Rabu, Oktober 8, 2025
Google search engine
Beranda blog Halaman 61

Menyibak Intan yang Tersembunyi pada Masyarakat Desa

0

Tanpa kita sadari, seringkali kita menganggap remeh masyarakat desa. Baik kehidupannya, pola pikirnya, atau bahkan pendidikannya. Padahal ada sebuah intan yang tersembunyi yang barangkali ketika kita menyibaknya dengan sempurna, intan tersebut mampu memberikan manfaat bagi semua orang bak hujan yang mengairi seluruh alam. Intan yang dimaksud di sini adalah perihal metode belajar masyarakat desa yang tampak ringan namun padat dan berisi.

KampusDesa–Belajar, secara sederhana diartikan sebagai proses dari tidak tahu menjadi tahu. Setiap manusia melakukan usaha atau metode yang berbeda-beda dalam rangka  menambah pemahaman dan pengetahuan mereka. Berbicara mengenai metode untuk mencapai pemahaman mendalam, kebanyakan dari kita terfokus pada metode-metode yang terlalu rumit seperti olahraga otak, atau membaca secara berulang-ulang sebuah redaksi untuk mendapatkan informasi dan pemahaman secara maksimal. Namun, metode ini terkadang hanya sampai pada konsep teori dan tidak terealisasi dalam bentuk praktek yang seharusnya menjadi hasil akhir dalam proses belajar. Saat kita masih membahas tentang teori-teori tentang kehidupan, masyarakat desa telah jauh lebih dulu mempraktekkan berbagai  ilmu pengetahuan yang kita bahas di bangku-bangku pendidikan formal atau forum-forum ilmiah.

Pengaplikasian dalam kehidupan yang dimaksud pada pembahasan sebelumnya sejatinya meliputi berbagai aspek dari segi sosial budaya, bahkan bidang ilmiah dapat pula kita jumpai dalam kehidupan masyarakat desa. Sebagai contoh dari bidang pengobatan herbal, ketika pihak pemerintah Indonesia baru memulai menggalakkan kembali pemakaian obat-obat herbal kepada masyarakat Indonesia. Sementara masyarakat desa telah lama mengandalkan berbagai tanaman liar di alam untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa mereka.  Contohnya seperti daun coklat sebagai pengobatan luka, daun pepaya sebagai solusi pengobatan malaria.

Masyarakat desa telah sejak dahulu memegang nilai-nilai adat kesopanan dan mengajarkan hal-hal semacam itu sejak usia dini dalam lingkup keluarga.

Selanjutnya ketika mahasiswa membicarakan mengenai degradasi moral dan solusi dalam mengatasinya, masyarakat desa telah sejak dahulu memegang nilai-nilai adat kesopanan dan mengajarkan hal-hal semacam itu sejak usia dini dalam lingkup keluarga. Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan mengenai pentingnya mempelajari  pola kehidupan masyarakat desa yang sarat akan praktek mendalam terhadap berbagai permasalahan kehidupan yang selama ini kerap menjadi perbincangan dalam berbagai forum diskusi. Tentunya hal tersebut dapat terwujud jika kita mampu terjun langsung dan melakukan pengamatan mengenai kehidupan di desa secara langsung.

Lahir sekitar awal tahun 2000-an, penulis masih merasakan bagaimana pola pendidikan ala-lingkungan desa yang tentunya belum terkontaminasi oleh kemajuan-kemajuan dari segi teknologi atau yang kini familiar dengan sebutan pengaruh zaman milenial. Hal ini merupakan penyebab utama  yang membuat anak-anak desa mampu menyerap dengan baik berbagai informasi yang diajarkan oleh orang tua mereka. Dalam hal ini keterbatasan akses terhadap teknologi ternyata menjadi point plus untuk penerapan metode tersebut, yaitu metode bercerita. Mendengarkan cerita tentu merupakan hal yang terasa menyenangkan yang disukai oleh hampir semua orang. Metode penyampaian informasi secara menyenangkan akan membuat kita menjadi mudah untuk menerima sebuah informasi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tentu akrab dengan cerita Malin Kundang, Bawang Putih-Bawang Merah, Si Kancil, dan masih banyak lagi cerita-cerita lain yang tentu tersimpan rapi dalam memori kita.

