Rabu, Oktober 8, 2025
Google search engine
Beranda blog Halaman 64

Mentalitas Orang Desa, Dukun Sebagai Penyebab Konflik

0

Percaya terhadap dukun untuk menyembuhkan penyakit masih menjadi sebuah pilihan bagi sebagian orang desa. Dengan hanya menerka-nerka, sang dukun mencoba untuk mencari tahu apa penyebab dari sakit yang diderita sang pasien. Alih-alih mendapatkan kesembuhan, terkadang hal ini justru menimbulkan berbagai prasangka yang kian menghantui. Jika prasangka yang mengerucut itu benar, mungkin bisa diselesaikan dengan baik-baik. Namun jika prasangka itu salah, siapa yang mau tanggung jawab?

KampusDesa–Alkisah, di sebuah dusun di salah satu desa ada orang sakit. Sakitnya memang sulit terdeteksi. Memang mendeteksi sakit itu mudah? Apalagi penyakit yang menyerang organ dalam. Sudah dibawa ke Rumah Sakit, dengan pertimbangan kemampuan keuangan tentunya, tidak juga memberikan tanda kesembuhan. Membawa ke dukun merupakan pilihan kedua, tentunya karena masyarakat yang masih memegang persepsi kuno ini memang menganggap dukun adalah solusi.

Bahkan ketika sakit awal-awal, juga sudah dimintakan “sababiyah” ke dukun. Tidak sembuh. Hanya dikasih kertas berisi huruf “kluwer-kluwer” di mana, kata dukunnya, kertas ini disuruh naruh di bawah bantal tempat tidur. Juga dikasih gula yang katanya sudah dikasih do’a dan mantra, lalu sesampai di rumah disuruh meminumkan si sakit.

Sudah empat bulan ternyata sakit tidak kunjung sembuh. Akhirnya sudah empat dukun yang didatangi. Celakanya, dari keempat dukun, diagnosanya berbeda-beda. Sebenarnya bukan diagnosa, karena istilah “diagnosa” adalah istilah untuk menggambarkan tindakan menganalisa penyakit dengan metode ilmiah. Mulut keempat dukun, saya yakin, hanya asal “njeplak”.

Dukun satu bilang, katanya tanah yang ditempati rumah si sakit itu tanah yang jelek, yang kalau ditempati untuk rumah maka penghuninya akan sengsara, jauh dari rejeki, dan mungkin juga sakit-sakitan. Padahal, dukunnya sendiri yang tempatnya jauh dari rumah keluarga yang sakit juga tidak pernah tahu tanah yang dimaksud.

Dukun kedua tidak bilang apa-apa. Ia tipe dukun yang agak menjauhi analisa spekulatif. Dia hanya memberikan mantra dan garam yang sudah “dijapani,” lalu menyarankan agar si sakit sering diberi minuman dari Kunyit dan Madu. Sebelum pihak keluarga pulang, ia juga menyarankan agar sering ada yang ngaji dan baca Surat Yasin di rumah itu.

Dukun ketiga memberikan solusi yang agak unik. Ia menyuruh agar rumah penghuni yang sakit ditebari bunga tujuh rupa. Terus si punya rumah bikin Genduren “sambung tuwuh”, nyajikan “sekul suci ulam sari” dan “ubo rampe” layaknya orang Jawa. Tentunya ia juga memberi gula yang sudah dikasih do’a di kamar kecil tempat ia praktik.

Yang paling parah adalah dukun keempat. Entah bagaimana ia bisa mengatakan bahwa penyebab sakit itu karena “digawe uwong” alias disebabkan oleh orang lain yang tidak suka alias benci. Bagaimana cara membuatnya sakit? Sudahlah, orang-orang sudah tahu soal mistik. Bagaimana mistik bekerja? Ya tidak tahu, tidak bisa menjelaskan.

Makanya, dengan gampangnya si dukun keempat ini memvonis bahwa sakit yang tidak sembuh itu dibuat oleh tetangganya. Tetangga yang mana? Kan banyak? Ada ratusan orang yang hidup di kampung si sakit. Dukun ngawur itu sok ngasih “Klu” alias kunci jawaban: “Yang menyebabkan kamu sakit ini adalah tetanggamu, rumahnya menghadap ke utara!”

Coba ditanya, siapa yang dimaksud? Kenapa hanya dikasih tahu bahwa yang dimaksud adalah yang rumahnya menghadap ke utara. Di sinilah, si keluarga pasien yang datang ke dukun itu pulang dengan pertanyaan (tebakan). Dia pulang membawa tebakan bersama keluarganya, mulai  berimajinasi bersama mencari siapa kira-kira orang yang telah berbuat jahat kepada keluarganya hingga anggota keluarganya sakit parah.

Dukun keempat inilah yang telah menjadi penyebab munculnya rasa benci yang dicari-carikan alamat untuk menumpahkan kebencian. Prasangka-prasangka berkembang. Akhirnya, prasangka langsung mengerucut pada satu orang. Dengan kasak-kusuk ia mulai menyebarkan isu bahwa keluarganya dijahati oleh orang yang sudah diidentifikasi itu.

Tradisi barbar, kuno, tua, ini menjadi fenomena masyarakat kita. Menilai tanpa bukti dan data. Mengembangkan asumsi untuk menghibur dari rasa susah karena penderitaan yang tak tertangani. Bahkan mencari musuh untuk membangun solidaritas keluarga yang sedang mengalami derita hanya dari dasar prasangka dan masukan dukun bejat. Dukun yang hanya ala kadarnya menilai tanpa bukti.

Ini sebenarnya satu kebiasaan buruk yang tanpa kita sadari menjadi karakter masyarakat kita, mungkin juga masyarakat Jawa yang barangkali peradabannya menjadi “mengsle” entah karena apa. Karena gerak historis yang cacat dari bentukan sejarah yang panjang akibat penindasan elit feodal dan dominasi ideologi mistiknya, atau karena penindasan imperialisme yang merusak karakter dan mental.

Dukun adalah orang yang eksis karena dipandang punya otoritas, tapi otoritas yang dimilikinya sama sekali lahir bukan dari kemampuannya memberikan rekomendasi-rekomendasi ilmiah

Kita harus hati-hati hidup di masyarakat yang penuh penilaian tidak objektif, kadang banyak gosip, dan seringkali tidak suka akan kejelasan dan kepastian atau yang suka mencari solusi dari spekulasi ngawur. Dukun adalah orang yang eksis karena dipandang punya otoritas, tapi otoritas yang dimilikinya sama sekali lahir bukan dari kemampuannya memberikan rekomendasi-rekomendasi ilmiah. Justru ia adalah orang-orang yang merusak peradaban dengan membuat dirinya dipuja oleh orang-orang yang punya masalah dan tidak bisa berpikir ilmiah.

Bahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah saja, soal di sekolah (ilmu pengetahuan), banyak orang yang pergi ke dukun. Si orangtua yang anaknya mau tes ujian nasional pergi ke dukun agar anaknya bisa mengerjakan soal ujian. Lucunya lagi, anaknya yang nakal juga dibawa ke dukun. Padahal anak nakal itu ya karena si orangtua tidak bisa mendidik dan lingkungannya tidak kondusif bagi perkembangan anak.

Kita tidak perlu takut. Yang perlu kita lakukan hati-hati dalam menjalani hidup dalam masyarakat sejenis ini. Karena bisa jadi, salah ucap atau salah bertindak, kita bisa disebut sebagai orang yang menjadi penyebab sakit atau penderitaan tetanggamu karena kamu juga dikira mendatangi dukun dan minta dukun itu untuk membuat derita bagi orang lain.

