Rabu, Oktober 8, 2025
Google search engine
Beranda blog

Kesalahan Berpikir Netizen 4.0, Lima di antaranya Sering Kamu Alami.

0

Secuil fakta yang buruk akan mampu menutupi segudang fakta kebaikan seseorang. Hal itu terjadi ketika individu mengalami Distorsi Kognitif, yaitu pembenaran irasional tak sesuai realita. Rupanya leluhur bangsa ini sudah menyadari akan kesalahan berpikir yang turun temurun akan sering terjadi dengan mengabadikannya dalam sebuah seni kata ” Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga “.

Kampusdesa.or.id-Otomasisasi teknologi cyber 4.0 terhadap setiap inchi kehidupan  membuat individu di masa ini cepat dalam membagikan informasi. Akan tetapi adaptasi masyarakat untuk mengelola kecepatan jaringan komunikasi perlu dipertanyakan dan dibahas mendalam. Jika tidak, pecahan informasi yang salah pemaknaan dapat menjadi Hoaks dan sentimen emosi antar netizen. Terlalu remeh jika bangsa ini masih berkutat soal Hoaks dan Isu isu sensasional. Saat nya belajar mandiri dengan mengenali kesalahan berpikir sehingga kita bisa bangkit lebih produktif menjajaki peluang Revolusi Industri di Pemerintahan yang baru ini.

Berpikir adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh manusia bahkan menjadi pembeda yang paling mendasar antara hewan dengan manusia. Kesalahan berpikir dapat terjadi pada seluruh jenjang usia, dari anak sekolah, pegawai bahkan ilmuwan pun bisa terjebak dalam kelalaian berpikir. Akan selalu ada kejadian yang tidak diharapkan dan mood negatif disetiap masa kehidupan sehingga setiap individu pasti pernah mengalami kesalahan berpikir. David Burns seorang Psikiater dan ahli Cognitive Behavioral Therapy dari Stanford University menyebutnya sebagai Thinking Errors Pattern atau dalam istilah psikologi disebut Cognitive Distortions.

Bagaimana kesalahan berpikir terjadi?

Karunia tuhan yang pertama kali digunakan untuk menerima informasi adalah panca indera. Melalui indera tersebut informasi dilangsungkan ke dalam internal map, otak akan memberikan makna terhadap masing masing informasi yang kita terima. Pemberian makna oleh otak merujuk pada Historical Files individu yang berisi tentang keyakinan suatu norma perilaku berdasarkan pengalaman masa lalu.

Keyakinan masa lalu ini menciptakan nilai atau frame of mind yang terulang ulang di bawah alam sadar manusia. Makna yang diproses melalui otak tadi akan berhubungan dengan central nervous system atau pusat syaraf. Dari pusat syaraf akan menghasilkan sebuah perasaan yang menghantarkan individu pada suatu reaksi berbentuk perilaku. Dapat disimpulkan bahwa tindakan kita saat ini dalam pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu.

Dapat disimpulkan bahwa tindakan kita saat ini dalam pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh kejadian masa lalu.

Dalam proses pemberian makna yang sudah di jelaskan tersebut, terdapat celah terjadinya suatu kesalahan dalam penerjemahaan makna yang disebut thinking error pattern. Terdapat foggy atau kabut yang menyebabkan otak meleset dalam pemberian makna sehingga sesuatu yang kita yakini tidak sesuai dengan realita. Banyak faktor yang memicu terbentuknya foggy, selain berasal dari ingatan realita masa lalu, foggy bisa disebabkan oleh stress, kurang energi, gaya berpikir childish, cemas dan kondisi negatif.

Ketika gaya berpikir individu semakin dominan dalam melibatkan masa lalu maka foggy akan semakin tinggi, sebab realita masa lalu dan kini merupakan hal yang berbeda. Masa lalu memang bisa digunakan sebagai prediksi pengambilan keputusan namun perlu diimbangi dengan identifikasi fakta dan realita yang sedang terjadi sehingga kesalahan interpretasi informasi bisa dihindarkan.

Menurut Mahrus Affif seorang Behavioral  Specialist dalam seminar Online “ Thinking Error Pattern and Teenager “ (Inmed, 25 Oktober 2019), Kurang lebih 80 % orang yang mengalami Distorsi Kognitif disebabkan karena individu mengambil keputusan dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Jika hal ini tidak dibenahi, individu akan larut dalam kesalahan berpikirnya dimana kesalahan berpikir itu dijadikan argumen utama untuk membenarkan perilaku individu yang salah tersebut. Orang akan mengambil sudut pandang irasional terhadap peristiwa tertentu sehingga menyebabkan pikiran dan emosi yang tidak dapat dikendalikan, parahnya hal ini bersifat kebiasaan. David Burns dalam bukunya The Feeling Good menjelaskan sepuluh jenis kesalahan berfikir, lima diantaranya akan diulas dalam tulisan ini.

Kurang lebih 80 %  orang yang mengalami Distorsi Kognitif disebabkan karena individu mengambil keputusan dalam keadaan emosi yang tidak stabil.

Yang pertama adalah Over Generalization. Hal ini terjadi ketika anda menyimpulkan suatu perkara yang buruk berdasarkan satu buah bukti saja. Tidak hanya itu, anda akan membesar besarkan masalah itu dan melabeli hal tersebut dengan rumor negatif. Jenis kesalahan berpikir ini akan membuat orang menggunakan kata “ Biasanya” atau “ tidak pernah “ sebagai kata kunci.

Contoh:  ketika anda melihat berita seorang artis sedang menangis karena tertimpa suatu musibah. Kemudian terbesit dalam pikiran anda “ wah biasanya itu cuman akting saja” sehingga kemudian anda mencibir dan merendahkan artis tersebut.

Suatu ketika anda melihat Bapak Paruh baya yang tidak rupawan menjemput wanita muda cantik di sebuah caffe. Kemudian terbesit dalam pikiran anda “ wahh jangan jangan wanita simpanan nih, biasanya seperti itu”. Lantas anda berbisik bisik dengan teman nongkrong dan menganggap wanita tersebut seorang yang gampangan.

Kedua adalah Black and White Thinking. Gaya berpikir ini terjadi ketika individu membagi dirinya dalam dua kategori yaitu “ aku benar benar baik” atau “ aku benar benar buruk”. Hal ini teradi karena sikap perfeksionis yang dominan, memikirkan diri sendiri ditambah lagi merasa dirinya harus berpengaruh dalam kelompoknya, sehingga ketika suatu hal terjadi tidak sesuai standar atau ekpektasi, maka individu akan menganggap dirinya tidak berguna. Tidak ada pilihan ketiga dan tidak ada tempat untuk berbuat salah.

Contoh: Arif adalah seorang ketua team player basket. Saat pertandingan, Arif tidak berhasil membawa teamnya menuju kemenangan. Akhirnya ia murung dan merasa bahwa ia adalah orang yang tidak berguna. Ia malu dan menganggap semua itu terjadi karena kesalahannya semata.

Ketiga ialah Jumping to Conclusion atau labeling. Pernahkah anda menjustifikasi orang lain tanpa di dukung informasi yang jelas? itulah yang disebut labeling. Individu mendeskripsikan seseorang dengan fakta yang tidak sempurna, ada sebagian realita seseorang yang disembunyikan. Hal ini adalah proyeksi bahwa diri kita sedang marah , cemas , frustasi atau sedang tidak percaya diri. Bahkan, ketika anda memberi label negatif kepada seseorang, hal itu akan membuat anda tidak nyaman dan sulit membangun komunikasi yang positif. Pada kasus ekstrim, memberi label negatif  terhadap seseorang mampu mengubah identitas sosial dan konsep diri individu.