Tentu kita pernah bertanya dalam hati mengapa cerita tersebut masih melekat walau telah bertahun-tahun lamanya tidak pernah lagi kita dengar. Satu-satunya jawaban dari pertanyaan tersebut ialah karena kita menerima cerita tersebut dengan hati lapang dan perasaan yang gembira sehingga alam bawah sadar kita ikut merekam saat cerita tersebut disampaikan kepada kita. Biasanya setelah membawakan cerita tersebut para orang tua akan menanyakan ibrah atau pelajaran yang dapat kita ambil dari cerita yang baru saja dibawakannya, kemudian ditutup dengan nasehat-nasehat untuk mencontoh maupun menghindari watak dari tokoh-tokoh dalam cerita. Seperti itulah metode pendidikan orang tua untuk menanamkan nila-niai moral bagi anak-anaknya, metode sederhana yang tidak cenderung menggurui.

Metode belajar yang hangat dan tidak kaku merupakan solusi yang dapat kita terapkan pada semua jenis cabang keilmuan.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, mari kita kembali mengambil pelajaran dari metode belajar yang diterapkan oleh mansyarakat pedesaan yang sarat akan nilai moral dan tentunya lebih menyenangkan. Metode belajar yang hangat dan tidak kaku merupakan solusi yang dapat kita terapkan pada semua jenis cabang keilmuan. Termasuk dalam bidang-bidang sains, jika kita mampu mengemas berbagai teori dan rumus-rumus rumit dalam bentuk sebuah cerita seperti  metode pendidikan yang dilakukan para orang tua kita dahulu.  Tentu hal ini dapat merubah pandangan kita tentang sains menjadi lebih menarik dan menyenangkan serta mampu untuk diingat dalam jangka waktu panjang.

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

Islam Nusantara, Ruang Tengah Moderatisme

1

Islam Nusantara merupakan pendekatan keilmuan yang tidak bisa hanya diterima sebagai kata yang memecah makna Islam. Islam nusantara adalah proses mengambil pengalaman perkembangan Islam ke Indonesia yang didasari oleh pengetahuan etnografi, antropologi, dan sosiologis. Bahkan Islam kemudian menjadi sebuah fakta yang dipahami dalam kerangka pengalaman yang paling fleksibel dalam ranah budaya hingga menghasilkan sebuah pemahaman Islam yang utuh di Indonesia.

KampusDesa– Menyerang istilah Islam nusantara dengan kecurigaan, bahkan dianggap sebagai mazhab baru atau bagian dari Islam liberal itu sendiri adalah reaksi kontra ideologis yang muaranya terletak pada perbedaan kepentingam dan kelompok agama. Apakah kontra wacana terhadap Islam nusantara merupakan konsekuensi terhadap cara pembid’ahan dan pengingkaran terhadap kajian-kajian pemahaman kontekstual Islam dalam persepktif lintas kawasan, historiografi perkembangan Islam Indonesia dan antropologi kehidupan yang turut serta dimaknai sebagai bagian memahami Islam melampaui doktrin-doktrin yang ada.

Islam nusantara harus terus diusung agar tidak terjadi framing yang semata bernilai ideologis, seolah kepentingan NU saja karena memang diktum Islam nusantara muncul ketika Muktamar NU di Jombang 2015. Selain itu tidak juga diframing  anti-NU kedalam pentaqdisan (penyucian/purifikasi) keagamaan. Islam nusantara dikatakan tidak pernah ada dan hanya katabelece dari NU saja. Islam hanya satu, maka kalau ada Islam nusantara berarti itu menyimpang dari Islam itu sendiri. Ini salah satu serangan terhadap wacana Islam nusantara yang sebenarnya serangan itu lebih bersifat kontra-framing untuk saling berebut pengaruh.

Meski geger Islam nusantara tidak lagi terlalu kuat tapi rekam jejak digital masih menyisakan tracking Islam nusantara yang dianggap keluar dari keaslian Islam. PC Lakpesdam NU Kota Malang, LTNU Jawa Timur, Pusat Studi Pesantren dan Peradaban Universitas Brawijaya dan Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah Situbondo masih merasa perlunya menelaah lebih klir Islam nusantara. Kamis, 28 Februari 2019 bertempat di gedung layanan bersama Universitas Brawijaya Malang, Islam Nusantara dibeberkan dengan apik dari berbagai telaah disiplin keagamaan yang berbeda-beda. Tujuannya untuk memberikan suguhan bahwa secara akademik, Islam nusantara dapat dibeberkan dengan telaah historiografi, antropologi, sosiologi, dan bahkan politik.

