Kawin Anak di Indonesia kok ya Susah bener Dicegah

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Perkawinan anak meningkat 300 persen di tahun 2020. Pengabulan pengadilan agama atas perkawinan anak memicu surplus tersebut. Faktor budaya, sosial, dan ekonomi pun mendukung perkawinan anak meningkat. Ada apa gerangan?

Kampusdesa.or.i–Perkawinan anak telah menjadi bagian dari problematika sosial yang kompleks dan mengakar. Keputusan yang dianggap lumrah di sebagian besar kebudayaan masyarakat Indonesia untuk menikahkan remaja usia belasan membawa petaka bukan hanya bagi pengantinnya tetapi masyarakat secara keseluruhan. Bagi remaja yang lumrahnya menghabiskan waktu untuk eksplorasi diri dan belajar, akan terancam akses pendidikannya dan berimbas pada penurunan kualitas sumber daya manusia sehingga penyerapan tenaga kerja menjadi terhambat dan kemiskinan akan semakin merajalela. Belum lagi masalah kesehatan bagi remaja yang secara biologis belum siap untuk pernikahan sehingga kemungkinan bayi lahir prematur, stunting, atau ibu yang meninggal ketika bersalin dapat menjadi lebih tinggi.

Lenggangnya perkawinan anak juga memupuk suburnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang disebabkan oleh ketidaksiapan secara emosional dalam mengatasi dinamika rumah tangga. Akibat-akibat ini bermuara pada hadirnya permasalahan ekonomi yang pelik. Jika rumah tangga belum memiliki sumber penghasilan yang stabil akibat menipisnya kesempatan kerja, maka ketimpangan relasi kuasa antara suami dan istri akan memicu KDRT atau bahkan kekerasan terhadap anak. Rumah tangga yang belum siap secara finansial juga akan menambah beban keluarga besar dan memaksa orang tua untuk ikut andil misalnya untuk mengasuh cucu, sehingga anggapan anak sebagai beban keluarga yang sebelumnya dinikahkan dengan harapan dapat mengurangi tanggungan rupanya belum sepenuhnya sirna walau pernikahan sudah dilaksanakan.

RelatedPosts

Berdasarkan data dispensasi pernikahan yang dikabulkan Pengadilan Agama tahun 2020, kasus  perkawinan anak meningkat sebesar 300 persen.

Indonesia ditengah situasi pandemi Covid-19 menghadapi kondisi darurat perkawinan anak. Berdasarkan data dispensasi pernikahan yang dikabulkan Pengadilan Agama tahun 2020, kasus  perkawinan anak meningkat sebesar 300 persen. Tingginya angka ini salah satunya disebabkan oleh pengabulan dispensasi yang rupanya menjadi bagian dari celah hukum dan kurang tegasnya pihak berwenang dalam mencegah perkawinan anak. Meski Revisi UU Perkawinan telah diaplikasikan melalui UU Nomor 16 tahun 2019 dengan menaikkan usia minimal calon pengantin menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan oleh negara rupanya kurang efektif dalam membendung kenaikan kasus perkawinan anak.

Pengecualian pernikahan di bawah umur dengan syarat “kondisi yang mendesak” inilah yang menjadi penyebab perkawinan anak tetap marak

Celah pada instrumen hukum yang dimaksud berada pada pasal 7 ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 yang membahas diperbolehkannya dispensasi pernikahan atas alasan yang mendesak, terpaksa, dan harus dikuatkan dengan bukti-bukti yang mendukung meski belum genap 19 tahun. Pengecualian pernikahan di bawah umur dengan syarat “kondisi yang mendesak” inilah yang menjadi penyebab perkawinan anak tetap marak terjadi sampai saat ini. Sementara itu, meski Revisi UU ini juga dilengkapi pedoman yang diterbitkan MA pada November 2019, yaitu Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 (pedoman dalam mengadili permohonan dispensasi pernikahan), rupanya penegak hukum belum cukup patuh dalam implementasinya.