Contoh: Ulum adalah mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, ia dibimbing oleh Dosen A. Setiap kali bimbingan, Dosen A selalu emosi dan memarahi ulum yang selalu datang terlambat. Akhirnya Ulum menyebarkan rumor kepada temannya bahwa Dosen A adalah Dosen yang Killer. Nah, ini lah yang disebut Jumping to Conclusion, ulum hanya mensifati Dosen A berdasarkan perasaan yang mewakili dirinya bahwa dosen A selalu memarahi Ulum. Padahal Jika mahasiswa datang tepat waktu, Dosen tersebut akan bersikap ramah dan lembut. Nah Sifat ramah dan lembut disembunyikan oleh Ulum sehingga terbentuklah labeling yang tidak adil.

Apakah kita tidak boleh melabeli seseorang? boeh asal dengan fakta yang jelas dan adil. Contoh: Dosen ini killer ketika melihat mahasiswa yang melanggar aturan. nah ini labeling yang diperbolehkan.

Ke Empat adalah Victim Mentality atau Blaming. Kesalahan berfikir pada jenis ini akan membuat orang hidup dengan sejuta keluhan. Individu akan mengkritik dan menyalahkan orang lain atas hal buruk yang menimpa dirinya. Artinya tidak ada niatan untuk memperbaiki diri justru menganggap orang lain lah akar dari semua masalah.

Contoh : Yoyo adalah pengangguran, setiap bertemu teman temanya  ia selalu mengkritik pemerintah atas kondisinya, seakan akan Yoyo dirugikan oleh Negara. (Padahal Yoyo terlalu cepat menyerah mencari pekerjaan dan tidak mau meng upgrade skillnya).

Amin mendapat nilai jelek di bidang Matematika, ia menyalahkan gurunya bahwa gurunya tidak cermat dalam mengajar. (Padahal Amin sendiri sering bolos sekolah).

Ke Lima adalah Discounting, orang yang memiliki kecenderungan seperti ini akan selalu mengeluarkan statement negatif tentang kelebihan dirinya. Maksudnya ialah individu tidak apresiatif terhadap prestasinya sendiri, mendiskon segala pencapaian yang ia buat. Pribadi ini menunjukkan bahwa ia memiliki konsep diri yang lemah dan kepercayaan diri rendah.

Contoh: Arif mendapat nilai 70 dalam pelajaran Bahasa, kemudian gurunya memberi pujian “ wah arif kamu hebat ya, pintar dan cerdas”. Akan tetapi Arif berfikir dalam hati “ aiiih apa apaan sih, pasti bohong itu bu guru. Padahal yang lain banyak yang lebih pinter ”.

Kecepatan sistem informasi yang setiap detik dapat berubah, tanpa batas dan selalu ada identitas anonim akan menyebarkan ranjau ranjau Distorsi Kognitif bagi Netizen. Terutama bagi Rakyat +62 yang minat bacanya masih tergolong rendah. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengindari kesalahan berfikir?.

Mulailah dengan membudayakan One Day One Page, membaca buku akan melatih reasoning otak kita menjadi lebih awas dalam mengelola informasi. Kemudian gunakan aturan Lima menit, gunakan waktu tersebut untuk mengecek informasi di media atau fakta di lapangan melalui sumber yang kredibel dan selama lima menit tersebut usahakan untuk tidak mengomentari apapun.

Kenali pola kesalahan berpikir yang berkembang di masyarakat, setelah mengenali pola , cobalah untuk mengkategorisasikan jenis kesalahan berpikir yang dirasa sangat berpotensi terjadi pada diri anda. Latihlah pikiran anda untuk melawan jenis kesalahan berpikir tersebut, gunakan humor humor untuk membuat pikiran anda stabil. Yang terpenting jadilah pribadi yang suportif, bijak dan sabar dalam segala situasi.

Hubungan Harmonis Netizen sangat mahal harganya, dan sangat remeh jika kesalahan berpikir yang beredar di masyarakat membuat konflik dan buruk sangka . Buku “Feeling Good: the new mood therapy,” dan  “When Panic Attacks” yang ditulis  David Burns dapat menjadi rujukan bagaimana merawat akal sehat ditengah pusaran peradaban Revolusi 4.0. Bangsa yang hebat berawal dari akal sehat yang selalu dirawat.

SDN 3 Gadingkulon Bangkit Lewat Sinergi Deep Learning dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

0

Kampusdesa.or.id–Malang, 3 Oktober 2025. Tim Pengabdian Qoryah Thoyyibah bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Kawah Chondrodimuko memprakarsai diskusi edukatif bertajuk Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka. Kegiatan ini digelar di SDN 3 Gadingkulon, Kabupaten Malang, sebagai bagian dari upaya menghidupkan kembali sekolah dasar yang sempat vakum kegiatan belajar mengajar selama beberapa tahun.

Atta Fauzi Azizi, salah satu narasumber diskusi, membuka sesi dengan pernyataan yang menggugah kesadaran peserta. “Diskusi ini menjadi ajang untuk tidak hanya memahami kebijakan kurikulum, tetapi juga meninjau bagaimana prinsip Deep Learning bisa diterapkan di konteks nyata. SDN 3 Gadingkulon adalah contoh yang tepat untuk menguji relevansi kurikulum baru dalam kondisi lapangan,” tegasnya.

Baca juga: Semarak Kemerdekaan, Tim Qoryah Toyyibah UIN Malang Hidupkan Kembali SDN 03 Gadingkulon

Pernyataan itu disambut antusias oleh para peserta yang terdiri dari mahasiswa, guru, serta perwakilan masyarakat sekitar. Mereka menilai bahwa konsep Deep Learning—pembelajaran mendalam yang menekankan pemahaman, refleksi, dan aplikasi—sangat relevan diterapkan di sekolah desa yang selama ini kurang mendapat perhatian.

Deep Learning sebagai Prinsip Pembaruan Pendidikan di Desa

Diskusi kemudian berkembang menjadi ruang eksplorasi ide tentang bagaimana kurikulum baru dapat diadaptasi dalam konteks pendidikan desa. Peserta berpendapat bahwa Deep Learning bukan hanya metode pembelajaran berbasis teknologi, tetapi juga strategi berpikir yang menuntun siswa untuk memahami makna dari setiap proses belajar.

Tim Qoryah Thoyyibah menegaskan bahwa pendekatan ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang menempatkan murid sebagai subjek aktif dalam belajar. “Kami ingin menunjukkan bahwa sekolah desa pun bisa menjadi pusat inovasi, asal ada sinergi antara masyarakat, mahasiswa, dan pendidik,” jelas salah satu anggota tim.

Baca juga: SDN Terbengkalai Di Tengah Masyarakat Petani Jeruk

PMII Rayon Kawah Chondrodimuko berperan aktif sebagai penggerak kegiatan. Anggota organisasi ini terlibat langsung dalam merancang materi diskusi, menyiapkan perangkat belajar, dan membangun komunikasi dengan warga. Kolaborasi lintas elemen ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan di desa bisa bangkit jika diiringi semangat gotong royong dan keterlibatan komunitas akademik.

