Rabu, Oktober 8, 2025
Google search engine
Beranda blog Halaman 63

Membangkitkan Kesadaran Sains Sejak Dini

0

Sekolah atau guru barangkali lupa atau terlena, berjibaku dengan aneka hapalan rumus sains dan menguji kebenarannya di akhir semester. Apa gunanya rumus dan kebenaran itu pada dunia pembelajar, jika kemudian mereka buta terhadap kenyataan sains yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari? Camps Literasi Sains Kampus Desa diselenggarakan untuk membuka mata siswa bahwa sains itu bisa disentuh, bahkan bisa dipraktikkan dengan penuh gembira. Berminat menjadi relawan sains Kampus Desa, atau Sekolah Anda agar guru-gurunya mampu mereproduksi sains menjadi bahan out-bond yang menakjubkan, hubungi kantor atau media sosial kami.

Malang, KampusDesa–Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku,budaya dan agama yang menjadi identitas daerah masing-masing. Setiap daerah tersebut tentunya mempunyai ciri khas tersendiri. Terutama dalam hal adat istiadat atau sosial budaya yang setiap harinya di gunakan dalam bermasyarakat. Budaya-budaya tersebut dapat di aplikasikan dalam bentuk dolanan (bermain) dalam dunia anak-anak. Tentunya di berbagai daerah terdapat bermacam-macam dolanan yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Namun, tidak banyak dari anak-anak yang mengetahui jika dolanan yang mereka gunakan merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu sains.

Selama ini saya hanya bisa meminta dan menuntut kepada negara namun belum bisa memberikan kontribusi yang besar untuk bangsa dan negara ini. Maka dari itu saya berniat untuk menjadi relawan sains dengan bergabung pada tim tersebut.

Hal itu membuat saya tertarik untuk tergabung dalam tim literasi sains. Karena saya teringat pada satu pepatah, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu tapi tanyakanlah apa yang  sudah kamu berikan kepada negaramu.” Selama ini saya hanya bisa meminta dan menuntut kepada negara namun belum bisa memberikan kontribusi yang besar untuk bangsa dan negara ini. Maka dari itu saya berniat untuk menjadi relawan sains dengan bergabung pada tim tersebut.

Meniup balon dengan senyawa kimia. Senyawa kimia diambil dari bahan obat-obatan yang dijual dipasaran (apotik). Ketika hendak membusa, segeralah lubang balong dipasang di

Salah satu daerah yang menjadi sasaran relawan tim sains kali ini adalah Kantor Kelurahan Cemorokandang, JL. Raya Cemorokandang, Cemorokandang, Sawojajar, Kedungkandang, Kota Malang. Kegiatan ini di ikuti oleh siswa/i SD dari berbagai kecamatan yang ada di kota Malang. Adanya tim ini bertujuan untuk memberikan pendidiikan literasi sains, dimana dalam setiap kegiatannya terdapat ilmu sains yang diaplikasikan dalam bentuk permainan-permainan. Tim ini terdiri dari 20-30 Mahasiswa dari berbagai Universitas yang ada di Malang. Mahasiswa yang mengikuti kegiatan tersebut tergabung dari berbagai jurusan, yakni fisika, kimia, biologi, matematika, teknik, dan sebagainya.

Mengapa harus permainan yang diberikan? Bukan pelajaran atau rumus-rumus? Usia anak-anak merupakan tahapan dimana keaktifan anak sangatlah tinggi, mereka lebih suka bermain dari pada belajar. Maka dari itu relawan sains memberikan permainan yang sekaligus terdapat pembelajaran di dalamnya. Mereka akan merasa gembira dan tentunya pelajaran akan mudah dipahami dan diingat.

Adapun permainan-permainan yang di berikan kepada siswa/i sangat beragam. Di antaranya adalah Jeruk Bola, Sulap Air, Balon Ajaib, Roket Air, Rainbow Walking, Tata surya dan lain sebagainya. Setiap permainan tersebut adalah aplikasi dari ilmu-ilmu sains. Misalnya penerapan ilmu kimia yang terdapat pada permainan jeruk bola, bola tersebut pecah jika ditetesi dengan air jeruk, karena air jeruk mengandung zat asam dengan kadar yang sangat tinggi, sedangkan balon akan mudah pecah jika terkena zat asam yang tinggi.

Adapun penerapan ilmu fisika yaitu terdapat pada Rocket Air. Roket Air tersebut terbuat dari botol bekas yang kemudian diisi dengan air. Roket bisa terbang ketika dipompa, karena roket menerima tekanan dari pompa yang berupa gas dan mengakibatkan roket bisa terbang.

Sains melatih anak bereksperimen dengan melaksanakan beberapa percobaan, memperkaya wawasan anak untuk selalu ingin mencoba dan mencoba
Memindah cairan dengan menggunakan tissue. Sifat tissue yang mudah menyerah secara cepat, dia mampu memindahkan air dari satu lokasi ke lokasi lain. Selain sifat tissue yang mampu menggerakkan air, ia juga mampu mentransformasi warna. Permainan sains ini menimbulkan ketakjuban, rasa suka dan menjadi pengalaman baru yang mencerahkan. Kebahagiaan dan ketakjuban akan merangsang memori jangka panjang anak-anak bahwa sains adalah fakta yang menyenangkan dan dapat diamati fungsinya dalam kehidupan nyata. Apakah Bapak/Ibu guru telah membawa anak-anak pada ketakjuban ketika belajar sains?

Faktanya, Banyak manfaat yang bisa diperoleh jika anak sejak dini telah diperkenalkan dengan sains. Sains melatih anak bereksperimen dengan melaksanakan beberapa percobaan, memperkaya wawasan anak untuk selalu ingin mencoba dan mencoba sehingga sains dapat mengarahkan dan mendorong anak menjadi seorang yang kreatif dan penuh inisiatif.

Sains membiasakan anak-anak mengikuti tahap-tahap eksperimen dan tak boleh menyembunyikan suatu kegagalan. Artinya, sains dapat melatih mental positif, berpikir logis, dan urut (sistematis). Di samping itu, dapat pula melatih anak bersikap cermat, arena anak harus mengamati, menyusun prediksi, dan mengambil keputusan.

Sebuah Pesan untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ‘Masa Kini’

0

Istilah guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa kini telah beralih untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Seiring dengan berkembangnya zaman, makna dari seorang guru seolah tidak lagi sesakral dahulu kala. Kian lama makna keikhlasan seorang ‘guru’ telah terkikis oleh waktu. Fenomena dekadensi moral pun tidak bisa dipungkiri telah menjamur di berbagai sudut kota. Lalu, benarkah jika hal ini terus berlarut-larut?