Subuh hari di Kaki Gunung Jabung, 12 Januari 2019

Haruskah Kakak Menjadi Role Model Adiknya ?

0

Sebagai orang yang terlahir lebih dulu memang akan terdapat banyak tanggung jawab yang harus dilakukannya bahkan semenjak ia masih anak-anak. Memiliki tugas mengasuh yang lebih muda dan mendapat kepercayaan untuk menggantikan dalam hal mengasuh adik ketika orangtua tidak ada. Perubahan perilaku orang tua pada seorang kakak yang pada dasarnya juga belum siap untuk menerima tangggung jawab baru inilah yang secara tidak langung sering dianggap beban oleh kakak.

kampus desa — Kenapa menjadi yang lebih tua itu adalah beban? kenapa kalau menjadi kakak pasti ada tuntutan? dan kenapa menjadi yang lebih tua itu adalah panutan?. Dalam hati kecil seorang kakak pasti pernah mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan ini.

Menjadi seorang kakak adalah beban bagi sebagian besar orang. kenapa beban? karena menjadi kakak banyak yang harus dilebih-lebihkan dari seorang adik. Meskipun hanya tarpaut beda umur tidak lebih dari satu tahun, “adalah beban ketika seorang kakak dituntut harus lebih paham, lebih mengerti dan lebih segalanya dari adiknya. adalah beban ketika semua masalah adik adalah kakak yang menanggung”.

Sebagian orang tua memang bersikap demikian, kakak adalah panutan adik, dan adik harus mencontoh seorang kakak.

Yang sering kita lihat atau bahkan alami sendiri, ketika ada kakak adik bertengkar di rumah yang kena marah pertama adalah kakak, padahal adik yang menggoda. Ketika adik menangis saat bermain, yang tertuduh adalah kakak, meskipun bukan kakak yang membuatnya menangis. Sebagian orang tua memang bersikap demikian, mereka menanamkan bahwa kakak adalah panutan adik, dan adik harus mencontoh seorang kakak.

Bagi seorang kakak, kehadiran seorang adik saja sudah merupakan pengalaman yang dapat menjadi krisis berat baginya, karena ia harus rela untuk merelakan kasih sayang dan perhatian yang terbagi kepada adik. Karena inilah kehadiran adik menjadi pemicu peberontakan yang dilakukan oleh kakak.

kalau kalian juga seorang kakak, akankah kalian juga pernah mengalami hal ini?  di salahkan ketika ada pekerjaan yang tidak sesuai, kena marah kalau adik terluka atau dihukum ibu ketika tidak dapat mengajarkan adik untuk melakukan sesuatu dengan baik.

“Yang lebih tua harus bisa memberikan contoh yang baik bagi adiknya” (kata-kata ini seakan menjadi pedoman yang harus dipegang dan dilaksanakan secara paksa oleh para kakak), Kodratnya memang begitu. Anak akan mendapatkan perannya di rumah sesuai dengan urutan dalam posisi atau berdasarkan jenis kelaminnya. Hal ini akan menjadi baik ketika peran seorang anak di dalam sebuah keluarga sesuai dengan kemampuan dan keputusan bersama, namun akan menjadi sebuah masalah jika peran yang di dapatkan oleh anak benar-benar tidak diinginkan oleh anak. Lebih tepatnya memaksa anak untuk berperan, dan kebanyakan, paksaan ini terbebankan pada yang lebih tua.

Bisa jadi perilaku-perilaku yang seharusnya tidak muncul akan muncul jauh lebih parah di luar keiginan orangtua. Tuntutan-tuntutan yang semakin besar pada seorang kakak untuk selalu memberikan yang terbaik pada adiknya akan terbaikan begitu saja, di ganti dengan perilaku pemberontakan yang semakin menjadi-jadi.

Orang tua selalu menanamkan harapan anak yang lebih tua menjadi role model bagi anak yang lebih muda. Namun, ketika harapan ini tidak di dukung baik oleh orang tua, maka yang terjadi adalah hubungan saudara yang menjadi buruk dan tidak nyaman.

Orang tua selalu menanamkan harapan anak yang lebih tua menjadi role model bagi anak yang lebih muda. Namun, ketika harapan ini tidak di dukung baik oleh orang tua, maka yang terjadi adalah hubungan saudara yang menjadi buruk dan tidak nyaman.

Kita mengenalnya sebagai sibling rivalry, yaitu suatu sikap kompetisi, kecemburuan dan kebencian antara saudara kandung yang sering kali muncul saat hadirnya saudara yang lebih muda (Shaffer, 2002). Kecemburuan karena Ibu akan selalu membela adik dan menyalahkan kakak ketika mereka bertengkar, ibu akan memberikan lebih banyak waktuya pada adik dibandingkan pada kakak, inilah yang membuat kakak merasa tersaingi dalam hal pemberian kasih sayang.

Baca juga:

Kakak-Adik, Kok Ribut Terus? Tips Menghadapi Konflik Saudara Kandung

sibling rivalry ini akan menjadi semakin buruk ketika sikap orangtua yang kurang mengendalikan peran diantara saudara kandung pada anak-anaknya. Bisa jadi rasa benci, cemburunya akan merubahnya menjadi sikap yang nakal, mengejek adik, bertengkar dan sering menggangu adik. Namun, ketika hubungan antara saudara kandung ini mendapat arahan yang baik dan positif yaitu sikap orangtua yang mampu untuk memberikan batasan sikap antara kakak dengan adik ini akan membantu seorang kakak maupun adik dalam kemampuannya menyelesaikan konflik  dan masalah sosial dengan baik, relasi pertemanannya yang baik dan perasaan akan harga diri yang tinggi.

Tidak menjadi sebuah beban bagi kakak ketika dia diajarkan untuk bertanggung jawab yang baik pada adiknya, namun problem buruk akan bermunculan ketika kakak tidak mendapatkan arahan dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai kakak, yang pada dasarnya dia sendiri juga belum mampu mengarahkan sikapnya sendiri.

Tidak menjadi sebuah beban bagi kakak ketika dia di ajarkan untuk bertanggung jawab yang baik pada adiknya, namun problem buruk akan bermunculan ketika kakak tidak mendapatkan arahan dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai kakak, yang pada dasarnya dia sendiri juga belum mampu mengarahkan sikapnya sendiri. Seorang kakak harus mulai belajar menerima ketika semua tuntutan terbebankan padanya karena memang seseorang akan selalu dijadikan contoh karena dia telah mengalami masa yang belum dialami oleh yang lebih muda, sehingga ini yang menyebabkan persepsi yang tua harus lebih paham dan mengerti dari yang muda.

Baca Juga :

Orang Tua, Role Model Utama Bagi Anak

Kakak juga telah mengalami masa perkembangan baik secara fisik, kognitif maupun psikomotor yang lebih dahulu dibandingkan dengan seorang adik, sehingga inilah anggapan kakak harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya.

Program Magang 6 Bulan Sebagai Web Content Kampus Desa

0

Pemalas dilarang mendaftar !

Narahubung : 085334357405, register langsung klik di google document

Tentang Dua Orang Pegiat Gusdurian dari Jendela Sosiologi

0

Psikologi penggerak toleransi adalah proses in-group dan outgroup. Saat belum menjadi bagian dari Gusdurian pencarian teman se-visi menentukan kemampuan seseorang menjadi pribadi tolerans dan damai. Dua sosok Kristian dan Muslim pada akhirnya mampu bergerak dari keberagamaan yang monologis menjadi dialogis. Sebuah komentar dari Wasis Sasmito terhadap buku Saiful Haq berjudul “Tak Seiman, Tapi Sejalan,” menjelaskan bagaimana kedua sosok itu berproses menjadi aktifis lintas agama tetapi tetap matang secara aqidah.