Selain membahas teori, peserta juga meninjau langsung kondisi fisik SDN 3 Gadingkulon. Gedung sekolah yang sebelumnya sepi kini mulai berdenyut kembali. Halaman yang sempat ditumbuhi rumput liar kini dibersihkan dan diatur menjadi area belajar terbuka. “Kami ingin menjadikan sekolah ini sebagai ruang kajian, ruang belajar, sekaligus ruang pemberdayaan masyarakat desa,” kata Atta Fauzi menegaskan arah gerak tim.

Sekolah Desa Sebagai Ruang Pemberdayaan

Kegiatan ini menandai langkah awal dalam menjadikan SDN 3 Gadingkulon sebagai laboratorium sosial pendidikan. Konsep ini tidak hanya menghidupkan kegiatan belajar untuk anak-anak, tetapi juga membuka peluang pemberdayaan bagi masyarakat sekitar.

Warga desa dapat memanfaatkan ruang sekolah sebagai tempat pelatihan keterampilan, literasi digital, hingga forum musyawarah pembangunan. Tim Qoryah Thoyyibah berkomitmen mendampingi proses ini agar sekolah benar-benar menjadi pusat pengembangan potensi desa.

Baca juga: Hidupkan Aset Komunitas Terbengkalai Melalui Qoryah Toyyibah

“Sekolah ini harus menjadi simbol hidupnya kembali semangat belajar dan gotong royong masyarakat. Pendidikan bukan hanya urusan guru dan siswa, tapi juga seluruh warga desa,” ujar salah satu anggota PMII dengan penuh semangat.

Langkah ini diharapkan dapat menjadi model nasional bagi revitalisasi sekolah desa. Dengan dukungan kampus, organisasi mahasiswa, dan masyarakat, SDN 3 Gadingkulon diharapkan tumbuh menjadi ruang inovatif yang memadukan pendidikan, riset, dan pemberdayaan.

Melalui kegiatan ini, Tim Qoryah Thoyyibah menunjukkan bahwa Deep Learning tidak hanya berlaku dalam ruang kelas modern, tetapi juga dapat hidup dalam realitas sosial desa. Proses belajar yang mengakar pada kehidupan masyarakat justru menghadirkan pengalaman mendalam—sebuah bentuk nyata dari education for empowerment.

Dengan semangat kolaboratif dan pendekatan Deep Learning, SDN 3 Gadingkulon kini menapaki babak baru. Sekolah ini tidak lagi sekadar tempat belajar, melainkan simbol kebangkitan pengetahuan di akar rumput yang berdaya, inklusif, dan berkelanjutan.

Penulis: Fiqhan Khoirul Álim

Semarak Kemerdekaan, Tim Qoryah Toyyibah UIN Malang Hidupkan Kembali SDN 03 Gadingkulon

0

KampusDesa.or.id-Malang, 18 Agustus 2025. Nuansa kemerdekaan 17 Agustus tahun ini terasa berbeda bagi warga Dusun Sempu, Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Sebuah sekolah yang lama terbengkalai, SDN 03 Gadingkulon, kembali hidup dengan tawa anak-anak, antusiasme ibu-ibu, dan semangat kolaborasi lintas komunitas melalui acara Semarak Kemerdekaan 2025.

Kegiatan ini digagas oleh Tim Pengabdian Qoryah Toyyibah UIN Malang bersama Kementerian Desa dan Lingkungan Hidup DEMA UIN Malang, dengan dukungan berbagai komunitas sosial. Berlangsung pada 16 Agustus 2025, sehari sebelum upacara kemerdekaan di desa, acara ini menjadi momentum penting untuk menjadikan kembali gedung SDN 03 sebagai pusat kegiatan masyarakat.

Dari Bangunan Sunyi Menjadi Ruang Ekspresi

Sejak resmi ditutup pada 2023 karena kekurangan murid, SDN 03 Gadingkulon lebih sering sunyi dan terbengkalai. Namun, melalui acara Semarak Agustusan, bangunan tua itu mendadak penuh aktivitas. Berbagai stand edukasi dan hiburan digelar, mulai dari ruang cerita, ruang baca, healing art, cek kesehatan gratis, hingga terapi tradisional Bali dan kartu tarot Nusantara.

Iqbal. Anak-anak Gadingkulon diajak bermain cerita ular tangga oleh Mahasiswa Psikologi UIN Maliki Malang

Anak-anak tampak larut dalam kegiatan menggambar bebas di stand healing art dan membaca buku di ruang baca. “Rasanya senang, seperti sekolah lagi tapi lebih seru,” ungkap salah seorang anak desa dengan wajah ceria.

Sementara itu, stand kesehatan gratis menjadi daya tarik tersendiri bagi para lansia. Panitia bahkan menjemput warga untuk memastikan mereka bisa mendapat layanan pemeriksaan kesehatan.

Baca juga: SDN Terbengkalai Di Tengah Masyarakat Petani Jeruk

Meski sempat terkendala karena bertepatan dengan lomba gerak jalan tingkat kecamatan, acara ini tetap berlangsung meriah. Berawal dari anak-anak yang datang, informasi pun menyebar dari mulut ke mulut, membuat jumlah pengunjung semakin ramai menjelang siang dan sore.

Ibu-ibu desa menjadi peserta paling antusias ketika senam berhadiah digelar. “Alhamdulillah acaranya seru dan ramai. Sekolah ini adalah sekolah masa kecil kami. Kami berharap kegiatan seperti ini bisa sering diadakan, agar sekolah ini kembali hidup walau hanya setiap minggu,” tutur salah satu warga penuh harap.

Simbol Kebangkitan Aset Publik

Bagi Tim Qoryah Toyyibah, Semarak Agustusan tidak sekadar perayaan kemerdekaan, tetapi juga simbol kebangkitan aset publik yang lama terbengkalai. Pak Mahpur, ketua tim penabdian  menegaskan bahwa kegiatan ini adalah langkah nyata untuk menghidupkan kembali potensi SDN 03 Gadingkulon.

“Sekolah ini berada di lokasi strategis. Sayang jika hanya dibiarkan kosong. Melalui acara ini, kami ingin menunjukkan bahwa aset lama bisa bernyawa kembali bila diisi dengan kegiatan positif,” ujarnya.

Cek kesehatan gratis. Usaha memanfaatkan aset komunitas bermanfaat

Harapan serupa datang dari pemuda desa. Mereka menilai perayaan tahun ini lebih meriah dibanding sebelumnya karena sekolah menjadi tempat pelaksanaannya. Untuk pertama kalinya, warga Dusun Sempu menggelar upacara bendera 17 Agustus di halaman SDN 03 Gadingkulon, sehingga memperkuat simbol bahwa gedung ini mulai hidup kembali dan digunakan untuk berbagai kegiatan yang bermanfaat.

Baca juga: Hidupkan Aset Komunitas Terbengkalai Melalui Qoryah Toyyibah

“Kami berharap Semarak Agustusan ini menjadi pintu pembuka. Selanjutnya, program-program berbasis pendidikan, literasi, hingga pemberdayaan ekonomi akan terus dilaksanakan di sini,” tutur Alfin Mustikawan.

Dengan semangat kebersamaan, acara Semarak Agustusan 2025 berhasil membuktikan bahwa gedung sekolah yang lama sunyi dapat kembali menjadi pusat kehidupan desa. SDN 03 Gadingkulon kini tidak hanya menyimpan kenangan masa lalu, tetapi juga harapan baru bagi warga Dusun Sempu.

