Ketika Facebook di Ujung Tanduk

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Sesungguhnya filter utama dari media sosial adalah dari pengguna itu sendiri. Di sini pentingnya edukasi terkait penggunaan media sosial baik oleh pihak media sosial facebook dan anak usahanya seperti instagram dan whatsapp maupun pendidik di sekolah serta orang tua di rumah.

Kampusdesa.or.id–Beberapa hari yang lalu saya mendengarkan video Podcast edisi #04 pak Dahlan Iskan bersama putranya sendiri, Azrul Ananda di channel DI’s Way. Salah satu topik yang diangkat adalah terkait isu Facebook tengah diboikot oleh banyak perusahaan. Saat dulu media konvensional musuhnya adalah media sosial, sekarang media sosial juga ada musuhnya.

Aksi boikot ini berupa tidak memasang iklan lagi di Facebook (FB). Isu ini terus bergulir dan beberapa perusahaan sepakat meninggalkan FB karena merasa media sosial itu gagal dalam upayanya mencegah penyebaran ujaran kebencian, rasisme, dan keamanan data.

RelatedPosts

Hal ini bermula dari koalisi hak asasi manusia, yang di dalamnya termasuk Anti-Defamation League (ADL) dan NAACP, meluncurkan kampanye #StopHateforProfit pekan lalu (29/6/2020). Kampanye itu mengajak perusahaan-perusahaan besar untuk berhenti beriklan di Facebook.

Nama-nama perusahaan yang sudah berhenti beriklan di FB di antaranya: Arc’teryx, Ben & Jerry’s, Beam Suntory, Coca-Cola, Dashlane, Eddie Bauer, Eileen Fisher, Hershey’s, Honda America, JanSport, Levi Strauss, Magnolia Pictures, Patagonia, The North Face, REI, Upwork, Unilever, Verizon, dan Starbucks.

Devie Rahmawati, dosen Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, mengatakan ujaran kebencian dan hoax di media sosial yang tak kunjung reda terjadi karena banyak sebab. Pertama, menurut Devie, karena minimnya program literasi media digital ke masyarakat. Devie menganggap penting literasi media digital untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang konten apa saja yang berpotensi melanggar hukum dan tidak.

Dalam penelitiannya yang berjudul “Media Sosial dan Demokrasi di Era Informasi pada tahun 2014 silam”, Devie mengatakan hampir seluruh aktor politik saling berebut pengaruh melalui penggunaan media sosial untuk kepentingan politik. Mereka berebut mempengaruhi masyarakat melalui saluran media sosial.

Baca Juga:

Damar Juniarto, Praktisi Demokrasi Digital dan Executive Director SAFEnet memiliki cara pandang berbeda dalam melihat kasus-kasus ujaran kebencian maupun hoax di media sosial yang ditangani aparat kepolisian. Kasus-kasus itu, menurutnya, menunjukkan betapa rentannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE) Nomor 19 tahun 2016 mengontrol hak berpendapat masyarakat.

Media sosial memang sangat bebas dan siapa saja bisa posting dan share apapun. Saat media konvensional ada editor yang bisa memfilter, media sosial sekarang dapat penalti oleh para pengguna yang mulai gerah. Sehingga wajar jika beberapa perusahan besar melakukan punishment. Meski pihak facebook mengklaim sudah melakukan seleksi terkait konten yang berbau sara, porno, dan ujaran kebencian.

Namun sesungguhnya filter utama dari media sosial adalah dari pengguna itu sendiri. Di sini pentingnya edukasi terkait penggunaan media sosial baik oleh pihak media sosial facebook dan anak usahanya seperti instagram dan whatsapp maupun pendidik di sekolah serta orang tua di rumah. []

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.