KampusDesa–Buku yang bersumber dari sebuah skripsi ini berangkat dari pertanyaan dasar bagaimana proses dua orang yang memiliki motivasi berbeda saat dengan sadar bergabung dalam ‘imagined group” yang disebut komunitas GusDurian Malang.

Catatan pertamaku, buku yang memang berangkat dari disiplin ilmu psikologi ini, diberi kata pengantar oleh dua orang dengan background akademis yang sama: psikologi juga. Satu sisi, terkesan terasa tepat dan menjadi pas ulasan-ulasan yang muncul.

Tetapi, di sisi lain, (mungkin) memberikan dampak munculnya persepsi bahwa buku ini hanya akan bisa ‘dikunyah’ dengan baik jika dilihat dari perspektif psikologi, sukur-sukur oleh orang dengan background disiplin ilmu psikologi.

Moga lontaran persepsiku di atas hanya sebatas kekuatiran subyektifku.

Padahal, paparan yang dibuat oleh Saiful Haq atas dua kawan pegiat Gusdurian Malang (keduanya aku kenal dengan baik), bisa dilihat dan diulas dari sudut pemahaman tentang kelompok sosial, lebih spesifik pada proses munculnya in-group dan out-group oleh dua pegiat Gusdurian Malang tersebut.

Dika memutuskan untuk mencari info tentang apa dan siapa Gusdurian Malang, adalah proses identifikasi sosial oleh Dika. Dan ketika Dika merasa nyaman dan banyak kesesuaian kepentingan dan harapan, maka proses internalisasi identitas kelompok pun terjadi.

Bagaimana Dika memutuskan untuk mencari info tentang apa dan siapa Gusdurian Malang, adalah proses identifikasi sosial oleh Dika. Dan ketika Dika merasa nyaman dan banyak kesesuaian kepentingan dan harapan, maka proses internalisasi identitas kelompok pun terjadi.

Selanjutnya, Dika mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari kelompok sosial tersebut.

Sembilan nilai Gus Durian, dalam batas tertentu adalah unsur utama yang menjadi pembeda dengan kelompok sosial yang lain. Juga, sebagai sumber nilai dan norma yang disepakati para individu di dalamnya, oleh karena itu dipelihara dan terefleksikan dalam perilaku dan aktifitas para individu yang ada di dalamnya.

Kelompok sosial, bisa diartikan sebagai himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama karena saling berhubungan di antara mereka secara timbal balik dan saling memengaruhi.

Sementara in-group, secara sederhana bisa dimaknai sebagai kelompok sosial di mana individu-individu mengidentifikasikan dirinya. Sementara out-group bisa dipahami sebagai semua kelompok sosial yang ada, dimana seorang individu tidak merasa menjadi bagian darinya.

BACA JUGA : TAK SEIMAN, TAPI SEJALAN; PERJALANAN PSIKOLOGIS GUSDURIAN

Meski harus diakui, pilihan in-group dan out-group ini memiliki potensi penyederhanaan yang menghilangkan unsur-unsur penting dalam interaksi sosial. Tetapi, cukup menarik untuk melihat lebih rinci bagaimana individu-individu menempatkan Jaringan Gus Durian sebagai ‘imagined community’-nya. 
Paparan tentang pilihan-pilihan aktifitas dua pegiat Gusdurian Malang yang dibahas oleh penulis, memberi ruang tafsir yang cukup besar dari sisi sebagai proses interaksi sosial; interaksi antar individu dalam kelompok, interaksi antar individu yang berbeda kelompok, serta dinamika interaksi antar kelompok sosial.

Sungguh akan menarik jika ada peluang membedah buku ini dari sisi sosiologi maupun antropologi. Sehingga akan memperkaya spektrum sebaran pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Baca tulisan selengkapnya di facebook Wasis Sasmito

Kottablater, 13 Des 2018

Tak Seiman, Tapi Sejalan; Perjalanan Psikologis Gusdurian

0

Menggerakkan komunitas toleransi dan perdamaian tanpa basis proyek akan banyak tantangan. Selain itu, proses perubahan menjadi pemuda toleran dan penggerak perdamaian membutuhkan pergeseran psikologis. Ruang itu mampu ditempa oleh beberapa sosok pemuda dan diperlancar wadahnya melalui Gusdurian. Gerakan Gusdurian yang berbasis nilai merupakan bagian dari Gerakan Sosial Baru berbasis nilai yang lebih otentik. Seluruhnya digerakkan berdasarkan motivasi otonom dan merdeka. Siapapun akan sulit mengintervensi, apalagi untuk kepentingan politik. Buku ini menjawab formula tersebut. Beli ya untuk mengapresiasi semangat otonomi tersebut?

Kampusdesa–Sejak menerbitkan buku pertama, Saiful Is Me: Berpikir Merdeka (Jagakarsa Media, 2014) penulis berniat ingin membuat buku dengan satu tema. Namun ada banyak hal yang mendorong penulis untuk tidak lekas membuat buku tersebut.

Judul : Tak Seiman, Tapi Sejalan; Perjalanan Psikologis Gusdurian
Penulis : Saiful Haq
Tebal : 131 hlm; 13 x 19 cm
Tahun terbit : Desember, 2018
Hak cipta dilindungi undang-undang
Copyright © Yayasan Sabiqulhaq Nursyarifa, 2018<

Efek dominonya adalah kesenangan penulis membuat tulisan pendek; sekitar satu-dua halaman, ditulis dalam sekali duduk dan hanya butuh waktu kurang-lebih 45 menit.

Tidak terasa, fokus penulis beralih ke beberapa naskah buku yang tersimpan manja pada notebook. Setelah menumpahkan keluh resah tentang rumitnya dimabuk asmara ke dalam ‘Diam-Diam Suka, Diam-Diam Terluka’ (Nulis Buku, 2015), penulis pun mulai fokus menyelesaikan skripsi, sekaligus menjadi cikal-bakal buku impian.

Skripsi dengan metode kualitatif membuat naskah awal buku terlihat lebih mudah, daripada menarasikan angka-angka kuantitatif.

Durasi penelitian hingga mengantarkan saya menjadi sarjana, tidaklah lama. Namun sesuatu yang kadang simpel, tidak sesimpel itu, Ferguso! Layaknya mie instan yang ternyata tidak instan, butuh dua tahun agar mimpi itu terwujud.

Singkatnya, setelah melewati jutaan debat cebong-kampret dan pindahan dari Malang ke Jakarta, buku tersebut terbit dengan judul ‘Tak Seiman, Tapi Sejalan’.

Baca juga : Tentang Dua Orang Pegiat Gusdurian dari Jendela Sosiologi

Proses kreatif buku ini sangat mumetly (istilah sangat mumet, seperti lovely artinya sangat cinta), penulis mencoba membuat sesuatu yang beda. Mulai otak-atik gaya bahasa dari ilmiah ke bahasa populer, memperhatikan diksi agar mudah dipahami, hingga berpindah penerbitan karena beberapa hal tidak menemukan titik kompromi (percayalah, karena buku ini penulis memiliki penerbitan sendiri). Abang lelah, dek.