Penulis: Fiqhan Khoirul Álim

SDN Terbengkalai Di Tengah Masyarakat Petani Jeruk

0

KampusDesa.or.id–Malang, 8 Juli2025. Setelah melaksanakan observasi awal terhadap aset terbengkalai berupa SDN 03 Gadingkulon, tim pengabdian masyarakat Qoryah Toyyibah UIN Malang melanjutkan kegiatan dengan pemetaan potensi desa. Program ini dilaksanakan di Dusun Sempu, Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, bekerja sama dengan Kementerian Desa dan Lingkungan Hidup DEMA UIN Maliki Malang melalui agenda DEMA Mengabdi.

Kegiatan pemetaan berlangsung selama 8 hari penuh, mulai 30 Juni hingga 7 Juli 2025, dengan melibatkan 10 orang relawan mahasiswa. Seluruh tim menetap langsung di bangunan SDN 03 Gadingkulon, yang kini sudah tidak beroperasi sejak ditutup tahun 2021. Kehadiran mahasiswa selama sepekan lebih ini memungkinkan mereka untuk berinteraksi intensif dengan warga, mengidentifikasi persoalan, sekaligus menggali potensi lokal yang bisa dikembangkan.

Desa Jeruk dengan Dinamika Sosial yang Khas

Hasil pemetaan menunjukkan bahwa mayoritas warga Dusun Sempu adalah petani jeruk. Varietas yang banyak ditanam meliputi jeruk siam, keprok, peras, hingga lemon. Sistem pupuk yang digunakan dominan berbasis kimia dengan tambahan rabuk dari kotoran sapi dan sekam. Namun, dinamika harga jeruk seringkali membuat petani rugi. Saat panen raya dengan permintaan rendah, harga bahkan bisa jatuh hingga Rp2.000/kg, membuat sebagian hasil panen dibiarkan membusuk di pohon.

Baca juga: Hidupkan Aset Komunitas Terbengkalai Melalui Qoryah Toyyibah

Potensi pascapanen sebenarnya sudah beberapa kali disentuh melalui pelatihan olahan jeruk, seperti keripik jeruk. Namun, inovasi itu tidak berlanjut karena dirasa rumit dan kurang diminati. Mayoritas ibu rumah tangga di dusun ini juga terlibat membantu di kebun, sementara anak-anak lebih banyak memilih sekolah swasta, khususnya MI Wahid Hasyim 2. Kondisi ini turut menjadi faktor tutupnya SDN 03 Gadingkulon karena minim murid.

Tim mahasiswa Dema Mengabdi, yang merupakan kolaborator Qoryah Toyyibah sedang berbincang dengan Ketua RT

Potret Kehidupan Sosial dan Keagamaan

Dusun Sempu memiliki kehidupan sosial yang harmonis. Tradisi tahlilan keliling setiap malam Jumat masih terjaga, demikian pula tasyakuran tahunan di tiga lokasi punden yang diyakini sebagai sumber air utama warga. Kegiatan masjid juga rutin, seperti pengajian kitab Riyadhus Shalihin dan istighosah setiap Jumat malam.

Keberagaman tetap hadir dengan sebagian kecil pemeluk Kristen dan Buddha. Masyarakat cenderung terbuka terhadap kegiatan pendatang, meski sempat ada trauma akibat kasus terorisme beberapa tahun lalu.

Meski mayoritas Muslim, keberagaman tetap hadir dengan sebagian kecil pemeluk Kristen dan Buddha. Masyarakat cenderung terbuka terhadap kegiatan pendatang, meski sempat ada trauma akibat kasus terorisme beberapa tahun lalu. Kini, kepercayaan mulai pulih dan interaksi lebih cair.

Pemetaan Lapangan: Dari Rembuk Warga hingga Aksi Bersih Sekolah

Selama delapan hari, tim pengabdian tidak hanya melakukan wawancara dan observasi, tetapi juga tinggal bersama warga, rembuk desa, hingga aksi nyata membersihkan sekolah terbengkalai. Diskusi intensif dilakukan dengan tokoh masyarakat, perangkat desa, hingga pengurus RT untuk menggali aspirasi warga terkait pemanfaatan gedung sekolah.

“Kami berusaha menangkap kebutuhan nyata warga. Rata-rata mereka berharap ada program yang tidak hanya seremonial, tapi berkelanjutan dan bisa memberi dampak ekonomi,” ungkap Menyingari Alfianoor Ibrahim, salah satu anggota tim.

Para aktifis DEMA U UIN Maliki Malang, membahas rintisan merawat SDN Gadingkulon

Pak RT juga menympaikan bahawa harapannya sekolah tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Bukan hanya oleh warga saja, namun apabila ada kegiatan yang mengarah pada Pendidikan, kami sangat terbuka sekali untuk adanya hal tersebut.

Selain itu, keterlibatan mahasiswa DEMA UIN Malang melalui program DEMA Mengabdi memperkuat kolaborasi. Kementerian Desa dan Lingkungan Hidup DEMA turut berperan dalam menyusun agenda bersama, sehingga program tidak berjalan sendiri, melainkan sinergis antara akademisi dan organisasi mahasiswa kampus.

Harapan Baru dari Aset Lama

Bangunan SDN 03 Gadingkulon kini memang sudah tidak berfungsi sebagai sekolah formal. Namun, gedung ini mulai dimanfaatkan untuk kegiatan bimbingan belajar gratis oleh komunitas Pesona anak bangsa  yang dinisiasi oleh Ibrahim serta ruang bermain anak-anak. Dengan adanya pemetaan potensi, gedung tersebut berpeluang diperluas fungsinya menjadi pusat kegiatan berbasis pendidikan, pemberdayaan, maupun sosial kemasyarakatan.

“Warga terbuka terhadap gagasan kami. Asal kegiatan berbasis pendidikan dan tidak mengganggu, mereka siap mendukung. Itu yang membuat kami optimis,” jelas Fiqhan  koordinator lapangan tim pengabdian.

Menuju Program Berkelanjutan

Pemetaan ini menjadi fondasi untuk tahap lanjutan, yakni merancang program pengabdian yang sesuai kebutuhan. Beberapa potensi yang mulai dirancang antara lain: penguatan literasi anak-anak desa, pelatihan ekonomi kreatif berbasis jeruk, serta revitalisasi fungsi sosial gedung sekolah.

Dusun Sempu bisa menjadi laboratorium sosial tempat mahasiswa belajar sekaligus berkontribusi nyata.

“Harapan kami, Dusun Sempu bisa menjadi laboratorium sosial tempat mahasiswa belajar sekaligus berkontribusi nyata. Tidak berhenti pada observasi, tapi terus berkembang menjadi program yang memberi manfaat jangka panjang,” tutup Alfin Mustikawan.

Dengan selesainya tahapan observasi dan pemetaan, kolaborasi antara Tim Qoryah Toyyibah dan DEMA UIN Malang membuka jalan bagi lahirnya inovasi pengabdian berbasis desa. SDN 03 Gadingkulon yang lama terbengkalai kini diharapkan menjadi pusat kehidupan baru, simbol kebangkitan aset publik, dan ruang kolaborasi antara kampus dengan masyarakat.