KampusDesa–Coretan berikut ini tidak bermaksud menyudutkan apalagi mendiskreditkan pendidik atau guru. Coretan ini hanya bertujuan sebagai bahan introspeksi diri saja. Agar sebagai agent of change, guru dapat terus meningkatkan kualitasnya.

Kerap kali terucap bahwa hasil pendidikan karakter generasi lampau lebih baik dibandingkan dengan hari ini.

Setiap pembicaraan mengenai pendidikan karakter, hampir selalu ada pembandingan antar-output pendidikan lintas generasi. Hasilnya, kerap kali terucap bahwa hasil pendidikan karakter generasi lampau lebih baik dibandingkan dengan hari ini. Padahal dari segi modernitas, kalah jauh.

Mengamini pendapat ini, muncullah gagasan untuk mengembalikan paradigma pendidikan ke masa lampau. Karena memang sudah terbukti dan teruji mampu menghasilkan manusia-manusia yang berkarakter kuat, memiliki skill matang, dan mampu berperan dalam kehidupan di masyarakat.

Pada titik ekstrimnya, ada yang mengatakan sistem pendidikan kita telah gagal. Semakin modern tatanan sistem pendidikan nasional, ternyata tidak cukup efektif menghasilkan output sebagaimana pendidikan masa lampau. Hal ini lalu dikaitkan dengan fenomena dekadensi moral yang menjangkiti generasi muda saat ini.

Benarkah anggapan demikian bisa diterima?

Tentu untuk membuktikannya dibutuhkan kajian mendalam dan menyeluruh. Namun sebenarnya secara sederhana dapat kita telisik mengapa para pendidik generasi lalu sukses dalam menanamkan karakter kepada murid-muridnya.

Tidak hanya mendo’akan, seorang guru juga melakukan tirakat untuk murid-muridnya.

Ada beberapa faktor yang saling berresonansi mewujudkan hal tersebut, satu di antaranya adalah keikhlasan pendidik untuk mendo’akan muridnya. Bahkan tidak hanya mendo’akan, mereka juga melakukan tirakat untuk murid-muridnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa do’alah yang akan menjadi washilah turunnya ridlo Allah SWT. Sehingga apa yang dipelajari oleh para murid dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.

Barangkali hal sederhana inilah yang luput dari pengamatan kita. Seiring berkembangnya zaman, banyak orientasi hidup yang telah bergeser. Termasuk orientasi dalam mendidik. Dijadikannya guru sebagai profesi dengan berbagai derivasi kebijakan yang menyertainya di satu sisi ternyata melahirkan masalah baru. Keikhlasan dan ketulusan guru dalam mendidik menjadi terdegradasi.

Berbeda dengan zaman dahulu, kini tujuan utama menjadi guru telah bergeser untuk mendapatkan penghasilan.

Tujuan utama menjadi guru tidak lagi semata-mata untuk mengamalkan ilmu dan mendidik manusia. Namun telah bergeser untuk mendapatkan penghasilan. Sungguh pun hal ini sah-sah saja, mengingat konstitusi dan sistem pendidikan nasional juga mengamini. Namun ternyata telah menimbulkan dampak yang tidak sederhana.

Orientasi yang demikian akan menggiring guru melupakan tugas esensialnya sebagai pendidik. Mereka akan disibukkan oleh hal-hal administratif yang menjadi syarat utama kenaikan pangkat dan peningkatan kesejahteraan. Akibatnya, pembelajaran menjadi sambilan. Murid tidak terpenuhi hak-haknya.

Mirisnya, jika terjadi kenakalan atau perilaku menyimpang dari murid, semua sibuk mencari kambing hitam. Termasuk mengkambinghitamkan murid sendiri. Meski tidak menampik bahwa individu murid juga menjadi faktor terjadinya kenakalan dan perilaku menyimpang. Namun guru sebagai role model bagi murid tetap akan menjadi pihak yang paling disudutkan.

Akhirnya, mewujudkan generasi yang berkarakter kuat dan berbudi luhur tidaklah cukup hanya dengan konsep dan sistem pendidikan yang modern. Aspek spiritual berupa keikhlasan dan do’a dari para pendidik juga sangat diperlukan.

Omahe Mbah Alim, 02 Februari 2019

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

Rahasia Menghadapi Sesuatu Di luar Dugaan

0

Setiap manusia tentu mempunyai harapan agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Namun demikian, terkadang harapan tersebut terhenti sejenak karena adanya sesuatu di luar dugaan. Tidak mudah memang menyelesaikan masalah yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Apalagi jika kita tidak mempunyai cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Di sinilah pentingnya sebuah ‘cara’ untuk menghadapi berbagai hal di luar prediksi kita.

KampusDesa–Menjadi manusia saja sudah multifungsi, bisa menulis, membaca, melihat dan mendengar, apalagi dengan berbagai amanah. Bertakdir menjadi seorang perawat fungsional adalah amanah kesekian yang diemban. Mengapa? Sebab ada amanah yang lebih dulu tuntas. Seperti dahulu bagaimana menjadi anak yang baik dan berbakti.

Jika bukan panggilan jiwa, mungkin sulit sekali diri ini berdamai untuk menerima kodrat sebagai perawat.

Bicara soal perawat, tentu berkaitan dengan karir dan ke-profesional-an. Banyak yang menginginkan karir menjadi perawat, padahal menjadi perawat itu bukan hal yang mudah. Kalau bukan petinggi rasanya sulit sekali untuk merawat dengan tulus, apalagi hampir semua yang masuk ke rumah sakit sedikit yang pakai umum. Memang sih, yang kita kepoin adalah riwayat penyakit, pola hidup sehatnya dan semua hal yang berkaitan dengan kesehatan. Tetapi, jika bukan panggilan jiwa, mungkin sulit sekali diri ini berdamai untuk menerima kodrat sebagai perawat.

Problematika yang dihadapi tidak lain adalah dari diri sendiri, bagaimana kita bisa tetap semangat, tumbuh, menebar kebaikan dan kebermanfaatan dengan berada di posisi sebagai perawat fungsional. Simpelnya menempatkan diri pada posisinya. Jika di tempat dinas sebagai seorang perawat atau tenaga kesehatan, lain halnya di rumah yang menjadi suami atau istri, ayah atau ibu, mertua atau menantu, dan sebagainya.

Belum lagi beberapa hal yang timbul dari lingkungan. Seringkali dihadapi dengan berbagai stressor dari luar berupa kemacetan, misalnya. Bisa juga internal, yang mana ada kesenjangan dalam hubungan keluarga sendiri. Tetapi, ketika segaram itu dikenakan dan melekat dengan kulit, kita bisa apa? Selain menerima kenyataan, menghadapi dan berusaha meninggalkan beban yang dipikul dengan mengenal dan menempatkan diri pada amanah yang telah menanti di depan mata, seperti tugas perawat misalnya.