‘Tak Seiman, Tapi Sejalan’ bagi penulis adalah sesuatu yang spesial. Sebagai orang yang lebih suka beropini dan membahas keislaman, ‘Tak Seiman, Tapi Sejalan’ menjadi ruang bagi penulis untuk sedikit berbagi ilmu psikologi, berpijak pada analisis ilmiah dan membebaskan naskah akademik ke khalayak unch-unch.

Baiklah, inti dari basa-basi ini adalah buku ‘Tak Seiman, Tapi Sejalan’ bisa kamu pesan lewat pre-order, seharga 50.000 dapat 1 eksemplar, artinya 100.000 dapat 2 eksemplar. Pemesanan lewat WhatsApp/SMS (085-233-667-714) dengan format: Nama, alamat lengkap dan jumlah pemesanan.

Membeli buku ini sama artinya menambah kemandirian ekonomi perantau.

Peluk dan cium basah,

Endorsement para tokoh

Buku yang ada di tangan pembaca ini mengangkat titik berangkat yang berbeda tentang perspektif perdamaian yang kemudian diwarnai oleh dinamika yang sama yaitu komunitas Gusdurian. Selama ini kita tidak pernah menelaah dari sisi personal Gusdurian, namun hanya melihat sebagai suatu gerakan kelompok, pemahaman yang saya dapat dari membaca buku ini. Salah satunya, pemahaman yang saya dapat bahwa sembilan nilai utama Gus Dur benar-benar menjadi poros pemahaman maupun gerakan, Alissa Wahid, Putri Pertama KH. Abdurrahman Wahid & Koordinator Gusdurian Nasional

Buku Tak Seiman, Tapi Sejalan merupakan rekaman di luar kelas yang dipahami secara metodologis mengenai dinamika psikologis mahasiswa sebagai agen perubahan di bidang mempromosikan toleransi untuk mendapatkan pengalaman nyata hidup dalam harmoni perbedaan, Mohammad Mahpur, Dosen Psikologi Sosial UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Inisiator Gusdurian Malang 2010

Mari Mengadili Persepsi Kita dalam Kasus Vanessa Angel

0

Seolah-olah perempuan menjadi tumpuan utama dalam prostitusi. Bagaimana tidak, dalam beberapa kasus yang terjadi, sang perempuanlah yang menjadi bulan-bulanan media dan menjadi sasaran empuk publik untuk melontarkan kata-kata kasar. Seperti halnya penggerebekan yang melibatkan salah satu pesohor tanah air yang membuat publik geger. Lalu, dikemanakan laki-laki hidung belang yang seharusnya mendapatkan sanksi sosial yang sama. Wajahnya hampir tidak bisa dikenali. Jangan-jangan kita salah oleh karena persepsi kita jatuh tumplek bleg hanya pada Vanessa Angel. Sudah jatuh tertimpa tangga.

KampusDesa–Minggu ini persepsi kita tidak hanya diuji oleh berita hoax persoalan politik saja, tapi juga persepsi kita dalam menyikapi para pelaku prostitusi online. Berkeliaran status dan foto sosial media di akun sosial media saya menyoal kasus ini. Mulai dari tanggapan yang bersifat serius antara menyalahkan dan mencari keadilan media dan pihak kepolisian dalam melakukan publikasi. Lalu tanggapan yang bersifat gurauan, ada yang tertulis di status sosial media, ada pula dituangkan dalam meme yang ada gambar pelaku yang terlibat prostitusi online ini, dan ada pula yang bersifat mengingatkan agar khalayak berhati-hati dalam membuat persepsi yang bisa menjerumuskan diri ke dalam qadzaf (menuduh berzina) dan berlebihan dalam membuka aib sesama.

Saya banyak diingatkan oleh beberapa pertemanan di facebook seperti pendapat Nur Hasyim S Anam II yang bermaksud mengingatkan netizen agar menjaga persepsi dalam menyikapi kasus prostitusi online ini. Nur Hasyim S Anam perpendapat seperti ini,

APAKAH JIKA KITA MELIHAT DENGAN JELAS MASUKNYA ALAT KELAMIN LELAKI KE DALAM LUBANGNYA SEBAGAIMANA KITA MELIHAT MASUKNYA KAYU KE DALAM BOTOL (AKUN FACEBOOK INI MENYERTAKAN GAMBAR ADA KAYU YANG MASUK KE DALAM BOTOL). BOLEHKAH KITA MENUDUH MEREKA ZINA?
JAWAB:
TIDAK BOLEH, SEBAB BISA JADI MEREKA SUDAH NIKAH. SEBAB MENIKAH SECARA SYAR’I ITU GAMPANG APALAGI ALA MADZHAB HANAFI.
ANDAI MEREKA TIDAK NIKAH KARENA SI WANITA BERSTATUS ISTRI ORANG MISALNYA, MAKA KITA TETAP TIDAK BOLEH MENUDUH MEREKA ZINA TANPA ADA SAKSI 3 ORANG (YANG ADIL) YANG MELIHAT KEJADIAN TERSEBUT.
JIKA 4 ORANG YANG MELIHAT ITU SALAH SATUNYA ADA YANG TIDAK ADIL, KARENA MEMANG SUKA NGINTIP ORANG BEGITUAN, MAKA DIANGGAP TIDAK MEMENUHI SYARAT SEBAGAI  SAKSI.
JIKA KEMUDIAN KITA MENUDUH ZINA, MAKA KITA WAJIB DICAMBUK  80 KALI.

Senada dengan itu, seorang teman Hamid Farouq di akun facebooknya menjadi pengingat saya yang intinya,

“ZINA  DOSANYA AMAT SERIUS, MENUDING ZINA JUGA PERBUATAN YANG SERIUS PULA. JIKA TIDAK TERBUKTI, TUDUHAN ITU JUSTRU BERBALIK KEPADA YANG MENUDUH. HUKUMAN KARENA MENUDING ZINA SEMBARANGAN JUGA SIAP MENUNGGU. MENUDUH ZINA DALAM BAHASA SYARIAT DINAMAKAN DENGAN QADZAF. SECARA PENGERTIAN, QADZAF BERMAKNA MELEMPARKAN TUDUHAN ZINA KEPADA ORANG LAIN YANG BAIK LAGI SUCI ATAU MENAFIKAN KETURUNANNYA. QADZAF BERPOTENSI MELAHIRKAN HUKUM HAD BAGI YANG DITUDUH JIKA TERBUKTI ATAU BAGI PENUDUH JIKA MENGADA-ADA. JIKA IA HANYA MENUDUH SESEORANG LAIN MENCURI, MINUM ARAK, MURTAD, TERMASUK JUGA MENCACI YANG BISA MENJATUHKAN KEHORMATAN KEMUDIAN TIDAK TERBUKTI, IA HANYA DIKENAKAN HUKUMAN TAKZIR.
ALLAH SWT BERFIRMAN, “DAN ORANG-ORANG YANG MELEMPARKAN TUDUHAN ZINA KEPADA PEREMPUAN-PEREMPUAN YANG TERPELIHARA KEHORMATANNYA, KEMUDIAN MEREKA TIDAK MEMBAWA EMPAT ORANG SAKSI, MAKA CAMBUKLAH MEREKA DENGAN 80 KALI CAMBUKAN DAN JANGANLAH KAMU MENERIMA PENYAKSIANNYA ITU SELAMA-LAMANYA, KARENA MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG FASIK.” (QS AN-NUR [24]:4)
AMAT BERAT KONSEKUENSI DAN LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN ORANG YANG MELAKUKAN QADZAF. IA HARUS MEMENUHI SYARAT YANG DITERIMA PERSAKSIANNYA. KEMUDIAN, IA HARUS MEMBAWA EMPAT SAKSI YANG MEMILIKI PRASYARAT SPESIFIK. JIKA GAGAL MEMBUKTIKAN TUDUHANNYA, JUSTRU SANG PENUDUH HARUS DIBERIKAN HUKUMAN HAD CAMBUK SEBANYAK 80 KALI. SELAIN ITU, PERSAKSIANNYA DI MASA DEPAN TIDAK AKAN DITERIMA KARENA CACAT YANG PERNAH IA LAKUKAN.
Saya yakin akan menjadikan kita lebih bijak dan cerdas dalam menyikapi berita-berita yang menyangkut tindakan amoral sesama kita.