Khazanah Islam Nusantara perlu didudukkan dalam studi lintas kawasan karena tidak bisa dipungkiri, sejak 15 tahun setelah Rasulullah wafat, terdapat perkampungan muslim di seputaran Aceh. Ini membuktikan adanya ketersambungan Arab dengan nusantara. Persamaan Arab Aceh adalah bukti adanya pergeseran lintas kawasan agama Islam dari Arab ke Aceh. Inilah babak baru Islam nusantara, jelas KHR Azaim Ibrahimy M.Hi, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Tidak relevan jika Islam nusantara dianggap sebagai mazhab baru atau model lain Islam liberal. Oleh karena itu Islam nusantara pun dikembalikan ke model pemahaman akademik ketimbang digadang-gadang sebagai kepentingan NU saja atau politik.

Menurutnya, problematika Islam Nusantara perlu diperjelas kedalam dua hal. Secara ushuli, Islam nusantara memiliki akarnya di Indonesia karena ada dukungan budaya, akademik, kajian keilmuan termasuk bukti-bukti historis, arkheologis dan berbagai manuslrip yang dapat menjadi bukti otentik bahwa perkembangan Islam nusantara didukung oleh berbagai bukti peradaban dan kebudayaan. Ruang ini akan lebih orisinil dan otoritatif secara akademik untuk menjelaskan kebutuhan terhadap penghadiran Islam nusantara. Jadi Islam nusantara adalah sebuah pendekatan kajian untuk memahami konteks persebaran Islam Indonesia, bukan ajaran baru Islam. Tidak relevan jika Islam nusantara dianggap sebagai mazhab baru atau model lain Islam liberal. Oleh karena itu Islam nusantara pun dikembalikan ke model pemahaman akademik ketimbang digadang-gadang sebagai kepentingan NU saja atau politik. Menurut Azaim, Islam nusantara lebih baik jika dikembalikan pada akar sejarah, perkembangan, budaya, yang memang bisa didekati menggunakan bahasa ilmu ketimbang menjadi proyek politik kekuasaan. Azaim justru pesimis dan tidak menguntungkan jikalau Islam nusantara jatuh pada kepentingan ideologis dan politis.

Ahmad Tohe mengajak untuk turut mengembangkan Islam nusantara melampaui tataran ideologis, yakni berpijak melalui acuan ilmiah, akademis dan metodologis sehingga Islam nusantara akan melahirkan narasi komprehensif yang bisa dipertanggungjawaban secara keilmuan dan keagamaan sebagai praktik beribadah.

Beda lagi menurut Ahmad Tohe, pakar tafsir lulusan Amerika ini justru menempatkan Islam nusantara lahir dari proyek ideologis. Ideologis dalm konteks kepentingan NU untuk menjaga Islam dari rongrongan kelompok fanatik dan berimplikasi pada perebutan negara dari dasar konstitusi yang sudah purna dengan ideologi Pancasila. Frasa itu diusung saat muktamar NU Jombang 2015 dan melahirkan reaksi dari kalangan luar NU. Tentu basis pertentangannya lahir dari kelompok yang tidak paham atau tidak sepaham. Oleh karena itu, Islam nusantara harus dinaikkan ke tingkatan yang lebih akademis dan metodologis sehingga Islam nusantara tidak rapuh dalam pembicaraan jargon saja. Memang, secara masif Islam nusantara hanya dipahami sebagai jargon dan direaksi berdasarkan sudut pandang penuh prasangka dan pertentangan ideologis sehingga yang berkembang di kelompok penentang pun dikomodifikasi sebatas jargon dan kecurigaan-kecurigaan, persis seperti menentangkan ziarah kubur, slametan dan sebagainya yang identik dengan bid’ah dan sejenisnya. Padahal secara teoritis, sejumlah buku tentang Islam nusantara sudah beberapa dipublikasikan. Di situ, konseptualisasi Islam nusantara menjadi lebih ilmiah dan mendapatkan pemahaman komprehensif. Ahmad Tohe mengajak untuk turut mengembangkan Islam nusantara melampaui tataran ideologis, yakni berpijak melalui acuan ilmiah, akademis dan metodologis sehingga Islam nusantara akan melahirkan narasi komprehensif yang bisa dipertanggungjawaban secara keilmuan dan keagamaan sebagai praktik beribadah.

