Rabu, Oktober 8, 2025
Google search engine
Beranda blog Halaman 60

APFSD Youth 2019: Bagaimana Kami Mulai Untuk Mengubah Dunia

0

Pemuda sebagai pemimpin garda terdepan perlu dipersiapkan, dilatih, dan diasah sedini mungkin. Di Asian Pacific Forum for Sustainable Development (APFSD) Youth 2019 ini, kami mulai ikut mengambil peran dalam perubahan. Acara ini didukung oleh banyak organisasi sosial seperti ARROW, Right Here Right Now, Youth Lead, YPEER, dan AP-RCEM serta difasilitasi oleh UNESCAP.

Banyak yang perlu diperbaiki dari dunia, pun banyak yang perlu dirubah. Setiap harinya, peradaban bertumbuh dan peraturan pun perlu untuk terus diperbaharui. Bangkit dari kesadaran bahwa setiap individu adalah bagian kecil dari perubahan, namun setiap dari mereka memiliki bobot power yang berbeda, sehingga jika disatukan akan dapat membentuk suatu pergerakan yang mampu memberikan efek yang besar bagi kelanjutan kehidupan. Dari Asian Pacific Forum for Sustainable Development (APFSD) Youth 2019 ini, kami mulai ikut mengambil peran dalam perubahan tersebut.

Acara ini diselenggarakan guna melakukan peninjauan terhadap terlaksanakannya SDG-2030 pada poin-poin tertentu.

Dihadiri kurang lebih enam puluh peserta dari berbagai latar pendidikan dan organisasi serta asal negara sebanyak kurang lebih lima belas negara seluruh Asia Pasifik, acara ini diselenggarakan selama tiga hari di Bangkok pada tanggal 21-23 Maret 2019. Acara ini didukung oleh banyak organisasi sosial seperti ARROW, Right Here Right Now, Youth Lead, YPEER, dan AP-RCEM serta difasilitasi oleh UNESCAP. Dengan tema yaitu “Empowering Young People and Ensuring Inclusivity and Equality in Asia Pacific”. Acara ini diselenggarakan guna melakukan peninjauan terhadap terlaksanakannya SDG-2030 pada poin-poin tertentu. Yaitu poin nomor 4, 8, 10, 13, 16, dan 17 pada regional masing-masing.

Dari tinjauan data, pemuda usia 15-24 tahun akan menduduki populasi sebanyak 1.2 milyar dari 7.5 milyar penduduk bumi sampai dengan tahun 2030.

Lalu, mengapa anak muda? Dari tinjauan data, pemuda usia 15-24 tahun akan menduduki populasi sebanyak 1.2 milyar dari 7.5 milyar penduduk bumi sampai dengan tahun 2030. Dengan rincian sebanyak 60% diantaranya tinggal di Asia Pasifik, atau sekitar 717 juta penduduk. Di sisi lain yang dijadikan sebagai pertimbangan, pada usia tersebut umumnya manusia berada pada tahap di mana tingkat keingintahuan dan kepedulian sedang berada pada level yang paling baik. Tentu hal ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin, sebab bagaimana dunia di masa depan adalah bentuk dari upaya pembangunan masa kini. Pemuda sebagai pemimpin garda terdepan perlu dipersiapkan, dilatih, dan diasah sedini mungkin.

Rangkaian agenda selama forum ini berlangsung berupa dialog bersama pemateri yang bergerak di bidangnya masing-masing. Seperti pada hari pertama, materi yang diberikan adalah “Universal Access to Education to Children, Adolescents, and Youth” dan “Full and Productive Employment and Decent Work for All Young People”. Dilanjutkan pada hari kedua yang diawali dengan Goup Work on Recommendation tentang poin SDG’s yang dibahas pada hari pertama yaitu mengenai Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Dari ini, lahir inovasi baru yang perlu diterapkan dan yang perlu diperbaiki dari implementasi sebelumnya di masing-masing wilayah dengan bentuk poin analisis berupa kaitan penerapan dengan teknologi, pendanaan, dan poin-poin penghambat lainnya yang menyebabkan lambannya penerapan SDG’s di masing-masing regional. Pada hari kedua juga diberikan materi dan dilaksanakan Goup Work on Recommendation mengenai topik Perubahan Iklim.

Pada hari terakhir, agenda yang dilakukan adalah diskusi lanjutan mengenai langkah-langkah yang diambil kedepannya atas apa yang telah diidentifikasi kemarin atau bentuk kampanye maupun gerakan apa yang akan diambil untuk mendorong terlaksanannya agenda bersama sesuai tujuan.

Misi ke depannya, para peserta forum yang juga menjadi perwakilan masing-masing negara sekaligus organisasi dari fokus topik yang diangkat akan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan juga menjadi penyelenggara daripada rangkaian agenda lanjutan untuk mengawal terlaksananya SDG’s dengan baik dan sesuai harapan. Partisipasi satu pemuda memang tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan, namun jika para pemuda bersatu dan saling bahu membahu untuk bersama-sama ikut membangun, maka perubahan yang diberikan akan bisa dirasakan di masa depan.

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Indonesia Menulis Online Bersama Kampus Desa

0

Hii kalian pecinta literasi !! Lagi bingung pengen nulis tapi ga punya wadah untuk publikasi?? Join yuk di sini, di Indonesia Menulis Online bersama Kampusdesa.or.id. Di sini kalian akan bertemu dengan mentor-mentor kece dan akan mendapatkan banyak relasi. Tunggu apa lagi, ga usah kelamaan mikirnya!! Tempat terbatas !! Orang males dilarang daftar!!