Betapa kita baik laki-laki maupun perempuan dimuliakan oleh aturan fiqh ini. Bersama-sama menaati syariat-Nya saya yakin akan menjadikan kita lebih bijak dan cerdas dalam menyikapi berita-berita yang menyangkut tindakan amoral sesama kita. Disamping hukum agama, dalam hukum negara kita (KUHP) diatur juga agar kita tidak mudah melakukan tuduhan melakukan perilaku amoral (berzina) sesama kita, seperti saya cuplik dari status teman facebook saya, Anwar Rahcman, yang berprofesi sebagai advokat sebagai berikut,

MENURUT PASAL 183 KUHAP: HAKIM TIDAK BOLEH MENJATUHKAN PIDANA KEPADA SEORANG KECUALI APABILA DENGAN SEKURANG-KURANGNYA DUA ALAT BUKTI YANG SAH IA MEMPEROLEH KEYAKINAN BAHWA SUATU TINDAK PIDANA BENAR-BENAR TERJADI DAN TERDAKWALAH YANG BERSALAH MELAKUKANNYA.”
ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KUHAP PASAL 184 AYAT (1) ADALAH:
KETERANGAN SAKSI, YAKNI ORANG YANGME LIHAT, MENDENGAR, MENGALAMI, MERASAKAN SECARA LANGSUNG ADANYA SUATU PERBUATAN.
KETERANGAN AHLI, YAKNI BISA DOKTER, AHLI FORENSIK, AHLI TELEMATIKA, AHLI HUKUM, AHLI AGAMA DLL.
SURAT, BISA JUGA BILL HOTEL, CATATAN PEMBUKUAN, SURAT-SURAT DAN LAIN LAIN.
PETUNJUK, BISA BERUPA REKAMAN SUARA, CCTV, NODA DARAH, REKAMAN DATA POSISI TERDAKWA (GPS) DAN LAIN-LAIN DAN,
KETERANGAN TERDAKWA.
KETERANGAN SAKSI DALAM PASAL 1 (27) KUHAP ADALAH SUATU ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA YANG BERUPA KETERANGAN DARI SAKSI MENGENAI SUATU PERISTIWA PIDANA YANG IA DENGAR SENDIRI, IA LIHAT SENDIRI DAN IA ALAMI SENDIRI DENGAN MENYEBUT ALASAN DARI PENGETAHUANNYA DAN PASAL 185 (1) KUHAP, MEMBERI BATASAN PENGERTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM KAPASITASNYA SEBAGAI ALAT BUKTI, ADALAH “KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI IALAH APA YANG SAKSI NYATAKAN DI SIDANG PENGADILAN.”
AGAR KETERANGAN SAKSI DAPAT DIANGGAP SAH SEBAGAI ALAT BUKTI YANG MEMILIKI NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN, HARUS DIPENUHI ATURAN KETENTUAN SEBAGAI BERIKUT: HARUS MENGUCAPKAN SUMPAH ATAU JANJI, KETERANGAN SAKSI HARUS DIBERIKAN DI SIDANG PENGADILAN, ADA KESESUAIAN ANTARA KETERANGAN SAKSI DENGAN ALAT BUKTI LAIN, ALASAN YANG MUNGKIN DIPERGUNAKAN OLEH SAKSI UNTUK MEMBERI KETERANGAN TERTENTU, DAN CARA HIDUP DAN KESUSILAAN SAKSI SERTA SEGALA SESUATU YANG PADA UMUMNYA DAPAT MEMPENGARUHI DAPAT TIDAKNYA KETERANGAN ITU DIPERCAYA.
Kita lupa bahwa kita beruntung punya aib yang tidak diketahui publik bahkan tidak dipublikasikan. Kita lupa bahwa sakitnya penghinaan orang lain kepada kita atas aib dan kekurangan kita yang diomongkan juga pasti dirasakan oleh pelaku yang terlibat dalam prostitusi online ini

Itu masih persoalan membangun persepsi kita dalam menyikapi kasus ini. Belum lagi tingkat kesadaran kita sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan lupa seolah hilang tatkala berita ini mencuat di media. Kita lupa bahwa kita beruntung punya aib yang tidak diketahui publik bahkan tidak dipublikasikan. Kita lupa bahwa sakitnya penghinaan orang lain kepada kita atas aib dan kekurangan kita yang diomongkan juga pasti dirasakan oleh pelaku yang terlibat dalam prostitusi online ini.

Saya paham, tanggapan-tanggapan kita atas berita tersebut adalah bentuk sanksi moral dan sanksi sosial yang membuat pelaku menjadi malu sehingga jera mengulangi perbuatan tersebut. Namun, kita dalam berinteraksi sosial ini juga diatur oleh norma, antara lain norma agama, norma hukum, dan norma susila. Cuplikan beberapa pendapat tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa tidak mudah membuat kesimpulan untuk menyatakan bahwa seseorang melakukan tindakan melanggar hukum sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Masih saja terjadi segala relasi laki-laki dan perempuan jika ada permasalahan di antara keduanya, maka banyak dipastikan perempuanlah yang disalahkan.

Selain hati-hati dalam membangun persepsi kita, saya juga memperoleh pengetahuan yang membuat saya tidak merasa saya berpendapat sendiri bahwa kasus prostitusi online yang memunculkan nama seorang artis Vanessa Angel (VA) ini tidak cukup berimbang. Media dan pihak berwajib menjadikan VA ini sebagai pelaku tunggal dalam kasus ini, mana mungkin? Siapa yang membayar 80 juta juga tidak nampak dalam pemberitaan begitu juga si mucikarinya. Duh…, lagi-lagi salah perempuan. Masih saja terjadi segala relasi laki-laki dan perempuan jika ada permasalahan di antara keduanya, maka banyak dipastikan perempuanlah yang disalahkan. Suami selingkuh atau menikah lagi, dianggap perempuan tidak bisa menyenangkan hati suami. Teman sosial media, Syamsuddin Jurhan yang statusnya sejalan pikirannya dengan saya menyatakan kurang lebih begini,

KENAPA SELALU PEREMPUAN YANG DITAMPILKAN DAN DICITRAKAN SEBAGAI OBJEK PELAKU AMORAL. SEOLAH-OLAH DALAM RELASI AMORAL ITU HANYA PEREMPUAN SEBAGAI PEMAIN TUNGGAL, NYATANYA TIDAK. KENAPA PEREMPUAN SELALU DIHINA, DICACI, BAHKAN DIRENDAHKAN JIKA ADA KASUS-KASUS SEPERTI INI. SEOLAH-OLAH MELEGITIMASI BAHWA PEREMPUAN ADALAH SUMBER DARI KESALAHAN PERILAKU TERSBUT. DALAM PEMBAHASAN KOSMOLOGI KELUARGA, TERJADINYA PENYIMPANGAN SEKSUAL DI LUAR RUMAH DIKARENAKAN LAKI-LAKINYA TIDAK SELESAI DENGAN HASRATNYA.
HASRATNYA TIDAK BERTRANSFORMASI MENJADI CINTA. PADAHAL INI ADALAH CAPAIAN DALAM RUMAH TANGGA (SAMAWA).
JIKA DEMIKAN, PROSTITUSI ITU ADA KARENA BIRAHI TIDAK DIIKAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN DAN SPRITUALITAS DI DALAM RUMAH.
Anda pasti setuju perilaku misogini tidak pantas mengatur persepsi kita dalam membangun peradaban yang baik dalam mendidik masyarakat.