Andai rasa sabar dan syukur hilang, mungkin hidup ini telah berlalu bagai sembilu yang membunuh.

Tidak jarang tubuh merasakan lelah yang amat sangat karena pekerjaan rumah yang tak pernah usai. Belum lagi dengan berbagai sikap orang lain, yang memberikan respon tak diinginkan. Padahal, susah payah bagun dini hari agar keluarga dapat terurus lagi terawat sebelum merawat pasien. Namun, inilah realita hidup yang sesungguhnya. Andai rasa sabar dan syukur hilang, mungkin hidup ini telah berlalu bagai sembilu yang membunuh.

Perawat. Dunia perawat mengurusi manusia, menuntut jiwa besar menghadapi orang lain

Sebetulnya, tidak ada orang yang benar-benar senang dengan perubahan dan pepisahan. Walaupun memang, dari perpisahan mengundang pertemuan baru dan dari perubahan menghasilkan gagasan baru. Tapi, tetap saja rasanya berat jika legowo itu sempit. Untunglah bibir masih dapat tersenyum, menerima pasien baru dengan tangan lebat yang siap membantu dan merawat.

Meskipun senyum itu mudah, akan menjadi sulit jika terpaksa. Penting sekali menanamkan dan terus memupuk rasa sabar lagi ikhlas. Bukan hanya itu, banyak teman sejawat yang menjawab dengan berbagai variasi saat ditanya bagaimana rasanya jaga dengan bed full atau kosong sebagian?

“Enakkan full, jadi nggak ribet buat nerima pasien masuk,” atau ada juga yang menjawab, “Gapapa sih kosong, kan kerjaannya lebih ringan,” dan ada pula yang membuatku bingung dengan jawabannya, “Full bed boleh asalkan semua pasien berada ditarap partial care, jadi walaupun capek, nggak sampai ribet. Pun kalau sebagian kosong atau hanya ada beberapa pasien dengan total care, tidak masalah.”

Ternyata banyak cara pandang yang didapat dengan berbagai pendapat. Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah memilah dan memilih pendapat yang paling relevan dengan diri kita. Maha Baik Tuhan yang senantiasa menyajikan sebuah cara untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada. Maka, bersyukurlah, tersenyumlah dan bersabarlah. Karena balasan untuknya adalah surga. Sungguh tiada yang sia-sia jika kita menumpahkan segala keluh kesah kepada-Nya.

أُوْلَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا

“Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka.” (QS.al-Furqan:75).

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

Forward Buta, Nabi Katakan Pembohong

0

Suka mem-forwad pesan dan memviralkan! Padahal pengetahuan tentang sumber pesan tersebut belum tahu kebenarannya dan keasliannya dari siapa? Kejujuran atau maksud tersembunyi dari sebuah pesan terkadang sering tidak dikenali. Menelan mentah-mentah informasi/pesan digital dan membagikannya begitu saja, menurut Nabi Muhammad lebih dekat dengan istilah mentalitas pembohong.

Kampusdesa–Tahun 2019 disebut dengan tahun politik. Imformasi yang dikonsumsipun juga sangat banyak terkait dengan aneka kebutuhan kampanye dan berbagai pesan menarik simpatisan. Trending topik di beberapa akun menjadi tolak ukur publik. Trending topik menjadi tuhan-tuhan kecil yang diperebutkan dengan berbagai tujuan, mulai dari mengenalkan figur, memecah perhatian, meningkatkan sentimen, bahkan membuat narasi prasangka untuk memperoleh keuntungan mendulang suara. Aneka hastag (#) diciptakan sebagai senjata kata-kata agar mudah mengkapitalisasi pesan dalam berbagai indexs pencarian dan menyedot informasi berdasarksn kata kunci tertentu. Hastag dikembangkan dari aneka status media sosial, baik dengan batasan kata atau status tulisan yang panjang dan lebih menarik disertai pesan video. Maka pesan politik bisa mudah didapatkan apalagi berujung viral, bisa juga jadi sumber pendapatan. Lumayan kan dibuat menambah dana kampanye. Surplus.

Sebagai masyarakat digital, kesenangan kita bertambah. Pesan atau video itu seperti jamu menitan yang membikin kita senyum, tertawa ha ha hi hi sendirian. Kalau zaman pra-digital, yang senyum-senyum dan tertawa sendirian mesti dicap miring alias tidak penuh pikirannya. Kita juga sering peragakan dengan jari telunjuk diiringkan di depan kening, pertanda orang yang kita simbolkan begitu sebagai sosok yang tidak tegak (jawa: jejeg). Tapi era digital menjadikan senyuman dan tertawa sendirian bagian pertanda sehat. Wong dengan sendirian saja bisa tertawa, berarti kan gembira. Nah, dipikir-pikir kalau menyembuh orang gila di era digital sepertinya lebih mudah. Orang gila tersebut cukup dikasih smartphone, maka senyuman dan tertawaannya sudah selevel orang normal kan. Berarti era digital cukup membantu para orang depresi dan gila setara dengan orang normal. Heee…

Iki wolak walike zaman memunculkan perilaku baru yang waras dan tidak waras bergeser. Betulkah demikian yang Anda rasakan? Kalau pembaca tidak setuju, yo wis ben… Eh, kasar sekali nada saya. Maafkan ya kalau terlalu slengekan. Dilanjutkan saja ya pembahasan ini. Begini titik wolak walike zaman. Kita memang mudah mendapatkan informasi. Meski terkesan gratisan. Nah lagi-lagi kita sudah terlena oleh kepentingan provider penyedia paket data. Saat sudah punya paket data kita lupa juga kalau sebenarnya kita telah membayar informasi dan pesan yang kita forward ke orang lain.

Kembali ke pokok persoalan mengenai pesan digital. Banyak sekali pesan yang diproduksi orang dan yang menyebarkannya. Apalagi kalau sudah menyangkut sentimen sara, agama dan personal, serta sudah menyinggung kebutuhan identitas dan kepentingan eksistensi masyarakat. Pesan yang diterima nyaris ditelan mentah-mentah dan langsung dibagikan secara berjamaah. Pesan itu akan viral. Yah yang untung pemilik jasa pulsa.

Dari berbagai amatan isi pesan (content digital) sering sekali pesan itu diinjeksi emosi ketakutan, kebencian, pembenaran dan serangan halus terhadap sosok atau etnik dan agama. Biasanya pesan-pesan demikian itu lebih banyak bergenre cerita, potongan-potongan berita, bahkan berupa video yang diedit sehingga jikalau diterima tanpa kritik, bisa jadi masyarakat digital terjebak pada pemahaman yang salah.