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma

Heboh Kiamat: Antara Kenaifan Beragama dan Ketidakbijakan Dakwah

0

Kiamat pasti terjadi dan kebenaran kitab suci tidak mungkin terbantahkan. Sesungguhnya, tidak hanya agama, di hampir semua kebudayaan ditemukan adanya keyakinan akan berakhirnya dunia yang didahului dengan beberapa tanda kehadirannya. Tidak ada satu pun orang beragama yang meragukan akan hadirnya kiamat. Sekalipun demikian, cara sehat untuk menyongsongnya tentu saja bukan dengan menjual rumah dan menghabiskan tabungan untuk pendidikan anak-anak kita, tapi dengan berbuat kebaikan dan menebar cinta kepada sesama.

KampusDesa–Seorang tokoh agama mengumumkan bahwa kiamat akan segera tiba dalam hitungan hari atau bulan. Dia tahu pasti kapan kiamat akan tiba tanpa secuil pun keraguan. Keyakinan ini sebegitu pasti hingga tak ada yang disebut dengan rencana cadangan. Seluruh tanda-tanda kedatangan kiamat yang dinubuatkan dalam kitab suci terasa sudah terjadi. Karena kiamat pasti terjadi dan kebenaran kitab suci tidak mungkin terbantahkan, maka pengumuman ini seperti sebuah terompet malaikat yang menandai berakhirnya sejarah semesta. Para jamaah telah bersiaga menyambut datangnya kiamat dengan keimanan yang menggelora. Tidak sedikit di antaranya telah menguras habis hartanya karena saat kiamat tiba, harta tidak lagi dibutuhkan. Ada yang menjual rumah, ada yang menghabiskan seluruh tabungannya.

“Kiamat pasti terjadi dan kebenaran kitab suci tidak mungkin terbantahkan”

Peristiwa di atas sama sekali tidak terjadi di sebuh desa kecil di wilayah barat Kabupaten Ponorogo, Jawa timur, di tahun 2019. Kegaduhan beberapa keluarga di Ponorogo akibat “ajaran kiamat segera tiba” hanyalah salah satu dari fenomena sosial-keagamaan yang telah terjadi di beberapa belahan dunia. Peristiwa yang tergambarkan di awal tulisan ini terjadi di Amerika Serikat, tepatnya di California, pada 2011. Peristiwa ini bermula ketika seorang pemuka Gereja Evangelis, Harold Camping, mengumumkan dengan sangat yakin dan pasti berdasarkan naskah Injil yang diyakininya tentang datangnya kiamat pada Sabtu, 21 Oktober 2011. Camping menyebarkan prediksinya melalui jaringan media dan papan iklan. Informasi ini kemudian menyebar ke berbagai negara. Begitu kuatnya seruan ini, hingga seorang remaja putri di Rusia usia 14 tahun memutuskan bunuh diri karena ketakutan. Dalam catatan buku hariannya dia menulis bahwa dia telah melihat tanda-tanda kedatangan kiamat saat dia melihat terdamparnya ikan paus di pantai dan matinya burung-burung.

“Kiamat adalah salah satu doktrin iman yang nyaris ditemukan di semua agama.”

Di tahun yang sama, Negara Taiwan juga dihebohkan dengan orang yang menyebut dirinya dengan nama Guru Wang yang memprediksi kedatangan kiamat pada 11 Mei. Dia menyarankan agar orang-orang berlindung di peti kemas. Sontak penjualan peti kemas melonjak sangat tajam hingga ditemukan ada sebuah desa yang sudah menyiapkan 100 buah peti kemas kosong. Kiamat adalah salah satu doktrin iman yang nyaris ditemukan di semua agama. Agama Islam adalah salah satu agama yang meyakini akan datangnya kiamat, bahkan menjadi salah satu dari enam pilar iman. Lebih dari itu, beberapa hadits menyebutkan tanda-tanda kedatangannya, misalnya, terjadinya malapetaka besar, munculnya Dajal, dsb. Sekalipun demikian, dengan jelas dinyatakan bahwa tidak ada satu pun yang mengetahu kapan kiamat tiba selain Allah sendiri.

Sesungguhnya, tidak hanya agama, di hampir semua kebudayaan ditemukan adanya keyakinan akan berakhirnya dunia yang didahului dengan beberapa tanda kehadirannya. Biasanya, narasi tentang kiamat muncul saat situasi sedang tidak menentu, orang-orang berada dalam himpitan kehidupan berat. Situasi ini akan menuntun kepada harapan-harapan supra-alami karena situasi alamiah tidak lagi memberi harapan akan perubahan yang lebih baik. Tidak mengherankan jika narasi kiamat selalu berpadu dengan dua hal lain: kejadian alam yang tidak bisa dijelaskan dan harapan akan datangnya pertolongan dari sosok yang akan menegakkan keadilan. Orang Jawa menyebut sosok imajiner itu dengan istilah ‘Ratu Adil”.

“Tidak seperti kebenaran sains yang selalu memberi ruang untuk sebuah keraguan, narasi agama selalu dihadirkan dalam paket kebenaran mutlak yang melarang siapa saja untuk meragukannya.”

Dalam situasi seperti ini, isu kiamat biasanya akan lahir. Suasanya lebih mengkhawatirkan jika isu kiamat ini muncul dari tokoh agama yang menjustifikasi isu tersebut dengan dalil-dalil agama. Tidak seperti kebenaran sains yang selalu memberi ruang untuk sebuah keraguan, narasi agama selalu dihadirkan dalam paket kebenaran mutlak yang melarang siapa saja untuk meragukannya. Keraguan terhadap ajaran agama adalah pelanggaran terhadap batas-batas iman. Alternatif yang ditawarkan hanya dua: iman atau tidak iman; beragama atau tidak beragama; selamat atau tersesat.