Islam Nusantara, Islam Lentur dalam Dakwahnya

Menarik menyimak Muzamil Qomar, Profesor dari IAIN Tulungagung, menyatakan bahwa Islam nusantara sebagai sebuah pendekatan, bukan sebagai agama baru. Jika ada yang menyerang Islam nusantara sebagai gagasan liberal dan penuh dengan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) maka anggapan tersebut pun salah kaprah. Muzamil menandaskan, secara historis, perkembangan Islam Nusantara tidak serta-merta sama dengan Arab, terutama paska Nabi wafat, Islam di Arab lebih banyak bertumpu pada pergolakan Aqidah sehingga mudah geger, bahkan melahirkan perang karena memang pendekatan Aqidah lebih kaku.

Islam nusantara justru menemukan formula perkembangannya. Islam lebih lentur karena melebur kedalam pendekatan tradisi. Suatu contoh perjumpaan Islam dalam kebudayaan Jawa, seperti Wayang, munculnya aneka tembang Jawa, Lir Ilir, dan aneka gubahan artistik menjadi salah satu cara berdakwah adalah produk Islam nusantara. Bahkan lebih familier dan setara. Contohnya pertunjukan wayang dari Sunan Kalijaga boleh ditonton siapapun, tua-muda, rakyat biasa, priayi, agama apaun boleh menonton. Mereka semua itu hanya mengambil tiket mengucapkan kalimat syahadat saja sudah boleh menonton wayang secara bebas. Tegas Muzamil Qomar.

Pendekatan tradisi dan kebudayaan menciptakan penyampaian ajaran Islam menjadi diterima secara fleksibel, lembut dan bersifat menghibur serta artistik karena diakui masyarakat sudah memiliki karakteristik berbudaya dan bertradisi.

Jejak ini membuktikan bahwa perkembangan Islam memiliki ritme yang mencair dan tidak kaku. Pendekatan tradisi dan kebudayaan menciptakan penyampaian ajaran Islam menjadi diterima secara fleksibel, lembut dan bersifat menghibur serta artistik karena diakui masyarakat sudah memiliki karakteristik berbudaya dan bertradisi. Sebagai agama baru, maka proses penyampaiannya butuh metamorfosis kognitif yang bersifat substansial daripada simbolik dan memaksa. Berbeda dengan pendekatan yang mengutamakan penyampaian aqidah hitam putih dan sering menjadi saling berbenturan dengan keyakinan asal masyarakat. Upaya ini menurut Muzammil Qomar bisa dilihat dari perbandingan sekulerisasi Kemal Attatruk Turki yang gagal karena meninggalkam tradisi dengan pemisahan agama dan negara. Dan barangkali tak pernah mencoba mendialogkan anchor (jangkar) tradisi dengan agama seperti Islam Indonesia

Berbeda dengan Jepang yang menempatkan tradisi sebagai penopang kebudayaan dan kemajuan. Tradisi menjadi jangkar (anchor) perubahan dan kemajuan Jepang. Tradisi mengikat masyarakat kedalam ketahanan dan mentalitas yang kokoh untuk tetap meneguhkan semangat juang dan kemajuan. Nah Indonesia, menurut Guru Besar IAIN Tulungagung, memiliki polarisasi perkembangan keislaman yang berakar pada tradisi. Penyampaian juga berusaha untuk tetap menjaga tradisi pada proses menyesuaikan perubahan termasuk penyampaian Islam sebagai agama yang datang kemudian.

Ruang Tengah Tradisi, Cara Menemukan Otentisitas Islam Nusantara yang Moderat

Beradasarkan realitas tersebut maka ulama atau para kyai kemudian melahirkan kata-kata bijak, al muhafadhotu ‘ala qodhim al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Di sinilah Islam Indonesia akan selalu mampu mermetamorfosis dengan perubahan karena tetap mampu menjadikan tradisi sebagai kekuatan dalam peradaban Islam Indonesia. Islam nusantara dengan demikian adalah metodologi yang disandarkan kepada proses etnografis. Suatu penyampaian Islam yang menghargai lokalitas dan mencari nilai-nilai atau siasat yang bisa didialogkan sehingga memiliki nilai-nilai yang bisa dipertemukan, lantas Islam mengambil kekuatan baru dari hasil-hasil dialog tersebut tanpa meninggalkan tradisi yang sudah dipraktikkan masyarakat setempat. Ketika nilai-nilai itu diterima, kesamaan keimanannya bertemu, maka simbolisasi keislaman dilekatkan kemudian berdasarkan pada tanda-tanda lokalitas juga. Suatu  contoh sederhana, slametan. Dialog nilai dibangun berdasarkan spirit slametan itu sebagai doa untuk sebuah hajatan. Maka pengakuan doa itu tetap dipelihara karena realitas doa adalah anchor yang sudah mapan dan dipraktikan dalam berbagai budaya setempat. Kepercayaan yang menjangkar tersebut sulit digeser.