Jika meneruskan pesan tersebut ke orang lain dan pembagi pesan tersebut merasa menjadi lebih baik, lebih merasa agamis, hal itu akan menguasai mentalitas taqlid pesan dan menyesatkan pikiran.

Jika penerima pesan tidak kritis, informasi itu akan mendikte pikiran pembaca dan mudah membenarkan seluruh informasi sehingga ketika dirasa pesan itu cocok, membela, bahkan menyentuh emosi pembaca maka seseorang tersebut akan mudah melakukan pembenaran. Apalagi jika meneruskan pesan tersebut ke orang lain dan pembagi pesan tersebut merasa menjadi lebih baik, lebih merasa agamis, hal itu akan menguasai mentalitas taqlid pesan dan menyesatkan pikiran.

Mengapa demikian? Pikiran seseorang itu mudah terbentuk dari proses penyerapan informasi yang bertubi-tubi meskipun tidak begitu disengaja. Justru ini yang lebih berbahaya. Ketika seseorang lebih suka membagi informasi itu, berarti dia sedang merekam pembenaran pesan tersebut dan membentuk cara berpikirnya.

Obyek bacaan lama kelamaan akan membentuk pandangan, sikap dan perilaku tertentu yang mengubah seseorang. Oleh karena itu, sangat relevan jika pengaruh pesan-pesan yang dibaca kemudian diteruskan (diforward) ke orang lain menunjukkan penerima telah menyepakati isi pesan, lama kelamaan akan mempolarisasi proses berpikir pembaca pada sebuah kebenaran yang tidak memiliki acuan jelas.

Hasil penelitian psikologi menemukan bacaan bergenre cerita pendek secara perlahan-lahan akan membentuk perubahan pandangan dan sikap terhadap orientasi seksual seseorang dan perilaku menyintai obyek sebuah sosok di dalam komik (Saputri, 2013;  Chusnawati, 2014). Penelitian ini membuktikan bahwa obyek bacaan lama kelamaan akan membentuk pandangan, sikap dan perilaku tertentu yang mengubah seseorang. Oleh karena itu, sangat relevan jika pengaruh pesan-pesan yang dibaca kemudian diteruskan (diforward) ke orang lain menunjukkan penerima telah menyepakati isi pesan, lama kelamaan akan mempolarisasi proses berpikir pembaca pada sebuah kebenaran yang tidak memiliki acuan jelas.

Lebih dekat sebagai pembohong

Realitas ini ternyata sudah menjadi pengalaman dan perimgatan yang didengungkan nabi. Nabi Muhammad mengingatkan kepada umat Muslim dan dapat diperluas kepada umat manusia bahwa barang siapa merima kabar berita dan langsung disebarluaskan, besar kemungkinan orang itu lebih dekat sebagai pembohong. Ini dapat disejajarkan dengan cara penyebaran informasi masyarakat digital yang lebih longgar forward pesan. Apalagi kalau ada pesan agama. Masyarakat beragama yang aktif bermedia sosial tanpa pikir panjang, forward saja. Toh ini ada dalilnya. Pasti isinya baik. Apalagi itung-itung ada pesan, jika Anda orang beragama maka menyebarkan pesan ini bagian dari ibadah. Wus…. langsung main forward.

Gejala ini juga menjangkiti di kalangan terdidik yang seharusnya bisa berpikir kritis, bahkan selevel profesor-pun kok yo iso-isone main forward ketika menerima pesan yang memihak dan bahaya, seperti memojokkan identitas agama. Padahal kalau dipikir-pikir mereka tidak sulit menulis ssndiri lalu dibagikan. Sik-sik, jangan-jangan hasrat ibadah kita menggebu-gebu, ingin segera mendapat pahala dan mumpung ada konten ibadah, langsung saja diforward, ringan, tidak perlu butuh berpikir, apalagi menulis konten yang lebih orisinil.

Bagaimana kok bisa. Padahal kalangan terdidik seharusnya lebih kritis dan otonom untuk memproduksi konten keagamaan atau konten sendiri yang dapat dibagikan ke masyarakat digital. Masyarakat digital menjadi instan dan gegabah tanpa mampu menyeleksi dan mengkaji orisinalitas pesan. Pesan yang terkadang dibumbui oleh dalil-dalil agama tetapi sebenarnya hanya menguatkan pesan tersembunyinya untuk menabur kebencian, keekslusifan dan keberpihakan yang buta. Inilah alasan mengapa Nabi kemudian memberikan penjelasan sebagai berikut,

(عن أبى هريرة قال: قال رسول الله ص. كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا‘ أنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (رواه مسلم

Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar” (HR. Muslim).

Orang yang mudah membagikan pesan berarti dia taqlid konten. Sementara sumber dari konten jarang dilacak, dibandingkan, dinalar argumentasinya, dicerna arah pesannya dan dikaji berdasarkan sumber-sumber otentik lainnya. Seperti semacam orang ghibah (menggunjing, rasan-rasan), apa yang didengar langsung diurai tanpa menimbang bagaimana fakta-fakta lain dikumpulkan untuk menarik kesimpulan. Nah, mudahnya seseorang memforward pesan tanpa seleksi, itu berarti menunjukkan kelemahan daya nalar seseorang dan mudah terpengaruh. Pribadi yang mudah terpengaruh akan rentan dengan informasi yang sentimentil sehingga lebih gampang membagikan.

Situasi ghibah menggambarkan mengapa informasi yang kita perloleh cenderung lebih dekat dengan kebohongan.

Coba kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, ghibah mengondisikan seseorang lebih gayeng kalau mendapat berita hangat dan langsung tebar informasi sehingga akan menggelembung menjadi isu publik dan pesan utamanya sudah jauh tidak dikenali, apalagi dicari fakta-fakta yang melengkapinya. Situasi ghibah menggambarkan mengapa informasi yang kita perloleh cenderung lebih dekat dengan kebohongan.

Hadits tersebut mengingatkan bahwa setiap orang diharuskan untuk mengenali pesan terlebih dahulu, dan mengkaji maksud pesan utama tersebut. Jika pesan tersebut telah teruji maka barulah penerima pesan diperbolehkan menyampaikan ke orang lain jika memang diperlukan. Tetapi jika pesan itu tidak penting untuk publik, apalagi indikasi pesan itu menimbulkan berbagai kesalahan tafsir tanpa kemudian memberikan ruang konfirmasi dan dialog kritis, maka pesan tersebut sebaiknya diendapkan hanya untuk konsumsi pribadi atau diendapkan untuk menghindari munculnya berbagai kesalahpahaman publik.