Lekat di masyarakat bahwa remaja putri nakal lebih bahaya daripada remaja putra, orang tua lebih khawatir jika anak gadisnya beranjak remaja terlibat perilaku amoral. Mengapa persepsi seperti ini tidak berorientasi pada pelaku yang disikapi secara adil, tidak parsial sehingga ada yang disembunyikan dan yang lain dimunculkan. Kali ini, VA-lah yang menjadi bulan-bulanan khalayak. Anda pasti setuju perilaku misogini tidak pantas mengatur persepsi kita dalam membangun peradaban yang baik dalam mendidik masyarakat.

Anda pasti juga setuju, dalam membangun persepsi kita tentang perilaku tidak baik sesama kita, agar tidak berlebihan yang dapat menjatuhkan kita pada pelanggaran norma-norma selain akan menimbulkan suasana tidak menyenangkan di tengah masyarakat.

Jombang , 10 Januari 2019

Tubuh Sebagai Hak Milik dan Alat Produksi, Dilema Kapitalisme dan Prostitusi

0

Vanessa Angel menjadi buah bibir. Menempatkan Vanessa Angel dalam konteks kebebasan individu tidak bisa dihakimi karena itu adalah modus pilihan. Tanggungjawab tubuh Vanessa ada di dia sendiri. Apalagi menyangkut proses mendapatkan keuntungan finansial atas tubuh Vanessa. Namun, di satu sisi, tubuh sosial Vanessa mengundang perdebatan antara kepentingan kapitalisme, prostitusi dan kemerdekaan diri. Mengadili Vanessa, berarti menyoal posisi tubuh dia dalam konteks pribadi atau dalam konteks sosial. Tubuh Vanessa apakah tubuh yang terhegemoni atau tubuh merdeka. Ini soal siapa yang membangun sudut pandang.

Kampus Desa– Vanessa Angel Berhak Jual Diri!”—demikian sebuah judul opini di Qureta (7 Januari 2019), ditulis oleh Maman Suratman. Opini ini tampaknya mengarah pada upaya menyetujui tindakan artis (atau siapapun) untuk menjadi pelacur atau untuk jual tubuh. Tindakan polisi menguak kasus pelacuran artis ini dianggap penulis sebagai tindakan yang kolot dan melanggar hak orang lain. Penulis mengutip pemikiran John Locke tentang hak: hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kepemilikan.

“Tubuh Vanessa adalah milik Vanessa. Orang lain, termasuk yang melahirkan, tak berhak mengarahkan atau mengendalikan,” Maman Suratman.

Maman menulis, “jika kita mau konsisten pada substansi hak asasi, maka negara wajib menjamin kebebasan Vanessa menjual diri. Negara harus tampil ke depan dan berkata, “tiada hak bagi siapa pun untuk mengatur tubuh orang lain kecuali sang pemilik hakiki. Tubuh Vanessa adalah milik Vanessa. Orang lain, termasuk yang melahirkan, tak berhak mengarahkan atau mengendalikan.”

Bagi saya, menarik untuk mendiskusikan persoalan hak dan kebebasan ini secara lebih jauh. Kebebasan sendiri ada dua, yaitu “bebas dari” dan “bebas untuk.” Sedangkan hak adalah sesuatu yang melekat pada diri orang, yang bisa digunakan maupun tidak digunakan. Anda punya hak terhadap tubuh anda. Anda bisa membebaskan tubuh anda dari penganiayaan dan serangan yang merugikan. Andapun bebas menggunakan tubuh anda untuk melakukan sesuatu, memberinya kenikmatan, dan menukarkannya dengan uang.

Dalam kasus seks, misalnya, menggunakan tubuh untuk merugikan orang lain, tidak boleh. Misal anda ingin mencari kenikmatan dengan menggunakan tubuh anda dengan cara memperkosa, itu dilarang.

Tapi kalau kita lihat, namanya hak ini akan dibatasi dengan hak orang lain. Anda punya tubuh dan punya hak untuk membebaskan tubuh anda dari keadaan disakiti dan dihancurkan orang lain. Tapi hak untuk menggunakan tubuh anda (“bebas untuk”), tentunya tidak sebebas dibanding hak untuk menggunakan tubuh anda. Dalam kasus seks, misalnya, menggunakan tubuh untuk merugikan orang lain, tidak boleh. Misal anda ingin mencari kenikmatan dengan menggunakan tubuh anda dengan cara memperkosa, itu dilarang.

Kodrat manusia sebagai makhluk sosial juga harus dielaborasi lebih jauh. Sayangnya, Maman Sutarman dalam opininya itu hanya bicara sedikit sekali tentang posisi tubuh dalam relasinya dengan tubuh-tubuh lain atau interaksi sosial. Maman hanya menulis, “manusia memang gemar berinteraksi secara sosial. Hanya jangan lupa bahwa manusia pun adalah individu yang unik: meski sangat interaktif, tetapi masing-masing tetap berpikir dan bertindak secara individual…. Berpikir dan bertindak secara individual, maka setiap manusia menjadi pemilik mutlak atas diri pribadinya masing-masing…. Ditarik ke ranah kasus Vanessa Angel, tampak jelas bahwa apa pun yang dilakukannya, selama itu atas miliknya sendiri (tubuh = kepemilikan diri), tidak ada yang salah. Jangankan jual diri, bunuh diri sekalipun, asalkan terhadap diri sendiri bukan diri orang lain, adalah sah.”

Saya kira elaborasi tentang posisi tubuh individu dalam ranah sosial dari Maman ini perlu diperdalam agar kita bisa memahami fenomena pelacuran ini secara lebih dalam dan dialektis. Elaborasi Maman yang terlampau singkat akan membuat pembaca yang terbiasa kurang berpikir kritis akan mengarah pada pemahaman bahwa pelacuran (prostitusi) itu baik dan wajar karena hanya dilihat semata sebagai hak individu atau hak atas tubuh individu.

Padahal jelas-jelas, pelacuran bukanlah gejala individu. Ia ada karena ada relasi antar-individu. Dan seks sendiri selalu punya aspek sosialnya. Sedangkan pelacuran sendiri sejauh ini adalah suatu hubungan yang terjadi sebagai bentuk relasi yang tidak humanis.

Padahal jelas-jelas, pelacuran bukanlah gejala individu. Ia ada karena ada relasi antar-individu. Dan seks sendiri selalu punya aspek sosialnya. Sedangkan pelacuran sendiri sejauh ini adalah suatu hubungan yang terjadi sebagai bentuk relasi yang tidak humanis. Pelacuran artis hanyalah satu fenomena saja. Bagaimana dengan pelacuran yang mengarah pada perdagangan manusia yang diiringi dengan penculikan dan penipuan? Para pembela pelacuran seringkali menolak argumen bias gender dengan menunjukkan adanya pelayan seks laki-laki (Gigolo). Tapi seberapa banyakkah hal itu dalam kehidupan ini? Serta bagaimana aspek gender di dalamnya, samakah dengan prostitusi perempuan?