Kosa kata Islam kemudian menjadi praktik-praktik berbahasa yang mudah dikenali dan dengan demikian dapat dikapitalisasi sebagai bagian dari pilihan berbahasa. Ketika bahasa tersebut kemudian mendapat kekuatan otoritatif, maka bahasa itu diperluas maknanya bagi masyarakat setempat sehingga akan mudah diterima.

Melalui perjumpaan nilai kepercayaan, Islam Indonesia mencoba menemukan substansi kepercayaan dan tradisi tersebut dipinjam sebagai media yang tetap mampu menghubungkan doa dengan nalar kemanusiaan penduduk setempat. Ketika momentum hubungan kemanusiaan tersebut mendapat tempat dalam praktik-praktik tradisi, maka pesan keislaman mencoba disertakan untuk membedakan dengan bahasa keyakinan masyarakat setempat tanpa menggeser secara langsung, tetapi dipersandingkan agar bahasanya lebih akrab. Islam kemudian menyumbangkan keragaman kosa-kata kepercayaan. Persandingan ini kemudian diperkuat dengan tetap menjadikan tradisi lokal sebagai wadahnya. Kosa kata ini kemudian menambah khazanah bahasa-bahasa lokal yang ketika mendapat momentum, maka perpindahan kosa-kata itu menjadi lebih dialogis. Kosa kata Islam kemudian menjadi praktik-praktik berbahasa yang mudah dikenali dan dengan demikian dapat dikapitalisasi sebagai bagian dari pilihan berbahasa. Ketika bahasa tersebut kemudian mendapat kekuatan otoritatif, maka bahasa itu diperluas maknanya bagi masyarakat setempat sehingga akan mudah diterima.

Inilah Islam nusantara menjadi salah satu pendekatan untuk memahami percaturan Islam Indonesia yang syarat dengan pendekatan-pendekatan antropologis, bukan pendekatan syar’i yang menutup formulasi dialog dengan tradisi setempat. Islam Nusantara tidak menyingkirkan lokalitas dengan serakah dan agresif tetapi memasukan ruang tengah dialektika kemasyarakatan. Adanya ruang tengah ini berarti menempatkan lokalitas sebagai sebuah subyek yang memiliki daya cipta dan pewarisan tradisi. Mereka terikat pada kebermaknaan atas praktik-praktik kepercayaan yang dipilih. Oleh karena itu ruang tengah tersebut dipahami sebagai bagian dari proses perjumpaan antara Islam sebagai agama pendatang dengan bahasa kepercayaan yang berbeda dengan lokalitas.

Ruang tengah kemudian dimanfaatkan untuk mendengar bahasa lokal dan memilah-milah bahasa Islam secara tepat untuk dipersandingkan agar supaya mampu menciptakan bahasa komunikasi yang lembut dan mencair dalam kepercayaan lokal yang lebih dulu mapan. Bahasa Islam itu seperti pasar yang ditransaksikan dalam relung mentalitas tradisi lokal. Lalu dibangunlah proses-proses otoritatif dari pada pendakwah, seperi para wali dan diperkaya oleh kiai NU. Ketika bahasa Islam yang selaras dengan makna dasar dari masyarakat setempat diperkokoh melalui otoritas dari figur-figur masyarakat, yang biasanya selalu dimiliki oleh para wali dan kiai maka bahasa itu direproduksi dengan praktik-praktik tradisi lokal sedemikian sehingga masyarakat tetap memiliki hak milik tradisi. Dengan begitu ruang tengah menjadi transaksi bahasa Islam yang lebih menghargai makna lokal sebagai hak milik dan bahasa Islam menjadi bagian dari proses evolusi kedalam mentalitas lokal. Tradisi kemudian tetap ditempatkan sebagai jangkar keislaman tetapi dengan transformasi pembaruan simbolisasi baru dengan penambahan kosa-kata keislaman.