Suka Forward, Selamanya Tak Dipercaya Menjadi Pemimpin

Orang yang suka menyampaikan setiap apa yang didengarnya justru pribadinya menjadi pribadi yang rentan, dan sangat bertentangan dengan modal kepemimpinan. Imam Malik menyampaikan di dalam Hadits Riwayat Muslim bahwa seseorang yang suka memviralkan atau membagikan setiap berita yang didengarnya, dia tidak akan bisa dipercaya menjadi seorang pemimpin. Tidak tanggung-tanggung, tidak percaya ini berlaku selama-lamanya. “Dari Ibnu Wahb: Imam Malik berkata kepadaku: Ketahuilah, sesungguhnya orang yang menyampaikan setiap berita yang dia dengar itu tidak diterima. Seseorang tidak bisa jadi pemimpin selamanya, jika dia suka menyampaikan setiap yang dia dengar (HR. Muslim dalam Mukadimah Shahihnya). Berdasarkan riwayat ini, seseorang akan ternodahi mentalitasnya ketika dia lebih suka memviralkan (memforwardkan) pesan yang tidak tahu sumbernya (Jluntrungnya). Mbok ya ho, minimal dicek keaslian pesan itu.

Nah, pelajaran ini memberikan peringatan bahwa cara kita membagikan pesan sangat terkait dengan kredibilitas seseorang.

Pernah lo, ada sebuah pesan yang viral dan bersumber dari seorang profesor ternama dari perguruan tinggi tertentu. Setelah dicek, seorang profesor tersebut tidak pernah membuat pesan berantai tersebut. Nah, pelajaran ini memberikan peringatan bahwa cara kita membagikan pesan sangat terkait dengan kredibilitas seseorang. Kita tentu perlu mungkin tabayyun (mengecek kebenaran pesan itu) sehingga setiap orang harus terlatih untuk menyaring setiap informasi yang ingin dibagikan (Lihat QS. Al-Hujurat, 6).

Sudahlah, berhenti memviralkan pesan, lebih-lebih kalangan terdidik. Lebih baik membuat pesan dari tulisan asli kita sehingga bisa menjadi bahan diskusi. Itu lebih baik dan mencerdaskan daripada diantara kita memviralkan pesan ke group WA lantas geger dan sentimentil pesan-pesan kita. Inilah yang menjadikan kita semakin rentan dan tidak teruji jiwa kepemimpinan dari setiap masyarakat digital.

Sebongkah Batu (2) Literasi Lintas Generasi

0

Menjadi guru pada anak sendiri berbeda dengan peran guru di sekolah. Hubungan yang semakin biasa antara anak dan orang tua kalau digeser ke peran seperti pengganti guru di rumah, terkadang orang tua menjadi kurang otoritatif. Jika dengan gurunya, otoritas guru mujarab mendisiplinkan anak karena konsekuensi sosial dan formal menjadikan anak lebih taat terhadap aturan. Bagaimana fleksibilitas hubungan orang tua anak itu kemudian menjadi orang tua laksana guru, atau mentor bagi anaknya sendiri? Sesulit apa, atau Iin Wahyuni ternyata mampu keluar dari fleksibiltas tersebut dengan memosisikan dirinya sebagai orang tua sekaligus coach bakat menulils anaknya. 

KampusDesa–Lalu dari mana asal-usulnya istilah ‘sebongkah batu’ itu sehingga menjadi topik dan jembatan dalam pendampingan belajar antara saya dan si bungsu? Saya perlu momentum yang tepat untuk masuk dalam zona kepentingannya tanpa membuatnya ‘merasa digurui dan dikecilkan.’ Saat dia butuh pencerahan tentang penggunaan istilah ‘sebongkah batu’ secara tepat dalam tulisannya, maka saya pun mengambil peluang ini untuk menjelaskan tentang METAFORA yang belum dipahaminya dengan baik. Sekalian mengulas porsi atensi yang dia butuhkan dan sepakati dari arahan saya agar rangkaian perhatian itu tidak dipahaminya sebagai tekanan dan gangguan orang dewasa terhadap privasinya.

Anak lebih mudah patuh pada gurunya untuk mengerjakan semua tugas, juga mematuhi aturan yang disepakati bersama.

Pertimbangannya secara psikologis sikap anak pada orang tua berbeda dengan sikapnya pada gurunya, begitu pun sebaliknya. Anak lebih mudah patuh pada gurunya untuk mengerjakan semua tugas, juga mematuhi aturan yang disepakati bersama. Setiap orangtua bawaannya merajuk dan menawar. Anehnya orangtua pun tidak kalah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa orangtua lebih mampu sabar saat mengajari anak orang lain dibandingkan anak sendiri.

Berhadapan dengan darah daging sendiri, rasa pengertian orangtua acapkali menggerut, tuntutannya yang meninggi! Tak heran saat anak belajar bersama ibu, bawaannya sering ribut dan maunya cepat selesai. Bagaimana dengan kami? Serupalah. Apalagi jika waktu atau moodnya tidak klik. Gantian protes, gantian marah.

Dalam menjelaskan peran dan tugasnya, orangtua perlu merangkulnya dulu sebagai sahabat. Sok menguasai dan membatasi hanya membuat anak jengah lalu mogok.

Proyek bersama anak-orangtua rawan molor alias tertunda bila tidak ada kesepakatan atau komitmen sejak awal. Anak perlu penjelasan yang gamblang, runut lagi masuk akal sebelum berhasil ditantang. Revisi dan masukan tidak diperkenankan menjadi kritik yang membentur egonya. Dalam menjelaskan peran dan tugasnya, orangtua perlu merangkulnya dulu sebagai sahabat. Sok menguasai dan membatasi hanya membuat anak jengah lalu mogok.

Sebentuk perhatian beragam nuansanya. Tergantung niatan, intensitas, fokus, ketersediaan waktu, semangat berbagi, mood pikiran, dan keadaan juga!
Ada yang intens, ada yang tipis-tipis. Ada fokus, ada yang sambil lalu. Ada yang menyediakan rentang waktu panjang ada yang singkat-singkat saja. Ada yang membawa misi belajar sambil bermain, ada yang sekedar mengisi waktu saja. Kadang dengan penuh kesabaran, sering pula mudah tersulut kemarahannya.

Berdasarkan penggambaran di atas, maka sebongkah batu bisa memiliki sekelompok frase sejenis tetapi berbeda intensitas makna, seperti berikut:

Sebongkah berlian
Segenggam batu
Sejumput kerikil
Seremah pasir

Dengan konteks pemahaman seperti ini, ternyata anak-anak lebih mudah memahami tentang NUANSA MAKNA tanpa harus menghafalkannya.

Seremah pasir, jika perhatian orangtua terhadap anak itu adalah sekedar menggugurkan kewajiban. ‘Say hello’ ringan tanpa sentuhan dan tatapan penuh kasih, langsung beralih fokus pada yang lain. Intensitasnya rendah.