Penulis: Fiqhan Khoirul Álim

Sekolah dan Desa di era Antroposen

Kampusdesa.or.id–Ini bukan lagi tentang esok, tapi ini adalah realitas dan bukan lagi soal anak cucu, tapi napas kita sendiri. Tentu kita semua merasakan bahwa akhir-akhir ini hujan yang makin tak menentu, terik matahari yang kian menyengat, kota Malang yang dulu dingin karena dikelilingi pegunungan sekarang sudah menghangat bahkan panas. Antroposen, begitulah para pakar memberi nama situasi dan kondisi yang terjadi hari ini. Sebuah era di mana kerusakan bumi bukan lagi ulah alam, melainkan jejak nyata tangan kita. Kita telah menjadi kekuatan geologis baru, pengubah wajah planet ini, dan sayangnya, bukan ke arah yang lebih baik.

Lalu, di tengah semua ini, di antara kepungan masalah yang terasa begitu besar dan jauh, kita sering bertanya, “Dari mana kita harus memulai?” Apakah harus menunggu undang-undang baru yang rumit lahir dari gedung-gedung tinggi, di tengah perdebatan panjang para birokrat? Ataukah kita mesti menanti hasil riset terbaru yang dibahas di meja-meja bundar seminar internasional yang mewah, di mana kata-kata indah seringkali tak berbuah aksi nyata?

Tidakkah kita merasa ada sesuatu yang lebih mendasar, lebih jujur, yang berbisik dalam hati kita? Jawaban itu, yang selama ini mungkin kita cari di tempat-tempat jauh, ternyata ada di sini, dekat sekali. Ia ada di senyum polos anak-anak kita yang belajar mengeja huruf di bangku-bangku sekolah sederhana, di tangan-tangan perkasa para petani yang setiap hari menggenggam tanah dan merasakan denyut kehidupan. Di sanalah, di kesederhanaan sekolah dan ketulusan desa, benih kesadaran itu bisa kita tanam, kita sirami, dan kita saksikan tumbuh menjadi hutan aksi nyata. Sebab, jika bukan dari akar rumput, dari mana lagi perubahan sejati akan bermula?

Baca juga: Generasi Indonesia atau Generasi Setengah Indonesia

Masa depan bumi ini bukan lagi ada di tangan para pemimpin besar saja, melainkan di setiap langkah kecil kita, di setiap sudut kampung halaman, di setiap kelas yang mengajarkan arti sebuah kepedulian. Seperti yang pernah diampaikan Bung Hatta Proklamator kita, Indonesia tidak akan bisa bersinar terang karena mercusuar yang ada di Jakarta, tapi karena cahaya lilin-lilin di desa-desa.

Indonesia tidak akan bisa bersinar terang karena mercusuar yang ada di Jakarta, tapi karena cahaya lilin-lilin di desa-desa

Sekolah, Harapan Masa Depan

Pernahkah kita berhenti sejenak dan benar-benar melihat sekolah? Bukan hanya gedung, bukan hanya barisan meja dan kursi. Sekolah adalah rahim tempat tunas-tunas masa depan kita dibentuk. Di sanalah, setiap pagi, mata-mata mungil itu berbinar, siap menyerap apa pun yang kita ajarkan. Jika kita bicara tentang menyelamatkan bumi dari cengkeraman Antroposen, dari mana lagi kita harus mulai menanamkan kesadaran selain di tempat paling awal dan paling suci: bangku-bangku sekolah? Anak-anak kita, mereka bukan hanya sekadar murid; mereka adalah pewaris tunggal bumi ini, arsitek peradaban yang akan datang. Kita harus pupuk kesadaran itu dalam jiwa mereka, tidak hanya agar lestari hari ini, tapi juga berbuah manis hingga berpuluh-puluh tahun ke depan.

Bayangkan betapa dahsyatnya kekuatan pendidikan jika kita menggunakannya untuk menumbuhkan kepedulian yang tulus. Bukan sekadar hafalan teori tentang ekosistem, tapi pengalaman nyata yang menggugah jiwa. Pelajaran sains bisa membuka mata mereka pada fakta-fakta mengerikan: gunung es yang mencair, hutan yang merana, spesies yang punah. Sementara itu, pelajaran etika atau budi pekerti akan melunakkan hati mereka, menanamkan rasa hormat yang mendalam pada setiap bentuk kehidupan. Dari kisah-kisah luhur berbagai budaya, entah itu tentang kearifan menjaga hutan, sungai yang disucikan, atau hewan yang dihormati, kita bisa tunjukkan bahwa menghargai alam bukanlah sekadar tugas, melainkan bagian dari kemanusiaan kita yang paling dalam. Sekolah bisa menjadi panggung di mana inspirasi semacam itu tak hanya dibaca, tapi juga dihidupi dan diwujudkan.

Dari kisah-kisah luhur berbagai budaya, entah itu tentang kearifan menjaga hutan, sungai yang disucikan, atau hewan yang dihormati, kita bisa tunjukkan bahwa menghargai alam bukanlah sekadar tugas, melainkan bagian dari kemanusiaan kita yang paling dalam.

Lebih dari sekadar tempat belajar, sekolah harus menjelma menjadi laboratorium hidup untuk keberlanjutan. Di sanalah, teori berubah dan diterjemahkan menjadi praktik, janji menjadi aksi. anak-anak dengan riang memilah sampah, bukan karena dipaksa, tapi karena mereka mengerti bahwa sisa makanan mereka akan menjadi nutrisi bagi kebun sekolah yang subur. Botol-botol plastik bekas tidak lagi berakhir di tempat sampah, melainkan di tangan-tangan kreatif mereka, disulap menjadi kerajinan yang indah. Setiap lampu yang dimatikan saat tidak diperlukan, setiap keran air yang ditutup rapat, adalah pelajaran tak ternilai yang tertanam dalam kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan kecil ini, yang terangkai dari ribuan siswa di seluruh penjuru negeri, akan menjadi gelombang perubahan yang tak terbendung.

Baca juga: Perempuan dan Kerja Toleransi

Namun, semua ini adalah mimpi belaka tanpa peran seorang guru. Guru adalah jantung dari setiap perubahan. Mereka bukan hanya pengajar yang menyampaikan materi, tetapi juga teladan hidup yang menginspirasi. Jika seorang guru menunjukkan kepedulian tulus pada sehelai daun atau setetes air, murid akan meniru. Lingkungan sekolah yang bersih, hijau, dan hemat energi bukanlah sekadar fasilitas, melainkan cerminan peradaban yang kita impikan peradaban yang harmonis dengan alam.

Desa Nafas Kehidupan

Jika sekolah adalah tempat kita menanam benih harapan, maka desa adalah ladang luas yang menguji apakah benih itu benar-benar bisa tumbuh dan berbuah. Di sanalah, di kampung-kampung yang seringkali luput dari perhatian gemerlap kota, kita merasakan langsung betapa rapuhnya keseimbangan alam. Pikirkanlah sejenak: ketika hujan tak lagi turun sesuai musimnya, siapa yang pertama kali merasakan kekeringan pahit di sumur-sumur? Ketika sungai meluap tanpa ampun, siapa yang kehilangan rumah dan mata pencarian? Atau saat tanah longsor menelan pekarangan, siapa yang kehilangan pijakan? Desa-desa kita, sayangnya, seringkali menjadi garda terdepan yang paling perih merasakan akibat dari Antroposen ini. Namun, di balik kepedihan itu, desa menyimpan harta karun yang luar biasa yaitu kearifan dan kekuatan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.