Ternyata masalah ini jelas tak bisa didekati hanya dari pemikiran tentang hak individu saja. Karena masalahnya terlalu rumit. Yang harus kita bela adalah korbannya. Dan tak cukup dari situ, yang kita lihat pula adalah kondisi relasi sosial yang ada, sebab di sanalah sebuah interaksi terjadi—dan tak mungkin pendekatan filsafat hak alam Maman Sutarman cukup dalam menilai masalah pelacuran.

Ada yang menyetujui prostitusi dengan alasan salah satunya hal itu sudah ada sejak beratus ratus abad. Pihak yang setuju ini ketika saya tanya apakah rela jika saudara perempuan, ibu, atau anak perempuannya jadi pelacur, tentunya gak setuju.

Pihak pendukung hak alamiah yang menyetujui prostitusi juga akan sering menuduh pada pihak yang menolak pelacuran sebagai “moralis.” Secara pribadi, saya sendiri tak ada masalah disebut moralis jika moral itu adalah hasil (produk), bukan sebab. Ketika kita menganalisa sesuatu lalu kita menghasilkan suatu kesimpulan dan menyikapi sesuatu, itu pastilah moral. Orang yang menyetujui pelacuran sendiri pasti juga pakai ukuran moral. Misalnya adalah menganggap pelacuran itu adalah tindakan bermoral, biasa, dan wajar.

Tapi moral mereka terbelah ketika kembali juga pada individu mereka, bahkan hak individunya. Yaitu tadi, ketika ditanya, apakah mau ibumu, adik perempuanmu, keponakan perempuanmu, atau perempuan dekatmu menjadi pelacur, mereka juga bersikap baik jujur atau hanya dipendam dalam hati: Tidak mau! Faktanya, semua orang adalah moralist—dalam artian selalu mengukur sesuatu pakai moral juga.

Setelah orang melakukan analisa ilmiah, dialektis, adil, objektif terhadap suatu benda, fakta, atau fenomena, iapun pasti menyimpulkan sesuatu dan menyikapi sesuatu. Moral pastilah muncul kemudian. “Apa yang seharusnya” dan “apa yang senyatanya” adalah dua hal yang selalu muncul dalam suatu ikhwal ilmu pengetahuan.

Hubungan seks yang selama ini saya tolak ada dua: satu Ngeseks karena beli. Dan ngeseks karena memperkosa.

Makanya, saya secara pribadi juga punya sikap: memilih setuju pelacuran tidak ada. Tentu ini argumen ideologis, bukan teknis. Hubungan seks yang selama ini saya tolak ada dua: satu Ngeseks karena beli. Dan ngeseks karena memperkosa.

Saya setuju seks dengan komitmen dan sadar, tanpa paksaan. Tanpa kompensasi…! Lalu saya ditanya: “Kamu setuju seks bebas?”

Yang jelas saya menolak seks yang tidak bebas. Seks yang dengan paksaan. Terpaksa ngeseks dengan orang karena menukarkan diri dengan uang. Atau karena paksaan fisik, khususnya pemerkosaan. Termasuk perkosaan dalam pernikahan. Dan saya sepakat, istri bukan budak suami.

Cinta itu butuh perjuangan, karena ia adalah hal yang indah justru karena perjuangan. Apa indahnya bercinta hanya karena mudah beli pelacur karena punya uang. Dan apa indahnya hidup kalau hanya untuk beli tas Hermes saja sampai rela menjual cinta? Karena saya masih memuja konsep Cinta, saya menolak pelacuran!

Kata Alexandra Kollontai: “Cinta dalah suatu emosi sosial yang mendalam. Cinta bukan saja merupakan suatu relasi ‘privat’ yang hanya terkait dua orang yang saling mencintai: cinta memiliki suatu elemen penyatu yang berharga bagi kolektif.”

“Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit”, kata Pram.  Kata Alexandra Kollontai: “Cinta dalah suatu emosi sosial yang mendalam. Cinta bukan saja merupakan suatu relasi ‘privat’ yang hanya terkait dua orang yang saling mencintai: cinta memiliki suatu elemen penyatu yang berharga bagi kolektif.”

Dan saya mengidealkan cinta ini sebagai prasarat hubungan mendalam, termasuk yang melibatkan seks. Dan yang lebih penting, penolakan saya terhadap prostitusi tidak berdiri sendiri karena prostitusi memang bukanlah masalah yang terpisah dari masalah lainnya yang dialami perempuan dan masyarakat.

Satu-satunya cara mengakhiri prostitusi, menurut Kollontai, adalah berjuang melawan syarat-syarat yang memaksa perempuan menjadikan prostitusi sebagai suatu jalan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Inilah yang menegaskan bahwa fenomena prostitusi tak terpisah dari masalah masyarakat yang telah merupakan efek dari kapitalisme dan penghisapannya

Pembimbing saya dalam memahami masalah prostitusi ini adalah Alexandra Kollontai, seorang perempuan revolusioner dalam sejarah Rusia. Satu-satunya cara mengakhiri prostitusi, menurut Kollontai, adalah berjuang melawan syarat-syarat yang memaksa perempuan menjadikan prostitusi sebagai suatu jalan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Inilah yang menegaskan bahwa fenomena prostitusi tak terpisah dari masalah masyarakat yang telah merupakan efek dari kapitalisme dan penghisapannya. Ada masalah ekonomi yang dialami dalam keluarga. Ada laki-laki borjuis yang punya harta dan uang berlebih, ada perempuan yang serba kekurangan. Ada jomblo yang sulit nikah dan hanya mampu membayar pelacur murahan. Ada masalah perumahan dan akses terhadap rumah. Ada keluarga yang retak dan bermasalah secara mendasar baik fondasinya maupun bangunan atasnya. Ada pendidikan yang salah. Ada propaganda seksis kapitalis. Ada patriarki. Komodifikasi kesenangan dan gairah demi profit merupakan aspek tak terhindarkan dari kehidupan dan seksualitas, dan lain-lainnya sebagai situasi masyarakat kapitalistik.

Kollontai meyakini potensi pembebasan dari relasi yang tak dikomodifikasi dan oleh karena itu hubungan non-posesif diantara individu-individu bebas tak terikat oleh ketergantungan ekonomi. Ia meyakini nilai sosial yang ia sebut dengan “solidaritas–cinta” berdasarkan perkawanan dan kesetaraan serta berpendapat bahwa semua ini akan “menjadi tuas” yang menggantikan “kompetisi dan cinta-diri sendiri dalam masyarakat borjuis.”

Gelombang Inspirasi, Menumbuhkan Perubahan Pelaku Pendidikan

0

Para guru dari penjuru Jawa Timur tumplek bleg di Jombang. Mereka ingin mengembangkan diri dan mencari secercah inspirasi untuk perubahan pendidikan yang lebih baik. Perubahan tidak selalu menunggu kebijakan. Jikalau kita bisa lakukan, kita hanya butuh belajar dari orang lain dan berkolaborasi. Nah, Konvensi Pendidikan VII membantu para pelaku pendidikan untuk saling berbagi inspirasi agar mereka memiliki kisah-kisah positif bagaimana menjadi seorang pendidik dengan jiwa inovasi tiada henti.

Jombang, Kampus Desa–Mengalirnya refleksi Pendidikan di akhir tahun telah menyelimuti segenap peserta yang telah menghadiri Konvensi Pendidikan Indonesia VII. Meskipun dalam nuansa liburan, acara ini tetap dipadati oleh peserta dari beragam latar profesi dan daerah, bahkan Bupati Jombang turut serta mengapresiasi hadir dalam acara ini yang di selenggarakan di PAUD/PG/TK Ar-Rahman Jombang Kota Jombang Sabtu, 22 Desember 2018.