Walau begitu, ternyata secara periodik anak pun butuh zona eksklusif pribadi.

“Aku hanya perlu seremah pasir deh Ma, kali ini!”

Warningnya saat dia ingin istirahat serta tidak ingin diganggu keasyikannya bermain. Tak mau tahu dengan definisi apa pun yang sudah disepakati. Untung saja kami telah merundingkan dengan matang jadwal atau agenda hariannya secara demokratis dan proporsional. Kala dia berpendapat, dia bisa mempertanggungjawabkan pilihannya.

Sejumput kerikil, jika orangtua sudah peduli tentang kabar, sekedar memberi ucapan sayang dan ngobrol sejenak. Namun topiknya nge-blurr. Garing-garing saja, karena kedua pihak yang sedang berinteraksi masih mencuri-curi waktu untuk ‘menengok’ subyek yang lain.

Segenggam batu, jika pada orangtua dan anak sudah muncul kebutuhan untuk saling bekerja sama dan melengkapi. Ada jalinan komunikasi, kesepahaman terhadap tujuan, pun keselarasan langkah. Visi-misi bersama menguat mengatasi segala tantangan di tengah jalan. Segenggam batu benar-benar akan bisa menjadi tembok rutinitas kebaikan yang sangat kuat! Sesekali wajar ada kesalahpahaman atau intonasi yang meninggi, namun semua itu hanyalah romantika kebersamaan. Dalam pengakuan orangtua sebagai guru pertama dan utama bagi anak.


Sebongkah berlian perhatian (bukan lagi batu), jika perhatian orangtua pada anaknya sampai pada level penghayatan yang sakral. Yaitu perhatian karena getaran cinta tanpa syarat tanpa pamrih. Sudah tidak lagi ditunggangi ambisi predikat, keuntungan materi maupun kebanggaan semu. Tidak kecewa jika perhatian itu tidak berbalas semestinya, atau hasilnya meleset jauh dari yang semestinya. Apalagi malu atas kegagalan-kegagalan yang terjadi. Ketulusan dari cinta yang berkilau seindah berlian. Dan secara alamiah berlian tidak akan terwujud tanpa dahsyatnya proses dan lamanya waktu.

Sebagai orangtua kita harus selalu belajar-berlatih agar saat mengajari atau membimbing anak tendensinya bukan agar anak kita tidak kalah dari si A atau si B. Senang jika kita bisa memamerkan kemampuan anak kita pada orang lain. Lalu marah dan kecewa berat saat anak kita gagal memenuhi harapan itu. Puas jika anak bisa meneruskan mewujudkan impian orangtua yang belum tercapai. Murka jika anak menolak atau memilih jalan sendiri.

Saat ego dikalahkan, kebijaksanaan pun terbit. Orangtua sepenuh hati mengasah potensi dan talenta anak-anaknya tanpa dibebani harapan mereka harus menjadi cerminan diri orangtuanya.

Saat ego dikalahkan, kebijaksanaan pun terbit. Orangtua sepenuh hati mengasah potensi dan talenta anak-anaknya tanpa dibebani harapan mereka harus menjadi cerminan diri orangtuanya. Indah saat orangtua mendampingi tumbuh-kembang anak-anaknya seprofesional seorang guru terhadap murid-muridnya. Saat berkomunikasi dengan anak-anaknya sefokus dan sesemangat pegawai kepada teman sejawatnya, atau bahkan atasannya. Jika kerja kerasnya belum menunjukkan hasil atau malah mengindikasikan hal sebaliknya, orangtua tidak akan marah atau berputus asa. Karena orangtua paham hanya Allah yang bisa memutuskan dan memberi hidayah.

Semoga kebersamaan yang berkualitas dan intens dengan anak-anaknya justru selalu menginspirasi dan meneguhkan semangat orangtua sebagai pembawa estafet nilai moral dan peradaban bagi generasi mendatang. Saat memberi totalitas perhatian justru menjadi kebutuhan bagi orangtua itu sendiri! Mengalahkan capek, bokek, sibuk, sakit serta sejuta alasan lainnya. Bak intan mengasah intan. Itulah harga dan pengorbanan untuk merubah seonggok arang menjadi sebongkah berlian. Siapa tahu melalui ketulusan yang bersahaja itu visi mulia orangtua malah terbingkai abadi dalam harapan anak-anaknya…

Salam TintaMulia, Literasi Lintas Generasi

CAK: Antara Penghormatan dan Tradisi

0

Seringkali kita mengabaikan panggilan untuk orang yang lebih tua dengan menyebut namanya secara langsung. Bagi sebagian orang mungkin adalah hal yang biasa. Namun bagi sebagian yang lain, hal ini tentu dianggap ‘tidak sopan’. Apalagi di lingkungan pesantren, khususnya di Jawa. Panggilan ‘cak’ menjadi sebuah penghormatan bagi seorang adik kepada kakaknya. Selain sebagai penghormatan, panggilan ini sudah menjadi tradisi di kalangan santri.

KampusDesa–Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Berawal dari adanya Zawiyah yang diadakan oleh para ulama Sufi kemudian berkembang menjadi tempat pendidikan bagi para murid atau santri yang ingin menimba ilmu. Pada tahap perkembangan berikutnya, pesantren terus bermunculan di seluruh wilayah Indonesia dan tidak selalu didirikan oleh ulama tasawuf. Sampai sekarang keberadaan pesantren sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia.

Secara umum pesantren merupakan lembaga pendidikan “Tafaqquh Fiddin” atau lembaga pendidikan agama Islam. Di pesantren diajarkan berbagai fun atau cabang ilmu keislaman baik menyangkut aqidah, ibadah maupun muamalah. Termasuk diajarkan pula pengembangan bahasa, utamanya bahasa Arab. Disamping itu, yang tidak kalah penting adalah pengajaran dan pengembangan akhlak atau tata krama.

Pengembangan akhlak atau moral di pesantren sejauh ini banyak yang menilai lebih berhasil dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang lain. Hal ini dikarenakan pendidikan moral atau tata krama di pesantren tidak sekedar diajarkan, melainkan langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan moralitas itu langsung bisa diketahui dan dijalani langsung oleh para santri. Apalagi peri kehidupan moral di pesantren langsung diteladankan oleh para kyai, ustadz, pengurus pesantren dan santri senior sebab semuanya hidup bersama selama 24 jam dalam satu lingkungan. Dengan demikian, santri sekalipun santri baru bisa langsung mengetahui bagaimana moralitas seorang santri kepada santri senior, kepada para ustadz, pengurus dan juga para kyai.