Di relung-relung desa, masih banyak “bisikan” leluhur yang tak lekang dimakan zaman. Ada tradisi yang mengajarkan kita untuk bersyukur atas setiap bulir padi, setiap tetes air, dan menjaga kesuburan tanah seolah itu adalah titipan paling berharga. Ada pula kebiasaan untuk tidak sembarangan menebang pohon atau mencemari sumber air, bukan karena takhayul, tapi karena pemahaman mendalam akan pentingnya harmoni dengan alam demi kelangsungan hidup bersama. Ini adalah panduan hidup yang abadi, melampaui sekat keyakinan atau zaman. Sudah saatnya kita tidak hanya mengenangnya, tetapi menghidupkan kembali kearifan ini, menjadikannya lentera di tengah kegelapan krisis modern.

Ada pula kebiasaan untuk tidak sembarangan menebang pohon atau mencemari sumber air, bukan karena takhayul, tapi karena pemahaman mendalam akan pentingnya harmoni dengan alam demi kelangsungan hidup bersama.

Bagaimana desa bisa menjadi cahaya harapan? Dimulai dari sesuatu yang mungkin terlihat sepele remeh temeh yaitu sampah. Bayangkan jika setiap rumah tangga di desa mulai memilah sampahnya, bukan lagi dibakar atau dibuang sembarangan. Sampah yang tadinya musuh, bisa berubah menjadi rupiah yang mengalir ke kas desa atau saku warga. Sisa makanan bisa diubah menjadi pupuk kompos subur untuk kebun sayur kita. Lingkungan bersih, ekonomi berputar, bukankah itu keberkahan yang nyata bagi semua, tanpa memandang siapa pun kita?

Lalu, lihatlah tanah kita, sumber kehidupan kita. Dulu, mungkin kita tergiur memakai pupuk kimia yang cepat, tapi perlahan membunuh kesuburan tanah. Sekarang, saatnya kita kembali ke pertanian yang bersahabat dengan bumi, dengan pupuk kompos dari sampah dapur kita sendiri, biarkan tanah bernafas, berikan nutrisi alami. Hasilnya? Pangan yang lebih sehat, tanah yang lestari, dan bahkan peluang pasar baru untuk produk “organik” yang diminati. Ini bukan hanya tentang panen, ini tentang kedaulatan pangan dan kesehatan seluruh keluarga kita di desa.

Sinergi Tiada Henti Sekolah dan Desa

Sekolah dan desa bukanlah dua dunia yang terpisah. Mereka adalah denyut nadi yang sama, saling membutuhkan, saling melengkapi. Bayangkan sebuah pemandangan indah: anak-anak sekolah, dengan mata berbinar dan semangat membara, membawa pulang ilmu tentang merawat bumi ke desa mereka. Mereka mengajak bersama semua orang tua cara mengolah sampah jadi pupuk, menyapa tetangga untuk menanam bibit, atau bahkan menjadi duta kecil yang mengingatkan untuk mengurangi plastik. Di saat yang sama, kearifan nenek moyang di desa, tentang bagaimana menghormati tanah dan air, akan mengalir kembali ke sekolah, menjadi pelajaran hidup yang tak ternilai, jauh lebih berharga dari sekadar teori di buku. Ini bukan lagi soal “mereka” dan “kita”, tapi tentang “kita semua”, sebuah orkestra harmonis yang bersinergi demi satu tujuan: merawat rumah kita bersama.

Hidupkan Aset Komunitas Terbengkalai Melalui Qoryah Toyyibah

KampusDesa.or.id–Malang, 18 Mei 2025 – Tim pengabdian masyarakat Qoryah Toyyibah UIN Malang yang terdiri dari Moh Mahpur, Sugeng Listyo P, Alfin Mustikawan, Fiqhan Khoirul Álim, dan Menyingari Alfianoor Ibrahim melakukan observasi awal di Dusun Sempu, Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Observasi ini menjadi langkah pertama dalam rangkaian program pengabdian untuk mengoptimalkan aset publik yang selama ini terbengkalai.

Baca juga: Magang Digital Marketing Mengesankan; Belajar Pengembangan Bisnis UMKM KDI

Salah satu temuan penting adalah kondisi SDN 03 Gadingkulon, sebuah lembaga pendidikan yang resmi ditutup sejak tahun 2021 karena tidak lagi memiliki murid. Sejak saat itu, bangunan sekolah yang dulunyamenjadi pusat pendidikan dasar masyarakat setempat, kini terbengkalai tanpa pemanfaatan yang jelas.

Diskusi memetakan penggunaan aset komunitas untuk kemanfaatan bersama

Tim Qoryah Toyyibah menilai bahwa aset tersebut masih memiliki potensi besar. Dari hasil pengamatan di lapangan, lokasi sekolah cukup strategis dan memiliki nilai yang dapat dikembangkan kembali untuk kepentingan masyarakat. Selain bangunan fisik yang masih berdiri kokoh, lingkungan sekitar juga mendukung untuk dijadikan pusat kegiatan baru, baik dalam bidang pendidikan, sosial, maupun pemberdayaan ekonomi.

Jadikan Aset Komunitas

“Kami melihat bahwa aset yang terbengkalai ini sayang jika dibiarkan begitu saja. Melalui program pengabdian ini, kami ingin menghadirkan gagasan baru agar bangunan sekolah bisa kembali hidup dan bermanfaat bagi masyarakat Dusun Sempu,” jelas Pak Mahpur sebagai ketua tim pengabdian.

Observasi ini menjadi pijakan awal untuk merumuskan arah program selanjutnya. Tim akan melakukan pemetaan potensi, diskusi dengan masyarakat, serta penyusunan model pemanfaatan aset agar keberadaannya mampu mendukung pembangunan desa yang berkelanjutan.

Dengan langkah awal ini, diharapkan SDN 03 Gadingkulon tidak lagi sekadar menjadi bangunan kosong, melainkan bertransformasi menjadi pusat aktivitas produktif yang menghadirkan nilai bagi masyarakat sekitar.

Penulis: Fiqhan Khoirul Álim

Magang Digital Marketing Mengesankan; Belajar Pengembangan Bisnis UMKM KDI

Kampusdesa.or.id–Magang di Kampus Desa Indonesia bagi kami selaku mahasiswa STIE Malangkucecwara, merupakan sebuah pengalaman yang mengesankan. Para mentor dari Kampus Desa Indonesia mendapingi kami dengan baik dan ramah. Situasi tersebut menciptakan kenyamanan bagi kami untuk melakukan aktivitas magang di Kampus Desa Indonesia. Kami belajar banyak hal, seperti cara memasarkan produk khususnya di Digital Marketing, sesuai dengan jurusan dan peminatan kami di kampus.

Kegiatan magang yang kita lakukan di Kampus Desa Indonesia seperti pengenalan produk, konten produk, dan proses pemasaran secara digital. Dari kegiatan tersebut memberikan pengalaman bagi kami bahwa kerja sama tim adalah hal yang sangat penting. Kita saling membantu satu sama lain untuk menciptakan kreatifitas dalam mempromosikan produk. Dengan demikian kami punya kemampuan mengenalkan produk yang disukai oleh konsumen.

Analisis Pasar dan Ngonten untuk Pemasaran

Selain itu, selama magang di Kampus Desa Indonesia, kami juga belajar bagaimana menganalisis pasar dan memahami kebutuhan konsumen agar strategi pemasaran yang kami terapkan lebih efektif. Kami langsung mengelola akun media sosial, merancang strategi konten, dan mengoptimalkan iklan digital agar produk yang kami pasarkan menjangkau lebih banyak orang.