89% hakim mengatakan keputusan ini dilakukan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua akan rasa takut dan malu karena anaknya sudah hamil

Beberapa hakim mengemukakan alasan memilih mengabulkan permohonan dispensasi karena jika tidak dinikahkan dapat memunculkan masalah baru seperti permusuhan antar keluarga. Di sisi lain sehubungan dengan kehamilan tidak diinginkan, sebanyak 89% hakim mengatakan keputusan ini dilakukan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua akan rasa takut dan malu karena anaknya sudah hamil tapi tidak dinikahi. Selain perihal penegakan hukum yang masih lemah, faktor-faktor lain juga berperan dalam seramnya data dan kisah-kisah perkawinan anak.  Sebuah temuan mengemukakan bahwa faktor sosial (28,5 persen), faktor ekonomi (11,9 persen), dan paparan terhadap konten negatif (11,1 persen) menjadi yang dominan. Kondisi kesejahteraan masyarakat yang terus menurun disebabkan oleh ekonomi yang tidak stabil dibarengi dengan ditutupnya sekolah cukup menjelaskan alasan besar dari semakin maraknya perkawinan anak di tengah pademi.

Mencegah Perkawinan Anak

Mengingat perkawinan anak merupakan akar dari masalah sosial yang sistematis ditengah-tengah masyarakat, dalam mengoptimalkan pencegahan, pengurangan, dan penyelesaian masalahnya perlu dimulai dari tingkatan yang paling atas yaitu penegakan regulasi yang tegas dan menyeluruh. Peraturan perundang-undangan perlu benar-benar dikaji agar tidak ada lagi celah yang memudahkan pelanggaran dengan cover dispensasi. Kemudian dalam penerapannya, elemen pemerintahan dari berbagai tingkatan termasuk daerah perlu memiliki kepekaan yang besar.

Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi pertama yang mengatur regulasi perkawinan anak dengan ketat.

Salah satu cara untuk mempermudahnya adalah dengan merumuskannya menjadi kebijakan setingkat daerah atau kota kabupaten. Langkah cerdas telah dilakukan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah membuat Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan Perkawinan Anak yang siap digunakan sejak tanggal 29 Januari 2021. Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi pertama yang mengatur regulasi perkawinan anak dengan ketat. Perda ini dinilai dapat memperkuat Perda Provinsi NTB No. 8 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak yang memuat pengembangan program pendewasaan usia perkawinan sebagai salah satu usaha perlindungan perempuan dan anak.

Seperti kita tahu bahwa implementasi kebijakan akan sulit dilaksanakan tanpa koordinasi yang kompak dari berbagai elemen masyarakat. Tak ketinggalan, mengoptimalkan peran pemuda melalui berbagai organisasi yang berfokus untuk memperjuangkan hak-hak anak dan remaja dan pencegahan perkawinan anak serta diskriminasi terhadap remaja juga menjadi lakon utama dalam perlawanan terhadap perkawinan anak. Rangkaian aksi-aksi yang dilakukan juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak yang harus sinergis. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus turut serta untuk membantu dan belajar bersama-sama demi depan generasi bangsa yang terjamin.

Nur Aisyah Maullidah

Nur Aisyah Maullidah

Berasal dari Lamongan, Aisy merupakan mahasiswi yang menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Minatnya yang besar terhadap isu gender dan keamanan telah membawanya aktif di beberapa organisasi dengan berbagai fokus seperti perempuan, perdamaian, dan keamanan yaitu GA4P Indonesia, Pengembangan Pemuda yaitu DYPLO, Kepemudaan yaitu Diaspora Muda Lamongan, Grup Aktivisme HAM yaitu Amnesty International Indonesia Chapter UIN Jakarta, Hubungan Internasional yaitu FPCI UIN Jakarta, dan Komunitas pemuda berbasis program PBB yaitu UNA Indonesia. Aisy dapat dihubungi melalui email nuraisyahmaullidah@gmail.com.

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.