Salah satu tradisi menarik penanaman moral di pesantren, utamanya di Jawa adalah penggunaan panggilan “Cak” untuk para santri pria. Setiap menyapa teman, utamanya untuk teman santri yang lebih tua, selalu diawali dengan kata “Cak”. Para pengurus dan ustadz pun memanggil santri dengan panggilan cak.  Panggilan kepada teman yang tidak kenal pun cukup menggunakan kata Cak. Bahkan, para kyai pun memanggil santri juga tidak langsung memanggil namanya namun didahului dengan kata Cak.

“Cak”, dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata “Kakak”. Kata Cak berasal dari kata “Cacak” yang artinya kakak, yaitu saudara kandung yang lebih tua. Namun demikian, di pesantren kata Cak digunakan untuk panggilan kepada siapa saja, termasuk kepada teman yang usianya masih lebih muda.

Panggilan cak mengandung tiga makna, yakni sebagai bentuk penghormatan, menjalin keakraban, dan keteladanan dari orang yang terhormat.

Dari tradisi panggilan tersebut, jika kita cermati, ada beberapa makna yang terkandung di dalamnya yang patut untuk kita hayati sehingga bisa kita budayakan di lingkungan luar pesantren. Diantaranya mengandung makna:

Pertama, bentuk penghormatan.

Sudah menjadi pengetahuan setiap insan bahwa seseorang harus menghormati orang lain yang lebih tua. Penghormatan itu meliputi ucapan, sikap dan perbuatan. Jika ucapan, sikap dan perbuatan seseorang kepada orang yang lebih tua tidak sesuai maka seseorang itu bisa dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Diantara ucapan yang juga harus dijaga sebagai wujud penghormatan kepada orang yang lebih tua adalah dalam hal panggilan. Dalam budaya Jawa panggilan tidak boleh “jambal” atau tidak sopan misalnya dengan langsung panggil nama. Namun bisa menggunakan kata cak atau kang. Dalam tradisi pesantren,  penggunaan kata cak sebagai panggilan merupakan wujud rasa hormat kepada orang lain sekalipun bukan kakak kandungnya. Dengan pembiasaan sehari-hari tidak jambal,  diharapkan semua santri juga melakukan hal yang sama untuk menghormati sesama santri, utamanya yang lebih tua, setiap memanggil menggunakan kata Cak. Dengan demikian, setiap bertemu siapa saja santri tidak akan memanggil dengan panggilan “jambal”.

Kedua, menjalin keakraban.

Dibalik penghormatan, panggilan cak juga merupakan sarana menjalin keakraban diantara sesama santri. Walaupun sesama santri tiada saling kenal, apalagi di pesantren yang jumlah santrinya banyak,  ribuan atau puluhan ribu, panggilan cak merupakan panggilan akrab. Dengan panggilan cak akan terasa bahwa mereka satu nasib dan seperjuangan dalam pesantren. Dengan demikian seakan tiada sekat dan batas antara santri yang satu dengan lainnya.

Ketiga, keteladanan dari orang terhormat.

Santri senior, para ustadz dan pengurus pesantren serta kyai adalah orang yang dianggap terhormat di lingkungan pesantren.

Dalam tradisi pesantren, biasanya para ustadz, pengurus pondok dan juga kyai memanggil santri dengan panggilan cak ini mengandung makna keteladanan bagaimana menghormati orang lain,  bahkan kepada orang yang lebih muda. Dengan keteladanan ini diharapkan santri akan berfikir, orang yang lebih tua dan terhormat saja memanggil dengan panggilan yang sopan dan menghormati (tidak jambal) kepada yang usianya lebih muda, apalagi orang yang lebih muda harus lebih sopan dan hormat lagi kepada yang lebih tua, terlebih kepada para ustadz dan kyai.

Di tengah-tengah kondisi moralitas bangsa yang semakin memprihatinkan karena tata krama dalam kehidupan sehari-hari seakan semakin keropos, maka pembiasaan panggilan yang tidak jambal “cak” bisa menjadi alternatif penanaman karakter yang baik. Berawal dari pembiasaan sederhana ini, diharapkan lambat laun bisa meningkat kepada karakter baik selanjutnya. Wallahu a’lam bisshowab.

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Sebongkah Batu (1) Seri Literasi Lintas Generasi

0

Mendampingi anak hingga memunculkan talenta membutuhkan sudut pandang. Tidak sekedar mencekoki dan memaksa mereka bersekolah atau dikursuskan di sana sini. Sudut pandang ini adalah cara membuat mindset tentang mengasuh bakat anak. Sebongkah batu kemudian menjadi mindset bagaimana sudut pandang anak dihujamkan sebagai cara pandang mendampingi bakat anak.

KampusDesa–Apakah satuan ukuran perhatian untuk anak-anak kita? Tidak mungkin kilogram, meter atau liter. Bagaimana kalau ‘sebongkah?’ Contoh kalimat: Anak-anak memerlukan sebongkah perhatian dari orangtuanya.

Lalu hati-pun tergelitik untuk mengejar dengan pertanyaan: sebanding dengan sebongkah tanah, sebongkah kayu ataukah sebongkah batu? Atau suruh saja Ananda memilih maunya yang mana.

Diskusi seperti ini bagus untuk kecerdasan berbahasa anak. Kita asah nilai rasa berbahasanya. Pengalaman sebongkah batu ini saya refleksikan melalui proses melek literasi pada anak bungsu saya.

Baca tulisan si bungsu di sini :

Harapan yang Dituliskan, Bisa Menjadi Kenyataan Meski Seolah Tidak Mungkin

Bukan lagi anak usia PAUD yang masih harus berlatih menggandeng huruf, si bungsu saya yang beranjak remaja malah harus diet kata. Kalau diminta menulis karangan sebanyak 3 halaman A4, dia bisa bablas 8 halaman. Tetapi hasilnya masih butuh editing sehingga belum siap diunggah betul.

Tantangan editingnya ada pada pilihan diksi, hubungan antar frase, rasionalitas gagasan, serta apalagi kalau bukan soal tata bahasa dan penulisan. Saya masih ingat awal dulu, saya memang lebih konsen untuk mengasah imajinasi dan menyuburkan mata air inspirasinya dibandingkan struktur berbahasanya.

Saya khawatir kreatifitasnya jadi mandul kalau saya terlalu memberatinya dengan tetek-bengek aturan penulisan.

Saya khawatir kreatifitasnya jadi mandul kalau saya terlalu memberatinya dengan tetek-bengek aturan penulisan. Ngeri juga kalau sebentar-sebentar harus menginterupsi celotehannya hanya agar ucapannya sesuai EYD. Ketika sekarang dia telah terbiasa mengalirkan gagasannya secara mandiri, barulah saya harus maju sebagai editor pertamanya. Harus mau direcoki, melawan kejenuhan, serta bertahan hingga karyanya tuntas dari koreksi yang diperlukan.