Aspek-aspek budaya dan pengalaman hidup masyarakat terpadu menjadi pendekatan penyebaran Islam yang lebih inklusif. Penyebaran Islam dengan demikian lebih mengutamakan model-model dialogikalitas.

Islam nusantara dengan demikian tidak cukup mampu dipahami tanpa membangun sudut pandang multidisipliner karena pengalaman penyebaran Islam tidak dipungkiri memasuki persinggungan antara kepercayaan Islam dengan kepercayaan lokal. Selain itu, aspek-aspek budaya dan pengalaman hidup masyarakat terpadu menjadi pendekatan penyebaran Islam yang lebih inklusif. Penyebaran Islam dengan demikian lebih mengutamakan model-model dialogikalitas. Sebuah praktik komunikatif antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai lokal. Dialogikalitas ini memberikan ruang pengaruh yang lebih otoritatif karena dibangun berdasarkan kekuatan kesepahaman kemanusiaan daripada pemaksaan keimanan.

Islam menjadi konstruksi makna, bukan pada penerimaan yang bersifat doktriner. Artinya, ruang tengah yang melahirkan komunikasi budaya lebih tertuju pada kemampuan menempatkan kepercayaan Islam sebagai ekspresi yang ditaruhkan kepada budaya setempat sehingga pengakuan lokalitas adalah pengakuan harga diri masyarakat ketimbang menyerang dan menyingkirkan harga diri masyarakat lokal. Suatu contoh sebagaimana yang disampaikan oleh Muzamil Qomar, dalam tembang Lir-Ilir, Sunan Bonang tetap menempatkan ekspresi kesenian lokal sebagai harga diri kebudayaan sementara konten ekspresi tersebut digubah menjadi lebih bernilai keislaman. Bahkan lebih ekstrem, pelafalan bismillah dengan lidah jawa smillah pun dapat diterima dengan otoritatif oleh para salih dan wali serta kyai. Asalkan substansinya menuju pada keimanan Allah, penuturannya dengan logat lokal pun menjadi begitu diterima. Inilah penghargaan lokalitas menjadi dihargai secara manusiawi. Ya karena logat itu tidak bisa dipaksakan karena ekspresi bahasa tidak lain merupakan logat budaya yang sulit diubah seketika.

Kita bisa menqiaskan (membandingkan) lagu Rhoma Irama. Rhoma banyak menggubah lirik lagu India menjadi lagu dangdut dengan bahasa Indonesia sehingga irama India tersebut dijadikan sebagai ekspresi lagu sementara kontennya diisi dengan semangat-semangat keagamaan dengan bahasa keindonesiaan. Pembandingan ini yang saya sebut sebagai ruang tengah, bahwa ekspresi budaya tidak ditanggalkan tetapi diambil dan dimanfaat menjadi wadah bagi gubahan-gubahan konten sehingga makna dan ekspresi budaya tetap menyatu dalam gubahan bahasa baru.

ISLAM NUSANTARA SAYA SEBUT SEBAGAI RUANG TENGAH YANG MENGAPRESIASI EKSPRESI TRADISI. RUANG TENGAH ITU MENJADI TEMPAT DIALEKTIKA YANG SALING MENCERAHKAN. KETIKA SITUASI SALING TERBUKA, MAKA PESAN KEAGAMAAN DIMAINKAN DENGAN SANGAT INKLUSIF DAN MENGAMBIL SIMPATI LOKALITAS SEHINGGA KESAN YANG RAMAH TETAPI SUBSTANSIAL ITU MEMBAWA PERUBAHAN TERHADAP PROSES BERIMAN SESEORANG. ISLAM NUSANTARA MENJADI SEBUAH PENDEKATAN YANG MODERAT KARENA TIDAK MEMINGGIRKAN PENDUDUK LOKAL, TETAPI MENEMPATKAN PENDUDUK LOKAL YANG TELAH MEMILIKI TRADISI DAN KEBUDAYAAN YANG DIHARGAI. PESAN KEAGAMAAN KEMUDIAN DITEMPATKAN KEDALAM DIALOG KEMANUSIAAN DENGAN MAKNA YANG LEBIH EMPATIK TETAPI MUDAH DITERIMA DARIPADA DOGMATIK DAN AGRESIF.
TULISAN INI TELAH DIMUAT LEBIH DULU DI TASAMUH.ID DAN DIPOSTING ULANG DI KAMPUSDESA UNTUK PENAMBAHAN PENGETAHUAN WAWASAN KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN.