“Jika perintah kebaikan dari agama bertentangan dengan akal sehat, maka semakin orang menjalankan agama, semakin ia teralienasi dari dirinya.”

Di sini, agama sepenuhnya diperlawankan dengan akal sehat. Seakan-akan, semakin seseorang beriman, semakin dia harus menanggalkan akal sehatnya, nalar kritisnya. Padahal, sekalipun ada bagian-bagian dalam doktrin agama yang tidak bisa dinalar, misalnya jumlah rakaat shalat, namun perintah kebaikan agama seharusnya sejalan dengan akal sehat manusia. Jika perintah kebaikan dari agama bertentangan dengan akal sehat, maka semakin orang menjalankan agama, semakin ia teralienasi dari dirinya. Agama berfungsi sebagai pembebas jika ajaran-ajarannya adalah jawaban atas kebutuhan konkret manusia, bukan manipulasi atas keterpurukan situasi dan pengingkaran atas nalar kritis. Agama justru seharusnya membuka ruang-ruang kritis agar pengikutnya sanggup mengenali dirinya dan lingkungannya dengan tepat.

“Seorang pendakwah pada hakikatnya adalah seorang pendidik.”

Yang tidak kalah pentingnya adalah kearifan tokoh agama dalam berdakwah. Berdakwah tidak hanya menyampaikan apa yang diyakini seorang pendakwah sebagai kebenaran iman. Yang tidak kalah pentingnya dari aktivitas dakwah adalah mempertimbangkan akibatnya. Seorang pendakwah pada hakikatnya adalah seorang pendidik. Pendidik yang baik tentu saja haruslah orang yang menguasai bidang ilmunya. Namun penguasaan ilmu saja tidak cukup, pendidik yang baik juga dituntut untuk tahu kepada siapa, kapan, dan materi apa yang tepat untuk disampaikan.

Tidak ada satu pun orang beragama yang meragukan akan hadirnya kiamat. Sekalipun demikian, cara sehat untuk menyongsongnya tentu saja bukan dengan menjual rumah dan menghabiskan tabungan untuk pendidikan anak-anak kita, tapi dengan berbuat kebaikan dan menebar cinta kepada sesama. Hingga, saat kiamat itu tiba, kita bisa menyongsongnya dengan iman dan senyuman.

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah 

Merajut Asa Di Tanah Cendrawasih (Part 2)

0

Adakah yang paling indah daripada senyuman hangat? Senyum tawa mereka saat sedang pergi ke sekolah, riang gembira menjelajahi wahana pengetahuan. Di situ para guru menyambut dengan penuh ketulusan. Seperti menanam padi di pematang sawah, bulir-ulir harapan itu akan menguning dengan pendidikan yang mapan. Maka benar guru adalah penentu peradaban.

KampusDesa- Sejak Wahiddin kembali ke Makassar, tidak ada kabar lagi tentangnya. Artikel yang ku tulis untuknya sudah sebulan lamanya centang satu di dasboard Whatsapp- ku. “Kelak jika sudah tiba di distrik Venaha, Papua, maka tak ada lagi cara bersosial media kecuali sekali dalam sebulan, itupun jika tak ada gangguan,” jelasnya padaku beberapa waktu yang lalu. Hingga akhirnya aku teringat pesan ayah kala itu di mana aku sedang  mempersiapkan Praktek Kerja lapangan (PKL).

 “Kalau kamu benar benar ingin tahu permasalahan pendidikan, datanglah ke sekolah kecil yang terletak di pinggiran, di sana kamu akan mendapatkan segudang pelajaran.”

Wejangan singkat itu membuatku berimajinasi, bagaimana dengan daerah yang lebih sulit dijangkau seperti Provinsi Papua misalnya? Cerita Muwahiddin tentang ekspedisinya di pulau Jayapura itu seperti hujan sekilas di terik siang, menyapa bahwa di lain persemayaman ada mendung yang tak terkirakan.

Acuan pendidikan baik rencana dan sarana untuk mencapai output yang diharapakan silih berganti, yang terbaru adalah K13 di mana siswa dituntut aktif dalam pembelajaran difasilitasi dengan komputer dan teknologi komputasi lainnya. Di SD Inpress memes atau di sekolah yang belum berkembang nampaknya kurikulum KTSP masihlah relevan, tentu langkah ini melalui pertimbangan yang tidak main-main. Bahkan jajaran guru SD Inpress memes perlu usaha keras untuk mengimplementasikan KTSP 2006.

 “Di sini diperlihatkan bahwa kurikulum dalam keadaan tertentu bukanlah standar segalanya, ada kebutuhan intrinsik murid yang hanya bisa dipahami oleh guru di lapangan, itulah seni dalam mengajar”.

“RPP silabus kita singkirkan dahulu, kita fokus calistung, membaca menulis dan berhitung anak anak. Bahkan masih banyak 90% buta huruf, kelas empat, lima dan enam masih banyak yang belum lancar membaca.“ Ungkap Muwahiddin saat ditanya tentang tantangan pengajar.

Selama ia mengajar, Muwahiddin menandai bahwa setiap semester ada tiga anak yang mulai bisa membaca, hal itu merupakan kebersyukuran yang amat menyenangkan baginya bersama rekan pengajar. Bagaimanapun pola hidup seperti sandang pangan, fasilitas dan sistem sosial tentu berdampak terhadap kemampuan adaptasi siswa untuk menangkap apa yang disampaikan oleh guru. Aku meyakini bahwa membandingkan anak didik adalah kejahatan, menyamakan peserta didik juga suatu penghinaan. Setiap siswa unik, tidak ada siswa yang bodoh, mungkin dia berpotensi di bidang tertentu, hanya saja belum terekspos.

