi pendidikan tidak seharusnya tetap memaksakan pola pembentukan profesionalismenya dalam kuasa profesionalisme akademik. Sebagaimana diakui hari ini banyak juga lulusan psikologi, suatu misal, yang habituasi suksesnya (pengusaha, politisi, digital marketing, fotografer, pemilik pesantren) keluar dari kompetensi utama yang digaungkan di kelas-kelas pembelajaran.

Baca juga: Pengasuhan Anak Berbakat, Bisakah Menjanjikan Masa Depan Sesuai Cita-Cita Anak?

Menghadapi situasi demikian, pertama, mengambil kuasa jalan tengah profesi. Sebuah model pembelajaran merdeka dapat dimulai sejak dini. Model pembelajarannya dapat menawarkan orientasi karir dan katalisasi bakat menjadi standing point dalam merencanakan pembelajaran. Sementara mata-kuliah dikembangkan berdasarkan tema yang mendukung orientasi karir dan katalisasi bakat peserta belajar. Kebutuhan mata kuliah dikembangkan dalam dua pilar. Pilar pertama memahami kerangka pikir dari setiap keunikan sub-disiplin ilmu bagi setiap program studi. Peserta belajar merdeka sebatas dapat terlatih menemukan algoritma berpikir sub-disiplinnya, tanpa dituntut mengikuti seluruh ketuntasan tema sub-disiplin. Algoritma berpikir adalah kunci memahami sub-disiplin keilmuan yang pengembangan tematiknya dapat dikembangkan mandiri sesuai kebutuhan nantinya.

Pilar kedua mengembangkan proyek tematik yang terhubung dengan orientasi karir atau bakat peserta belajar. Tema terpilih akan dikembangkan menjadi subyek kuliah yang didalami dalam berbagai pengalaman mahasiswa yang sejalan dengan standing poin karir terpilih. Dengan demikian dosen sebagai fasilitator pengembangan algoritma berpikir yang responsif pada pilihan studi tematik dan pengembangan proyek mahasiswa. Resikonya, pengajar tidak bisa memaksakan penguasan total pada tema, tetapi pada sub-disiplin minor atau mayor saja.

Dengan demikian dosen sebagai fasilitator pengembangan algoritma berpikir yang responsif pada pilihan studi tematik dan pengembangan proyek mahasiswa. Resikonya, pengajar tidak bisa memaksakan penguasan total pada tema, tetapi pada sub-disiplin minor atau mayor saja.

Kedua, jalan bunuh diri profesi. Ketika mahasiswa memilih Merdeka Belajar yang secara definitif tidak relevan dengan profesionalisme disiplin ilmu, di sini profesionalisme kampus mestinya merelakan untuk tidak menghegemoni egosentrisme orientasi karir mahasiswa. Mahasiswa tetap diakui menjadi lulusan dan reward berupa penilaian eksternal dari hasil memilih SKS merdeka belajar. Disrupsi karir akan terjadi dalam persilangan kemapanan profesionalisme kampus berhadapan dengan kenyamanan belajar yang dianggap lebih mewakili kemerdekaan peserta belajar.

Oleh karena itu, kampus pun akan menerima konsekuensi disrupsi profesional. Ketika mahasiswa masuk di sebuah program studi tertentu dan akhirnya merdeka belajar yang dipilih mahasiswa berbeda dengan kompetensi program studi, maka sebagai konsekuensi merdeka, mahasiswa tetap diakui studinya. Merdeka belajar dengan demikian adalah merdeka meniti jembatan karir yang disukai atau kebetulan mereka lebih nyaman berada dalam pilihan karir yang berbeda dengan program studi.

Bukankah ini lebih menjawab serapan alumni dan memastikan mereka tidak menjadi pengangguran terdidik? Siapkah profesionalisme kampus sebagian akan terdisrupsi oleh karenanya kompentesi abad ini terkadang menembus dinding-dinding kelas di kampus?

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.