Baca juga: Menjadi Pengusaha; Memantik Energi dari dalam Perusahaan

Tidak hanya itu, interaksi dengan para pelaku UMKM di Kampus Desa Indonesia juga membuka wawasan kami tentang tantangan yang mereka hadapi dalam mengembangkan usaha. Kami menerapkan teori yang dipelajari di perkuliahan untuk memberikan solusi, sekaligus mengasah kemampuan komunikasi dan negosiasi dalam dunia bisnis.

Take video. Suasana pengambilan konten di arena kampus STIE Malangkucecwara

Pengalaman ini menjadi momen berharga yang memperkaya wawasan dan membangun kepercayaan diri kami dalam menghadapi dunia kerja nyata. Melalui magang di Kampus Desa Indonesia, kami tidak hanya memahami praktik pemasaran digital, tetapi juga menyadari pentingnya strategi yang tepat. Lebih dari itu, kami merasakan betapa kerja sama tim, inovasi, dan semangat untuk terus belajar menjadi kunci keberhasilan. Semua itu membentuk kami menjadi pribadi yang lebih adaptif dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Pengalaman ini sangat berharga bagi kami. Tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga membangun rasa percaya diri dalam menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.

Social Media Analyst

Sebagai social media analyst, kami belajar cara menganalisis performa konten memakai berbagai tools digital. Pada dasarnya kami sudah mempelajarinya di perkuliahan, sehingga kami bisa mengimplementasikan di magang Lembaga Kampus Desa Indonesia. Kami mulai paham bagaimana cara membaca data, mengukur engagement, dan menentukan strategi konten yang lebih efektif berdasarkan insight dari audiens. Ternyata, dunia media sosial tidak hanya soal membuat postingan keren, tapi juga butuh analisis supaya konten yang telah kita buat bisa maksimal.

Baca juga: Tuntas; Tiga Puluh Pemuda Desa Dilatih Bermental Wirausaha

Kami memilih fokus pada media sosial TikTok karena platform ini sangat digemari oleh Gen-Z dan lintas generasi lainnya. Popularitas TikTok memberikan kemudahan bagi kami untuk memahami strategi promosi yang relevan dan kekinian. Melalui konten yang kreatif dan fitur jual beli yang tersedia, kami mampu menarik pelanggan baru secara lebih efektif. TikTok bukan hanya media hiburan, tetapi juga ruang strategis untuk membangun koneksi pasar dan memperluas jangkauan produk secara dinamis.

Menuai Pengalaman Berharga

Sebulan magang di Kampus Desa Indonesia tidak hanya ngajarin soal digital marketing dan social media analysist, tapi juga melatih skill komunikasi, teamwork, dan problem-solving. Pengalaman ini membuka wawasan kami tentang industri fashion muslim dan bagaimana digital marketing berperan penting dalam keberhasilan suatu brand. Kami merasa lebih siap untuk terjun ke dunia profesional setelah pengalaman magang ini.

Kami belajar bagaimana mengelola media sosial, menganalisis pasar, serta menciptakan strategi pemasaran yang efektif berdasarkan data dan tren yang ada.

Jadi magang di Kampus Desa Indonesia memberikan banyak pelajaran dan pengalaman berharga bagi kami, baik dari segi ilmu pemasaran digital maupun pengembangan keterampilan profesional. Kami belajar bagaimana mengelola media sosial, menganalisis pasar, serta menciptakan strategi pemasaran yang efektif berdasarkan data dan tren yang ada. Selain itu, kami juga mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan pelaku UMKM dan memahami tantangan yang mereka hadapi dalam mengembangkan bisnis mereka.

Lebih Siap Kerja

Secara keseluruhan, magang ini membuat kami merasa lebih siap untuk terjun ke dunia kerja yang sesungguhnya. Kami semakin memahami bahwa keberhasilan dalam pemasaran digital tidak hanya bergantung pada strategi yang tepat, tetapi juga kerja sama tim, inovasi, serta kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di industri. Magang di Kampus Desa Indonesia benar-benar menjadi pengalaman yang berharga dan tak terlupakan bagi kami.

Kami mahasiswa STIE Malangkucecwara mengucapkan beribu-ribu terimakasih kepada Kampus Desa Indonesia yang telah memberikan kami kesempatan untuk bekerja sama dan berkembang bersama di Kampus Desa Indonesia, dan kita juga berterimakasih kepada mentor mentor yang telah membimbing kita selama satu bulan ini. Semoga ilmu yang telah kita dapat selama magang di Kampus Desa Indonesia ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Kampus Desa Indonesia juga dapat berkembang lebih baik dan lebih luas dan dapat berbagi ilmu kepada semua orang (Afiffa Nadine, dkk).

Perempuan dan Kerja Toleransi

Kampusdesa.or.id–Melalui semangat toleransi agama dan solidaritas antarumat, bersama para umat lintas agama dan kepercayaan, ada kegiatan semarak di Hotel Mirabell, Kepanjen, Kabupaten Malang yang membincang bagaimana “Peran Penting Perempuan dalam Menjaga Toleransi dan Keberagaman” (Selasa, 13 Mei 2025). Kegiatan ini mempertemukan berbagai elemen masyarakat, mulai dari tokoh agama, pemuka komunitas, aktivis lintas iman, hingga akademisi yang memiliki perhatian mendorong cipta perdamaian yang penuh toleran.

Baca juga: Menjadi Pengusaha; Memantik Energi dari dalam Perusahaan

Beberapa penampilan budaya mengawali kegiatan tersebut yang mencerminkan semangat keberagaman. Tampil para penari tradisional dari Himpunan Pemuda Hindu Indonesia dan lagu “Bunda” dari perwakilan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Penampilan ini menjadi simbol harmoni antar keyakinan dan nilai kasih universal yang memperkuat posisi perempuan dalam kehidupan berbangsa.

Peran Perempuan untuk Toleransi

Ikhsan, perwakilan Gusdurian Kanjuruhan, Kabupaten Malang membuka sesi diskusi dengan menekankan bahwa perempuan adalah tiang bangsa. “Perempuan memiliki peran besar dalam menjaga toleransi dan keberagaman. Namun, ini bukan hanya tugas perempuan, tetapi tanggung jawab bersama sebagai warga negara Indonesia,” ucapnya.

Perempuan adalah sumber ajaran utama dalam keluarga. Ia tidak boleh mengajarkan kekerasan, melainkan harus menanamkan nilai-nilai kedamaian.

Dari perspektif Hindu, Istiana, Ketua PHDI Kabupaten Malang, mengingatkan sebenarnya perempuan disebut Stri dalam ajaran Hindu. Dia adalah perwujudan sakti atau kesaktian. “Perempuan dengan demikian merupakan sumber ajaran utama dalam keluarga. Ia tidak boleh mengajarkan kekerasan, melainkan harus menanamkan nilai-nilai kedamaian. Karena itu, perempuan wajib dihormati oleh seluruh anggota keluarga,” tuturnya.

Baca juga: Haul Ke-15 Gus Dur di Pesantren Rakyat Al-Amin: Lahirkan Petisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Tamariska Fendy Putri, Pendeta GKJW Sumberpucung sekaligus Ketua Pemuda MD 1, menyoroti peran perempuan sebagai pendidik toleransi sejak dini. “Perempuan adalah role model utama dalam keluarga dan masyarakat. Meski menghadapi beban kerja ganda dan realitas sosial yang penuh tantangan, perempuan harus tetap menjadi agen yang menyuarakan perdamaian dan menolak narasi kebencian,” jelasnya.