“Membandingkan anak didik adalah kejahatan, menyamakan peserta didik juga suatu penghinaan. Setiap siswa unik, tidak ada siswa yang bodoh, mungkin dia berpotensi di bidang tertentu hanya saja belum terekspos.”
Dokumentasi Upacara Bendera Guru-guru Bersama Siswa-siswi SD Inpres Memes

Terkonfirmasi untuk tahun ini, menurut keterangan Muwahiddin, Distrik Venaha akan memiliki dua putra-putri daerah yang bergelar sarjana untuk pertama kalinya. Kedua orang yang beruntung tersebut mendapat pembiayaan kuliah melalui dana desa, masing-masing mendalami bidang keguruan dan ilmu pemerintahan.

Guru mulyo jalaran wani rekoso (guru mulia karena berani bersusah payah), begitulah pepatah Jawa mengatakan. Kemuliaan seorang pengajar akan didapatkan setelah ia mau memeras keringat untuk kepentingan murid-muridnya. Orang dahulu sering berargumen jika ingin memprediksi keberhasilan seorang murid, lihat dulu siapa gurunya, kelimuannya, akhlaknya dan semangatnya. Sesaat sebelum berpisah, Muwahiddin dengan segenap hati ia ingin “say hello” kepada seluruh pengajar di Indonesia, kepada pemuda yang peduli dengan pendidikan bangsa, ia berpesan :

“Jangan pernah menyerah, jangan pernah mengeluh dengan keadaan, tetap jalani, syukuri, karena jika dibandingkan dengan kami yang ada di sini, teman-teman lebih memiliki fasilitas yang layak, jadi jangan pernah berputus asa untuk berbagi ilmu. Satu ilmu yang kita berikan bisa menciptakan generasi-generasi yang lebih baik lagi.”

Apa gunanya kemenyan setungku kalau tidak dibakar? Begitu juga ilmu haruslah bermanfaat. Bukan seberapa banyak tapi seberapa ikhlas kita dalam mengajar. Mari bersama bersusah payah (rekoso) untuk mereka para pemegang harapan bangsa. Selamat menjadi Guru!

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Membawa Lamongan Kemanapun Saya Pergi

0

Sepanjang usia ini dan untuk seterusnya, masih ada lebih banyak tempat yang ingin dikunjungi, masih ada peran-peran besar yang akan turut diambil, masih ada lebih banyak momen-momen bersejarah lain untuk ikut berpartisipasi bersama Lamongan di dalamnya. Eropa, Amerika, Australia, maupun Asia Timur, tidak ada yang tahu. Deklarasi kebijakan luar negeri, perjanjian antar negara, momen olahraga bersejarah, atau sidang tingkat tinggi PBB, sekali lagi tidak ada yang tau. Kemanapun itu, dimanapun itu “Aku adalah Lamongan” dan “Lamongan adalah Aku”.

Kampusdesa.or.id–Setiap orang menanamkan mindset “Saya Ingin Sukses”, mungkin itu terlalu mainstream. Mengapa tidak mengubahnya menjadi “Saya Ingin Menjadi Pemuda Lamongan yang Sukses”, akan lebih menarik jika seperti itu. Bicara lebih banyak, sebenarnya bukan hanya soal menarik dan tidak menarik saja yang perlu dijadikan alasan. Melainkan, soal jati diri. Kemanapun kita pergi, tentu pertanyaan yang kerap ditanyakan pertama kali adalah asal dan nama. Di sini kita coba refleksikan, bagaimana membawa Lamongan kemanapun kita pergi.

Pertanyaan sederhana dengan jawaban yang pasti. Namun jarang orang memikirkan bagaimana hal tersebut menjadi tidak sesederhana itu. Mengambil poin-poin penting yang hampir selalu nyelip dalam perjalanan menjelajahi banyak tempat dan bergabung bersama banyak momen-momen besar memberikan dorongan untuk berfikir secara lebih struktural agar hal ini tidak menjadi sesederhana pertanyaan dan jawaban yang umumnya dijumpai.

Masa-masa awal menetap di regional Ibu Kota menyumbang banyak pemikiran bagaimana pergi ke suatu tempat dengan tidak sekedar membawa identitas diri sendiri melainkan juga identitas kota kelahiran. Lebih jauh, pada acara yang menamai dirinya AYIMUN 2018 yang diselenggarakan di Bangkok, dengan pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama pula, bentuk pelajaran lain hadir.

Masa-masa awal menetap di regional Ibu Kota menyumbang banyak pemikiran bagaimana pergi ke suatu tempat dengan tidak sekedar membawa identitas diri sendiri melainkan juga identitas kota kelahiran. Lebih jauh, pada acara yang menamai dirinya AYIMUN 2018 yang diselenggarakan di Bangkok, dengan pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama pula, bentuk pelajaran lain hadir. Pemuda Lamongan usia 18 tahun turut serta dalam salah satu agenda Model UN yang dihadiri ribuan delegasi dari kurang lebih tujuh puluh negara di dunia. Menakjubkan, mari coba untuk yang lain lagi!