Berlatar belakang dengan asas Kemanusiaan yang adil dan beradab yang merupakan salah satu bunyi butir pancasila. Nilai sila ke dua tersebut bukanlah sebuah semboyan yang diujarkan lewat lisan saja, namun sebagai tanggung jawab dalam prinsip bernegara. Hal ini dibuktikan semakin banyaknya lembaga maupun komunitas sosial kemanusiaan yang mewarnai negeri ini.

Para peserta, narasumber dan fasilitator Konvensi Pendidikan VII berpose bersama merayakan kesuksesan

OLDWA (Ojo Leren Dadi Wong Apik) melalui Konvensi Pendidikan Indonesia yang bergerak sejak Bulan Desember tahun 2013, hingga kini menebarkan harumnya semangat pendidikan yang memanusiakan untuk mengawal generasi bangsa Indonesia dalam menyongsong era teknologi dan Bonus Demografi. Semakin hari Konvensi Pendidikan Indonesia memberikan gelombang yang menjulang semangat para, orang tua, pendidik dan praktisi untuk berperan serta dalam inovasi, kreatifitas pendidikan yang memberikan rasa kenyamanan dan hasil generasi yang maksimal.

Pendidikan yang paling utama terletak pada lingkungan terdekat terutama kedua orang tua, selain itu memaksimalkan pendidikan di usia platinum rentang pendidikan usia dini sampai sekolah dasar merupakan hal penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua, pendidik maupun praktisi yang menaunginya,” Munjidah, Bupati Jombang

Bupati Jombang ikut serta memberikan selayang pandang mengenai pendidikan. Beliau menegaskan bahwa pendidikan yang paling utama terletak pada lingkungan terdekat terutama kedua orang tua, selain itu memaksimalkan pendidikan di usia platinum rentang pendidikan usia dini sampai sekolah dasar merupakan hal penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua, pendidik maupun praktisi yang menaunginya.

Senandung rasa terimakasih dan harapan besar pendidikan kedepan memiliki lebih banyak inovasi nan kreatif. Sebagaimana tujuan utama OLDWA untuk saling berjabat tangan dan memberikan semangat untuk terus mengembangkan pendidikan, tutur kentar Budhojo selaku Ketua OLDWA, Isa Anshori Sekretaris Dewan pendidikan Jawa Timur, dan bapak Suroto dalam menyambut peserta Konvensi Pendidikan Indonesia.

Ulasan Inspiratif mengenai Inklusi oleh Bapak Dr. Mudjito mantan PLB Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta dosen FISIP UNESA, bapak Wahyu Nugroho selaku Staf Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Timur, Ibu Rachmi Aida Ketua LPA Blitar, Mr.   Nafik Palil Yuniro, CEO The Naff A Creative and Fun School. Bapak Lukman Hakim Founder Sekolah Dolan Malang, mengawali tabur inspiratif mengenai pendidikan saat ini baik formal, informal, dan non-formal. Tabur Inspiratif ini memberikan jejak peminatan dalam mendalami keilmuan pendidikan oleh peserta Konvensi Pendidikan Indonesia.

Uniknya dalam komisi ini memberikan semangat peserta untuk mengingat success story dalam kehidupan maupun lingkup kerja yang saat ini digemari sehingga yang awalnya merasa berbenah masih saja belum tercapai, maka dengan mengingat kesuksesan yang pernah diraihnya, membuat simpul inovasi dan kreatifitas dalam dirinya untuk terus bergerak mewujudkan yang lebih baik.

Mohammad Mahpur sedang memberi panduan sesi workshop success story untuk peserta Konvensi Pendidikan VII. Amit sewu membelakangi Founder Sekolah The Naff (Nafik Palil)

Menyelami pendidikan sesuai dengan passion dalam konvensi ini di bagi dalam komisi-komisi yang di fasilitatori oleh Dr. Moh. Mahpur, M.Si Rektor Kampus Desa Networker. Komisi ini di bagi atas empat peminatan dengan masing-masing fasilitator. Uniknya dalam komisi ini memberikan semangat peserta untuk mengingat success story dalam kehidupan maupun lingkup kerja yang saat ini digemari sehingga yang awalnya merasa berbenah masih saja belum tercapai, maka dengan mengingat kesuksesan yang pernah diraihnya, membuat simpul inovasi dan kreatifitas dalam dirinya untuk terus bergerak mewujudkan yang lebih baik.

Komisi Manajemen pendidikan formal difasilitatori oleh Mr. Nafik Yuniro yang menggagas 5 langkah membangun Lembaga WOW dalam manajemen pendidikan yang nantinya akan ada 11buku hasil dari praktik manajemen yang sudah dipaparkan. Komisi Non-Formal oleh Lukman Hakim memberikan suntikan untuk menggali bakat dari kesuksesan peserta yang akhirnya akan dibukukan menjadi antalogi persembahan konvensi VIII nanti, hal ini juga bisa diaplikasikan kepada peserta didiknya.

Selain itu masih ada Cak mustofa yag menfasilitatori Komisi pendidikan berbasis masyarakat yang mengangkat keunikan dari masing-masing daerah berangkat dari keterbatasan untuk dimaksimalkan bahkan bisa menjadikan sosok sosiopreneurship dalam berkarya. Dan komisi Inklusi penanganan anak berkebutuhan khusus oleh ibu Rachmi Aida, Bapak Mudjito, dan pendidikan inklusif timeless oriented learning oleh Bapak Kentar Budhojo.

Komisi-Komisi yang di bentuk mewadahi ruang gerak pendidik dan praktisi dalam membangun revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan yang di maksud berangkat dari refleksi pendidikan Indonesia untuk menghadapi era teknologi dan Bonus Demografi. Mengenai Inovasi dari revolusi pendidikan disampaikan oleh Dr. Ananto Kusuma Seta Ph.D staf ahli inovasi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Diskusi renyah bersama Dr. Ananto membuat peserta dan praktisi terhipnotis oleh waktu.

Diskusi yang membekas bersama Dr.Ananto untuk dijadikan oleh-oleh, terutama diskusi yang di ajukan oleh Kentar Budhojo dan Mr. Nafik Palil Yuniro. Dalam intisari diskusi tersebut menyatakan mengenai inovasi, kreatifitas oleh pendidik, praktisi bahkan orang tua dan lingkungan sekitar pendidik yang ikut serta dalam membangun pendidikan yang mencerahkan tidak ada habisnya, namun masih tersekat oleh batas-batas konsep yang telah diberikan pemerintah.

Dr. Ananto memberikan harapan penuh pasti dengan memberikan semangat dan terus mendukung segala inovasi dan kreatifitas para pendidik dan praktisi untuk membangun pendidikan era abad 21 yang memanusiakan dalam menghadapi peradaban dengan satu kata ‘LANJUTKAN” segala inovasi dan kreatifitas yang sudah dibangun, beliau akan membantu berjuang dalam inovasi konsep yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Tiada terasa waktu berdentang pukul 17.00 gelombang inspirasi yang terus mengalir segera diakhiri dengan bungkus beragam oleh-oleh motivasi, success story yang akan terbit menjadi maha karya peserta konvensi. Selain itu hasil dari konvensi ini bisa menjadi pijakan kebijakan pendidikan di Nusantara khususnya di Jawa Timur.