Rekomendasi Aksi Toleransi Kabupaten Malang

Dari ranah akademik, Mohammad Mahpur, mewakili sebagai dosen Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, memaparkan hasil kajiannya bahwa narasi damai seperti empati, silaturahmi, dan toleransi masih bertahan dalam kehidupan anak muda. “Namun, hanya sekitar 20% yang secara sadar menjadikan toleransi sebagai nilai utama. Cara efektif untuk menumbuhkan kesadaran ini adalah dengan menghadapkan generasi muda langsung pada realitas keberagaman agar mereka belajar menghargai perbedaan,” terangnya.

Menutup sesi, Hikmah Bafaqih, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, menyampaikan bahwa toleransi harus tumbuh dari cara berpikir yang adil. “Rasa cinta dan kasih sayang adalah bahasa yang dapat menjadi spirit komunikasi mencari jalan keluar menghadapi masalah secara bersama-sama.” Pemerintah, khususnya DPRD Provinsi, berkewajiban memfasilitasi ruang-ruang dialog dan pendidikan keberagaman seperti ini,” tegasnya.

“Kita punya rasa cinta dan kasih sayang untuk mengomunikasikan hubungan lintas agama yang damai. Pemerintah, khususnya DPRD Provinsi, berkewajiban memfasilitasi ruang-ruang dialog dan pendidikan keberagaman seperti ini,”

Bersama narasumber, para peserta tak lupa berpose kenang kebersamaan tolerans

Acara ini menjadi ruang penting dalam memperkuat peran perempuan sebagai penjaga nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat multikultural. Perempuan bukan hanya penerus nilai, tetapi juga penggerak utama dalam merawat keberagaman Indonesia agar tetap lestari dan harmonis.

Dewata Kusayang, Dewataku Malang; Bali Digempur Kapitalisme

0

Kampusdesa.or.idTak jelas siapa yang memulai. Jika membuka TikTok tentang Bali, algoritma akan mempertemukan kita dengan FYP berbunyi “bawa lukamu ke Bali” yang mengukuhkan citra pulau berjuluk dewata itu sebagai tujuan healing. Bali laksana ibu yang memeluk luka anaknya dalam diam, kata beberapa orang di kolom komentar.

Sama seperti Yogyakarta dan Bandung yang kita romantisasi, Bali bahkan mengejawantahkan romantisme ini dalam tulisan penulis mancanegara. Saat menulis artikel, saya baru saja menghabiskan buku “Bali: A Paradise Created” karya Adrian Vickers tentang dialektika persepsi masyarakat adat dan imajinasi Barat yang mengubah citra Bali. Penulis menjulukinya “The Last Paradise” tempat budaya Asia-Pasifik bertemu.

“Di Bali, pesona alam berpadu dengan ritus yang bergema seperti Dhanvantari, dewa Ayurveda pembawa Amerta. Namun, pesona ini menyimpan paradoks: yang sakral rapuh, alam yang menyembuhkan rentan terluka, budaya yang tergerus kesakralannya. Bali menunggu tahap kritis: Dewataku sayang, Dewataku Malang.”

Di Bali, alam memang berpadu dengan ritus. Namun, paradoks menganga: alam penyembuh rentan dilukai tangan manusia yang dirawatnya, budaya sakral tergerus komersialisasi. Bali sendiri menyimpan luka yang kian menganga, menunggu ketahapan kritis.

Baca juga: Patuwen Kopi, Setetes Tinta Sejarah dalam Festival Kopi 2025 GKJW

Tattwa, Susila, Acara: Negosiasi Nilai dalam Pusaran Pasar

Dalam kosmologi Hindu Bali, tiga pilar peradaban—Tattwa (filsafat), Susila (etika), Acara (ritual)—adalah sistem dinamis yang beradaptasi. Namun, pariwisata massal sebagai produk kapitalisme mempercepat transformasi ketiganya dengan logika pasar. Ritus tunduk pada kalender pariwisata, sebatas atraksi eksotis tanpa makna transendental.

Pura Besakih dan Tanah Lot menjadi medan pertarungan simbolis: kamera turis menggeser fokus sembahyang. Persoalan etika tergerus saat turis berkendara sesukanya, didukung warga lokal yang membiarkan atau ikut-ikutan. Pemerintah abai meratakan kesempatan kerja, memicu invasi pendatang tak terbendung.

“Melalui fetisisme komoditas Marx, nilai guna budaya Bali—ritual, seni sakral, hubungan kolektif—teralienasi menjadi nilai tukar. Tri Hita Karana jadi semboyan tak bermakna; sawah berubah villa, pohon ratusan tahun terbunuh untuk industri hiburan. Pantai andalan berlandskap tambang, seperti di Selatan Bali dan Nusa Penida.”

Bali dalam Fetisisme Komoditas

Logika akumulasi kapital Marx (1867) mengubah relasi sosial-budaya Bali menjadi komoditas. Yang esensial—ritual adat, seni sakral—tereduksi jadi objek konsumsi. Tri Hita Karana, filosofi keseimbangan alam-manusia-spiritual, hanya diseminarkan tanpa diterapkan.

Baca juga: Menjadi Pengusaha; Memantik Energi dari dalam Perusahaan

Sawah dan pantai menjelma villa dan beach club; laut dipagari kepemilikan pribadi. Gary Bencheghib dalam dokumenter Rahayu Project berkata: “Bali kehilangan kepingan surganya setiap hari.” Proses ini mencerminkan dominasi modal atas ruang hidup dan kontradiksi dialektis: nilai komunal tradisional versus imperatif profit kapitalis.

Nyala Perlawanan dari yang Paling Mungkin

Masyarakat Bali tak diam. Dalam perspektif Dharma vs. Adharma, perlawanan adalah upaya menjaga keseimbangan kosmis. Setiap tindakan mempertahankan tradisi, lingkungan, atau hak budaya adalah wujud dharma—tanggung jawab moral melindungi harmoni alam-manusia-spiritual.

“Perlawanan tak selalu frontal: petani Bali Utara pertahankan Subak, nelayan Serangan lawan privatisasi laut, pemuda ubah Ogoh-ogoh Bhuta Yadnya jadi medium kritik. Seperti api dalam sekam, perlawanan menyala dalam kesadaran dan konsistensi—dharma tak hanya bertahan, tapi jadi cahaya penuntun transformasi beradab.”

Perlawanan tercermin dalam laku sehari-hari. Subak—sistem irigasi tradisional berbasis Tri Hita Karana—dipertahankan petani Bali Utara. Nelayan Serangan melaut melawan privatisasi. Pemuda Bali menyelaraskan ritual Bhuta Yadnya dengan kritik sosial melalui Ogoh-ogoh.

Seperti firman Bhagavad Gita: “Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati… tadātmānaṁ sṛjāmyaham” (“Kapan pun dharma merosot, Aku mewujudkan diri”). Perlawanan ini adalah perwujudan dharma: gotong-royong, kreativitas ritual, dan keteguhan hati. Api itu mungkin tak bergemuruh, tetapi menyala-nyala dalam empati dan kesadaran.

Putu Ayu Sunia Dewi
Aktivis Perhimpunan pelajar Indonesia di Luar negeri / pengurus PPI TV