Konotasi “mencoba yang lain lagi” adalah mencoba untuk partisipasi yang bersifat lebih dominan. Bagaimana itu? ketika Model UN bersifat bebas diikuti siapa saja dan bentuknya adalah simulasi sidang PBB dengan council-council dan topik-topik tertentu, berbeda dengan APFSD Youth 2019 yang serupa diselenggarakan di Bangkok. Proses pemilihan peserta lebih ketat sebab tidak semua pengisi pendaftaran akan terpilih. Hanya enam puluh peserta dari kurang lebih lima belas negara seluruh Asia Pasifik saja yang akan lolos mengikuti Asian Pasific Forum for Sustainable Development (APFSD) Youth 2019 ini.

Sedikit rincian mengenai deskripsi APFSD Youth 2019, acara ini diselenggarakan pada tanggal 21-23 Maret 2019. Acara ini didukung oleh banyak organisasi sosial seperti ARROW, Right Here Right Now, Youth Lead, YPEER, dan AP-RCEM serta difasilitasi oleh UNESCAP. Dengan tema yaitu “Empowering Young People and Ensuring Inclusivity and Equality in Asia Pacific”. Acara ini diselenggarakan guna melakukan peninjauan terhadap terlaksanakannya SDG-2030 pada poin-poin tertentu. Yaitu poin nomor 4, 8, 10, 13, 16, dan 17 pada regional masing-masing. Dengan konsep metodologi yang melibatkan Panel Discussion dan sesi dialog serta Group Work on Recommendation, maka peserta juga akan ikut menganalisis permasalahan implementasi SDG’s, memberikan usulan untuk memperbaiki, dan mengawal pelaksanaannya di regional Asia Pasifik. Dengan masing-masing perwakilan dari negara Asia Pasifik dan pertanyaan yang sama serta jawaban yang sama pula:

“Where do you come from?”

“Lamongan, Indonesia”

Akan memberikan hasil pemikiran berbeda. Orang-orang diluar sana akan penasaran dimana persisnya Lamongan dan bagaimana Lamongan itu misalnya. Dari sini bisa diketahui apa yang dimaksud membawa Lamongan kemanapun saya pergi, pun tentang bagaimana saya membawa Lamongan turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan besar. Cara sederhana dengan efek yang tidak sederhana, melalui pertanyaan dan jawaban.

Kemudian, sepanjang usia ini dan untuk seterusnya, masih ada lebih banyak tempat yang ingin dikunjungi, masih ada peran-peran besar yang akan turut diambil, masih ada lebih banyak momen-momen bersejarah lain untuk ikut berpartisipasi bersama Lamongan di dalamnya. Eropa, Amerika, Australia, maupun Asia Timur, tidak ada yang tahu. Deklarasi kebijakan luar negeri, perjanjian antar negara, momen olahraga bersejarah, atau sidang tingkat tinggi PBB, sekali lagi tidak ada yang tau. Kemanapun itu, dimanapun itu…

Aku adalah Lamongan dan Lamongan adalah Aku.

Korelasi Problema Masyarakat Non Produktif dalam Bidang Pendidikan dengan Kampus Desa

0

Masyarakat non produktif seringkali menjadi salah satu problema yang tidak bisa dipungkiri. Minimnya pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pengembangan kompetensi yang dimiliki oleh setiap orang. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan menjadi salah satu penyebab lambannya kualitas hidup manusia.

KampusDesa–Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwasanya Negara Indonesia adalah negara berkembang yang apabila dilihat dari segi pembangunannya kurang merata. Hal tersebut berakibat pada daerah-daerah tertentu yang tidak terealisasi baik dari segi pendidikan maupun sarana prasarana. Sedangkan dalam konstitusi sendiri tepatnya pada Pasal 28 (C) Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya, dan demi kesejahteraan manusia. Dari sini kita dapat menyimpulkan faktor yang paling mendominasi ialah rendahnya kesadaran masyarakat dan kurangnya perhatian dari pemerintah itu sendiri.

Para pemuda di desa tersebut kebanyakan seorang pengangguran karena latar belakang yang hanya lulusan Sekolah Dasar dan tingkat kesulitan mencari lapangan pekerjaan bagi mereka.

Di sisi lain berdasarkan kebijakan pada tahun 2015 terkait dengan wajib pendidikan 12 tahun sudah memberikan peluang besar bagi masyarakat yang istilahnya non produktif supaya mampu mengenyam pendidikan. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri adanya keterbatasan infrastruktur menghambat berjalanya kebijakan tersebut. Misalnya yang terjadi di Desa Klodan, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk. Di desa tersebut terdapat 6 Sekolah Dasar yang sebagian besar non aktif. Kenapa saya mengatakan non aktif, bagaimana tidak? Rata-rata setiap SD mempunyai murid sekitar 100 lebih dengan tenaga pengajar 3 orang. Apabila kelas 1, 2 dan 3 sedang melangsungkan KBM maka secara otomatis kelas 4, 5 dan 6 tidak terkondisikan. Sehingga kegiatan belajar mengajar kurang maksimal. Selain itu para pemuda di desa tersebut kebanyakan seorang pengangguran karena latar belakang yang hanya lulusan Sekolah Dasar dan tingkat kesulitan mencari lapangan pekerjaan bagi mereka.

Kondisi Indonesia saat ini secara kualitas dapat dikatakan sangat miris baik dari segi pendidikan, sosial maupun ekonomi.

Nah di sini kita sebagai pemuda penerus bangsa yang baik sudah semestinya merubah kondisi dan mindset masyarakat desa yang istilahnya masih kategori tertinggal. Apalagi dengan adanya program sosial “Kampus Desa” ini memberikan peluang yang sangat besar dan luar biasa untuk terjun ke masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengingat bahwa kondisi Indonesia saat ini secara kualitas dapat dikatakan sangat miris baik dari segi pendidikan, sosial maupun ekonomi. Maka dari itu sebagai bentuk kontribusi, perlu adanya sumbangsih yang besar untuk mengatasi problematika tersebut. Entah dalam bentuk finansial berupa pembagian buku bagi anak-anak secara gratis maupun dari segi jasa.