Untuk kasus pendampingan pembelajaran seperti inilah ‘sebongkah batu’ sebagai perumpamaan istilah ‘totalitas perhatian’ yang saya jadikan bahan diskusi bersama dia, pun dengan para pembaca tulisan ini. Ya, siapapun yang menerima perhatian pasti menginginkan bentuk perhatian itu ‘solid dan bulat seperti batu.’ Bukan berhamburan seperti tanah atau lebih rapuh semacam kayu. Sepakat?

Salam TintaMulia

Sihir MOBA, Melemahkan Literasi Pemuda Tak Sehebat Bung Karno

0

Seperti narasi yang cantik, pemuda adalah main-idea dari sebuah alur cerita yang kita sebut negara. Tanpanya, sebuah bangsa tidak akan berawal dan juga tidak akan berakhir, begitu kira kira pentingnya kiprah pemuda. Saat ini, idealisme pemuda seperti itu nampaknya samar samar, sebab main bareng party untuk nge-push rank lebih asyik bagi mereka. Tak sadarkah kah mereka bagaimana founding fathers bangsa ini memperjuangkan kemerdekaan?

KampusDesa–Mari kita flash-back sejenak ke masa lalu, kenangan itu ada bukan untuk digalaui tapi dicari ada pesan apa dibalik hijrahnya sang waktu. Saya terinspirasi oleh dua tokoh pemuda Legenda bangsa. Dahulu ada seorang Raja Jawa yang tak bermahkota, ialah H.O.S Tjokroaminoto. Beliau adalah tokoh pergerakan sarekat Islam terbesar kala itu. Salah satu Muridnya yang terkemuka adalah Sukarno, anak dari seorang guru. Sangat enerjik! sukarno tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Dia bergelut dengan buku dan aktif menulis di surat kabar Oetoesan Hindia, soft skill lainnya dia belajar berorasi. H.O.S Tjokroaminoto berpesan kepada Bung Karno Muda, jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.

Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.

Tahun demi tahun Sukarno belajar, jalan yang panjang tak membuatnya kehilangan arah untuk mencapai garis akhir yang ia cita-citakan, tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno mendeklarasikan Kemerdekaan Indonesia di mata dunia.

Seorang pemuda yang ingin memerdekakan bangsanya tidak akan jauh dari aktivitas membaca, menulis dan memunculkan Kharisma dari setiap kata yang diucapkan.

Mari kita cermati, rangkuman dari sejarah di atas adalah gambaran bahwa seorang pemuda yang ingin memerdekakan bangsanya tidak akan jauh dari aktivitas membaca, menulis dan memunculkan kharisma dari setiap kata yang diucapkan. Setelah 74 tahun, hari-hari seperti itu di tahun melenium ini seakan tergerus oleh hiburan dan fasilitas digital yang bebas. Bahkan mampu menyihir banyak orang tersihir. Bagaimana segelincir mahasiswa mengabdikan dirinya untuk dunia yang tak nyata, dari Fomophobia sampai game-multi player-online battle arena (MOBA) yang terinstal di smartphone mereka.

Hidup jauh dari orang tua merupakan kebebasan yang hakiki bagi sebagian pelajar yang kuliah di luar kota. Tidak ada yang sulit untuk beradaptasi dikota orang, asal kiriman lancar maka tak perlu ada yang ditakutkan. Ini tentang integritas, katanya mereka rela meninggalkan tanah kelahiran demi cita-cita, ingin tepat waktu menyandang gelar sarjana perguruan tinggi sambil foto berpose dua jari, mulia sekali. Tapi coba tengok aktivitas sehari-hari, seluruh waktu dihabiskan sambil tengkurap menghadap ke pojok tembok, segala daya upaya fokus terhadap apa yang ada di layar kaca. Content creator sampai berkata “tangio lur, turumu mireng”!

Dalam perkuliahan, khususnya para veteran kampus memiliki waktu kuliah mungkin 2-3 jam saja perhari. Sisanya, 21 jam digunakan tanpa karuan untuk game online, pacaran, youtuban, bahkan nonton film full 24 episode. Beda zaman beda keadaan. Mungkin tempo dulu teknologi tidak seperti sekarang, pasti sebagian besar waktu mahasiswa digunakan untuk membaca dan bekerja, mungkin jika ada pemborosan waktu di zaman itu, paling-paling hanya sebatas merokok dan ngopi, itupun jika ada recehan satu rupiah.

Tapi saat ini sudah berbeda,yang paling digandrungi oleh sebagian mahasiswa adalah game, bisa mobile legend, POBG dan aktivitas streaming lainnya. Silahkan anda cek di wilayah kampus, di pinggir jalan atau di dalam cafe, anda akan mendapati gerombolan remaja duduk berhadap hadapan,salah satu dengkul kaki diangkat, kedua tangan memegang smartphone, kepala mereka tertunduk mejadikan mereka generasi menunduk, terhipnotis oleh sihir kecanggihan internet. Mulai dari charge hp, power bank, rokok dan kopi ijo pait sudah siap diatas meja. Tidak cukup hanya di situ, jika rokok habis tinggal beli lagi, kalau lapar tinggal pesan Go-Food, isi dompet merah dan biru milik mereka sungguh melenakan pemborosan waktu yang nikmat.

Sihir MOBA membuat pemuda saat ini menjadi generasi menunduk, mereka meringkas kehidupan dunia yang kompleks kedalam dunia permainan. Setiap mereka memenangkan point, sebenarnya mereka sedang kalah. Jutaan pemuda dunia sedang berprogres tetapi mereka asyik winner chicken dinner tak menghasilkan apa apa.

Membaca buku buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik pula.(buya hamka)

Game bisa digunakan sebagai sarana menghilangkan kejenuhan, tapi kita jangan terlalu sering bersembunyi dibalik argumen seperti itu. Cobalah membudidayakan merilekskan diri dengan membaca, tak harus bacaan yang menuntut konsentrasi tinggi. Cukup pilih bacaan yang sesuai selera namun tetap informatif. Karena membaca buku buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik pula (Buya Hamka).

Bagi saya game sih boleh saja, tapi kita harus sadar apa dan bagaimana prioritas seorang pelajar yang sesungguhnya. Sejatinya posisi pencari ilmu itu sangat dekat dengan buku, beradu argumen, mentradisikan literasi, menulis sebagai metode mengaktifkan imajinasi, berfikir kritis serta melahirkan akal sehat untuk menghadapi tantangan zaman. Mari berbenah, bentengi diri dari sihir MOBA dan selamat berprogres!