Diharapkan dengan adanya Kampus desa ini prosentase perolehan pendidikan semakin meningkat dan memperkecil angka buta huruf di kemudian hari.

Tidak berhenti di situ saja, didukung dengan adanya pihak-pihak dari Kampus Desa yang notabene mayoritas masih mempunyai status mahasiswa menjadi suatu keunggulan tersendiri untuk meminimalisir problematika yang terjadi di dalam masyarakat non produktif terutama dalam hal pendidikan. Sehingga secara tidak langsung peran mahasiswa dapat diaplikasikan ketika menangani masalah seperti ini. Diharapkan dengan adanya Kampus desa ini prosentase perolehan pendidikan semakin meningkat dan memperkecil angka buta huruf di kemudian hari. Seperti halnya sebuah lentera semangat yang dikutip dari Metropol pada 06 September 2015 dengan judul Indonesia Pintar: wajib belajar 12 tahun gratis tertera bahwa “Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan terhadap rakyatnya”.

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Nasib Dunia Pendidikan Dalam Debat Pilpres 2019

0

Saya membayangkan suatu hari ke depan, wujud pendidikan Indonesia nanti lebih baik lagi. Bagaimana siswa maupun mahasiswa sudah bisa mandiri. Sekolah dan kampus sejalan dengan pemerintah dan industri. Bukan malah berjalan sendiri-sendiri.

Kampusdesa.or.id–Pada Minggu (17/3) malam dua calon wakil presiden yaitu Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno saling beradu pandangan dalam debat calon wakil presiden di Pilpres 2019. Jika di sesi debat sebelumnya mengangkat tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme (debat pertama) serta tema Energi dan Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, dan Infrastuktur (debat kedua). Tema yang ditentukan dalam debat ketiga ini adalah tentang Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sosial, dan Kebudayaan.

Dalam lima debat yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), kali ini adalah satu-satunya debat yang hanya mempertemukan calon wakil presiden, yang digelar di Hotel Sultan Jakarta. Malam itu saya turut menyaksikan live streaming debat pilpres 2019 tahap ketiga ini. Cukup seru dan menarik.

Namun saya sebagai seorang akademisi yang pernah kerja di industri sebenarnya menanti gagasan baru terkait kebijakan untuk link dan match antara pendidikan dan dunia kerja. Berikut beberapa poin program kerja yang ditawarkan oleh kedua perwakilan paslon di bidang Pendidikan. Kubu Jokowi-Maruf Amin tampak memaparkan program-program yang sudah dijalankan presiden Jokowi di periode pertama. Program-program ini cenderung fokus lebih ke fisik bangunan (infrastruktur) seperti apa yang selama ini diprioritaskan Pak Jokowi.

Berikut program yang ditawarkan: 1. Kartu Indonesia Pindar (KIP) Kuliah; 2. Mempercepat pemerataan penyediaan sarana-prasarana pendidikan dan infrastruktur pendukungnya, termasuk untuk madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan keagamaan; 3. Memepercepat pemerataan kualitas pendidikan dengan peningkatan standar pendidikan dan BOS berdasarkan kinerja; 4. Mempercepat gerakan literasi masyarakat dengan memperbanyak perpustakaan dan taman-taman baca serta pemberian intensif bagi industri perbukuan nasional; 5. Meneruskan revitalisasi pendidikan vokasi untuk peningkatan kualitas SDM dalam mengahdapi dunia kerja.

Dikarenakan background Maruf Amin adalah seorang Kyai, beliau tidak lupa memasukan poin konsentrasi ke lembaga pendidikan agama. Sedangkan untuk upaya integrasi dengan ranah dunia kerja, paslon 01 lebih memilih memperbaiki program pendidikan vokasi yang sudah ada di Indonesia. Jadi anak-anak sekolah dididik agar mampu dan terserap di dunia industri.

Adapun di kubu Prabowo-Sandiaga Uno disampaikan bahwa program-program kerja yang dapat ditawarkan nantinya jika terpilih di antaranya: 1. Meningkatkan kualitas dan kompentensi guru, diimbangi peningkatan kesejahteraan untuk guru; 2. Mengangkat status guru honorer menjadi pegawai tetap; 3. Pendidikan tidak sekedar mengejar prestasi, tapi berbasis peningkatan kecerdasaan dan karakter moral; 4. Mengintegrasikan sektor idustri dengan pendidikan SMK untuk menciptakan lapangan kerja baru; 5. Memberikan beasiswa untuk masyarakat kurang mampu seperti anak petani, bunuh, nelayan, guru, dan santri untuk pemerataan kualitas pendidikan.

Menurut saya program-program paslon 02 lebih ideal menjawab harapan dan problematika yang memang sekarang ada di lapangan. Tim BPN cukup jeli membaca kekurangan dari pemerintahan Presiden Jokowi di periode pertama. Atau mungkin karena menampung beberpa aspirasi masyarakat yang merasakan realitas  pendidikan dan dunia kerja di Indonesia.

Calon wakil presiden RI Sandiaga Uno juga menawarkan konsep yang selama ini menjadi usulan banyak akademisi yakni adanya penggabungan (merger) antara dunia pendidikan dan industri untuk mengentaskan persoalan pengangguran di Indonesia.

Namun di sisi lain, salah satu hal yang mereka tawarkan dalam konsep link and match, yang tujuannya untuk menyelaraskan dunia pendidikan dan industri malah dinilai oleh Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Najeela Shihab sebagai solusi jangka pendek. Disebut solusi jangka pendek karena mereka hanya dilatih untuk menghadapi dunia industri saat ini, sementara perkembangan industri itu sendiri sangat dinamis.

“Karena dalam revolusi industri ini yang dibutuhkan bukan hanya keterampilan, tapi juga kemampuan beradaptasi, berpikir jitu, dan memahami informasi,” ujarnya seperti  dikutip oleh Tirto.id (19/03)

Najeela menilai pembahasan tema pendidikan oleh kedua cawapres hanya menyempitkan makna pendidikan itu sendiri. Meski begitu, pendiri Kampus Guru Cikal  ini memakluminya karena debat pilpres tak ubahnya semata-mata hanya kepentingan politik untuk menarik simpati pemilih saja. Jadi isu yang dibicarakan kurang adanya tawaran konsep berupa program pelatihan skill untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri itu lebih baik daripada dilatih untuk mencetak tenaga kerja-tenaga kerja baru.

Meski demikian saya selaku pemilih dari kalangan generasi muda, dengan harapan besar bahwa apa yang telah diutarakan dalam debat ini tidak hanya sekedar wacana belaka. Saya membayangkan suatu hari ke depan, wujud pendidikan Indonesia nanti lebih baik lagi. Bagaimana siswa maupun mahasiswa sudah bisa mandiri. Sekolah dan kampus sejalan dengan pemerintah dan industri. Bukan malah berjalan sendiri-sendiri. []

Sebelum Ibu Terpapar Radikalisme, Apa yang Seharusnya Dilakukan?

0

Terorisme telah mengambil peran keluarga. Pelaku bom bunuh diri pun telah terbukti dilakukan oleh sebuah keluarga yang melibatkan istri dan anak-anak pelaku teroris. Ketahanan keluarga menjadi soko guru bagi masyarakat. Simpul hubungan di dalam keluarga menjadi tolak ukur dalam membangun keberagamaan kritis. Situasi ini memberikan gambaran bahwa terorisme telah memasuki ruang keluarga sehingga kita perlu memagari kewaspadaan beragama bagi seluruh anggota keluarga kita agar tidak terpapar radikalisme, termasuk perempuan dan anak-anak.

Kampusdesa.or.id- Berita tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya karena unggahan status sosial media istrinya mengusik pikiran saya sampai sekarang. Meskipun berita itu sudah terjadi beberapa waktu lalu. Khalayak sudah paham sebab pencopotan itu karena mereka dinilai berujar secara tidak pantas di media sosial, terkait kasus penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto. Saya tidak membahas seputar penusukan ini lebih jauh. Saya terusik karena mereka selain istri TNI juga ibu bagi anak-anaknya. Menurut ajaran di agama saya, ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Tentu untuk menjadi sekolah bagi anaknya ibu harus memiliki sekian ilmu pengetahuan untuk mendidik anak-anaknya agar tumbuh dan berkembang baik sesuai jamannya dan tentu saja menjadi generasi unggul dalam kebaikan.

Kasus istri TNI yang notabene ibu bagi anak-anak mereka yang dinilai tidak etis dalam bersosial media ini dinilai oleh banyak kalangan bahwa mereka diduga terpapar paham radikalisme. Apa itu radikalisme? Menurut Badan Nasional Penanggulagan Terorisme (BNPT), radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Sedangkan cirinya menurut BNPT yang bisa dikenali adalah dari sikap dan paham radikal antara lain; 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Menyoal radikalisme yang pelakunya dari kaum ibu ini, saya teringat beberapa peristiwa-perstiwa berikut ini.

Peristiwa 15 Mei 2018 di Surabaya, 3 hari setelah teror bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak dalam satu keluarga, di tanggal 15 Mei saya pernah menulis status facebook yang menyoal tanyangan acara religi salah satu TV yang mana anak sulung saya heran dengan konten ajaran yang disampaikan berupa larangan ziarah ke makam wali. Stasiun TV ini beberapa hari kemudian muncul dalam pemberitaan online bahwa tayangan religinya ada yang tidak sesuai dengan aqidah keluarga saya maupun mata pelajaran di sekolah dan tentunya hampir seluruh umat Islam di negara ini. Mengingat pemberitaan ini, saya tulis dalam status facebook saya kurang lebih begini,

“Kakak, kalau lihat TV yang tayangannya tidak sama dengan yang diajarkan umi, abi, guru-guru di MI dan di TPQ, pean percaya yang diajarkan umi, abi dan guru- guru saja geh.”

Status ini saya tulis tahun 2013 lalu. Tiga tahun kemudian ada pemberitaan Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar. Gerakan ini mendadak heboh setelah seorang dokter bernama Rica Tri Handayani dan anaknya di Yogyakarta menghilang sejak 30 Desember 2015 lalu.Dokter Rica kemudian ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 11 Januari 2016. Dari hasil penyelidikan, dokter Rica diketahui adalah anggota Gafatar. Dia menjadi anggota sejak 2012. ( Liputan6.com, 20 Januari 2016). Gafatar yang diketahui sebagai organisasi yang menghembuskan ajaran sesat inipun di Jombang sudah ada titik-titik yang digunakan oleh Gafatar Jombang atau organisasi sejenis sebagai basisnya, diantaranya di desa Ngumpul, kecamatan Jogoroto, kemudian di Denanyar dan Plandi, kecamatan Jombang (Surya.co.id , 13 Januari 2016).

Betapa beratnya pendidikan keluarga dengan kepungan informasi berisi terorisme dan aliran sesat ini. Tentunya orang tua tidak boleh lengah, orang tua harus semakin membekali dirinya dengan pengetahuan agar bisa memberi penjelasan yang tepat tentang dinamika informasi, dalam hal ini radikalisme, terorisme dan aliran sesat.

Pada Minggu 13 Mei 2018 sampai Rabu (16 Mei 2018) terorisme muncul kembali setelah tragedi Kampung Melayu pada 24 Mei 2017. Mengejutkan pula karena jaringan terorist yang menyerang 3 gereja di Surabaya pengeboman tidak lagi dilakukan oleh pria, tapi juga anak dan istri. Saya terhenyak, heran dan kuatir. Begitu dasyatnya serangan terorisme mencuci otak mereka hingga melakukan tindakan yang tidak bisa dinalar akal dan tidak dibenarkan agama (membunuh dan bunuh diri ajaran manapun melarang) yang melibatkan anak dan perempuan, satu keluarga. Betapa beratnya pendidikan keluarga dengan kepungan informasi berisi terorisme dan aliran sesat ini. Tentunya orang tua tidak boleh lengah, orang tua harus semakin membekali dirinya dengan pengetahuan agar bisa memberi penjelasan yang tepat tentang dinamika informasi, dalam hal ini radikalisme, terorisme dan aliran sesat.

Keluarga memiliki peran sebagai benteng bagi pertumbuhan bibit radikalisme anak-anak muda. Data BNPT memperlihatkan lebih dari 52 persen narapidana teroris yang menghuni lembaga pemasyarakatan berusia 17-34 tahun ( A Safril, Jawa Pos, 15 Mei 2018).

Kenyataan ini membukakan mata saya, bahwa aliran sesat, radikalisme dan terorisme tidak saja ada di pemberitaan media elektronik maupun media online yang jauh dari pandangan kita, tapi kenyataannya ada di sekitar kita, di sekitar keluarga kita dan anak-anak kita. Media -media tersebut juga mudah diakses oleh keluarga kita, sehingga kita, anak-anak kita mengetahui kejadian apa saja di luar rumah termasuk gerakan gerakan yang berbau terorisme, pemikiran radikal maupun aliran sesat. O ya, menyaksikan Gafatar kala itu, lagi-lagi saya berpesan kepada anak saya.

“Kelak, kalau kalian jauh dari umi dan abi untuk melanjutkan sekolah, dan di sana ada pengajian atau kumpul-kumpul ngomong soal agama, kalau ada yang tidak sesuai dengan yang diajarkan umi dan abi atau bertentangan dengan pelajaran jaman sekolah MI, kalian tanyakan dulu kepada umi, abi atau guru- guru MI dulu.”

“Kelak, kalau kalian jauh dari umi dan abi untuk melanjutkan sekolah, dan di sana ada pengajian atau kumpul-kumpul ngomong soal agama, kalau ada yang tidak sesuai dengan yang diajarkan umi dan abi atau bertentangan dengan pelajaran jaman sekolah MI, kalian tanyakan dulu kepada umi, abi atau guru- guru MI dulu.” Saya berpesan seperti ini karena anak saya usia madrasah ibtidaiyah waktu itu. Saya berharap, pesan -pesan masa kecilnya akan diingat terus di masa yang akan datang. Saya merasa penting berpesan seperti itu, karena saya tidak tahu apa yang direncanakan oleh penyebar aliran sesat dan pemelihara sel tidur radikalisme kelak. Saya ‘njagani’ agar anak -anak punya komitmen tepat dan benar dalam menjalankan agamanya di eranya nanti. Dan kekhawatiran saya ini beralasan dengan kejadian pengeboman pelayanan publik menjadi sasaran gerakan terorisme .

Maka, 15 Mei 2018, saya tergerak mengajak kawan-kawan facebook saya dengan status seperti ini,

Tugas orang tua pada pendidikan anak, tidak saja seputar urusan akademik sekolahnya (formal, nonformal, informal) dan tata krama bermasyarakat, tapi urgen membekalinya aqidah akhlaq di tengah berhamburannya ideologi sesat, adanya bom bunuh diri, aliran sesat, organisasi terlarang yang dapat mereka saksikan kapan saja. Jangan tunggu sekolah yang bergerak, kelamaan.

Handphone adalah jendela bagi orang tua untuk mengetahui informasi lebih banyak. Jangan hanya nge-share tentang korban-korban terorist, menulis kecaman di status sosial media saja. Mari kita berbisik sayang kepada anak anak kita.

Semua orang tua sudah pegang handphone, selain untuk bisnis, “say hello’ dengan kawan nun jauh di sana, berhaha-hihi dengan komunitas. Handphone adalah jendela bagi orang tua untuk mengetahui informasi lebih banyak. Jangan hanya nge-share tentang korban-korban terorist, menulis kecaman di status sosial media saja. Mari kita berbisik sayang kepada anak anak kita.

“Anakku, kalau kalian diajak beribadah dengan berjihad lalu pahalanya dapat surga dan bidadari, maka taat pada orang tua juga ibadah, membantu sesama di sekitar kita juga ibadah, sholat berjamaah, zakat, puasa, berhaji juga ibadah. Kalau ada orang lain selain ayah dan ibu, guru kalian sekalipun mengajari kalian yang tidak sama diajarkan oleh ibu dan ayah, guru ngaji kalian, guru-guru senior kalian di sekolah, jangan percaya pada nasehat, atau pelajaran atau cerita aneh aneh tersebut ya.”

Mari lebih banyak belajar, membaca (tulisan dan situasi) agar bisa melawan radikalisme, terorisme, dan aliran sesat dari pola pendidikan keluarga. Saya juga belajar.