Membumikan Keadilan dalam Keseharian

0

Keadilan tidak hanya hadir dalam sebuah perkara hukum dan ada di pengadilan. Keadilan berlaku dalam keseharian. Adil tidak hanya pada orang, tetapi adil juga menyangkut perilaku kita terhadap cara kita hidup. Perilaku yang cenderung mendatangkan kerusakan, sekecil apapun, itu adalah alamat cikal bakal lahirnya ketidakadilan. Misalnya membuang sampah sembarangan, bisa menjadi bagian dari

KampusDesa―Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi prinsip keadilan. Terdapat banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadits yang menekankan kepada umat Islam untuk senantiasa berlaku adil. Bahkan juga dikatakan, adil akan mendekatkan seorang muslim pada ketakwaan. Orang yang bertakwa akan menjadi manusia paling mulia di sisi Tuhannya.

jika keadilan benar-benar dijadikan pandangan dunia dan landasan hidup, konflik-konflik sosial-kemanusiaan yang menjamur hari ini tidak akan terjadi. Perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagian hidup tidak akan menjadi sebuah retorika kosong belaka.

Namun sayang, prinsip dan ajaran fundamental ini justru kurang dipedulikan umat Islam. Padahal, jika keadilan benar-benar dijadikan pandangan dunia dan landasan hidup, konflik-konflik sosial-kemanusiaan yang menjamur hari ini tidak akan terjadi. Perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagian hidup tidak akan menjadi sebuah retorika kosong belaka.

Secara sederhana, adil dapat diartikan “menempatkan sesuatu pada tempatnya,” lawannya adalah zalim, yang artinya “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.”

Pengertian sederhana ini akan mempermudah kita untuk menakar apakah kita sudah berlaku adil atau belum. Atau jangan-jangan kita justru sudah berlaku sebaliknya, yaitu zalim. Merujuk pada pengertian ini, suatu perbuatan tidak harus bengis dan kejam untuk disebut zalim. Tapi, perbuatan apa saja yang memposisikan sesuatu tidak pada tempatnya dapat dikategorikan sebagai zalim.

Membuang sampah sembarangan, tidak menyirami tanaman, tidak merawat kebun, tidak merawat hewan peliharaan dengan baik, berkata kasar kepada orang lain, bohong, dan sebagainya juga merupakan bentuk dari kezaliman.

Bentuk-bentuk sederhana ini yang seringkali luput dari kesadaran kita. Keadilan dan kezaliman kita pahami sebagai konsep yang melangit. Padahal, perwujudan keduanya amat membumi. Sebagai pelajar misalnya, kita akan disebut pelajar yang adil jika kita bersedia dengan sungguh-sungguh melaksanakan tugas utama kita, yaitu belajar. Sebaliknya, jika kita mengabaikan tugas utama ini dan justru menenggelamkan diri dalam aktivitas lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan belajar, berarti kita telah menjadi seorang pelajar yang zalim. Konsep ini berlaku pada apapun peran kehidupan yang kita miliki.

Keadilan tidak hanya bertempat di pengadilan dan seputar penegakan hukum saja. Keadilan bertempat di semua sudut aktivitas hidup kita. Karenanya, sudah sewajarnya keadilan kita jadikan sebagai pondasi dan paradigma dalam menjalani hidup ini.

Keadilan tidak hanya bertempat di pengadilan dan seputar penegakan hukum saja. Keadilan bertempat di semua sudut aktivitas hidup kita. Karenanya, sudah sewajarnya keadilan kita jadikan sebagai pondasi dan paradigma dalam menjalani hidup ini. Dengan demikian, kebahagiaan yang kita dambakan dan impikan tidak sulit untuk diwujudkan. Baik itu kebahagiaan dunia yang fana, maupun kebahagian akhirat yang kekal.

Satu di antara indikator apakah kita sudah adil atau belum dalam menjalani hidup adalah dengan melihat bagaimana kita memaknai hidup ini dan bagaimana kita memposisikan semua komponen-komponennya.

Jika kita memaknai hidup sebagai tujuan utama, maka kita telah menzalimi diri kita sendiri. Cara pandang yang demikian ini akan mengakibatkan kita terjerumus ke dalam kebahagiaan yang sejatinya hanya fatamorgana belaka. Kita akan mengerahkan segala daya upaya hanya untuk memperturutkan nafsu belaka. Akibatnya, kita akan gila harta dan tahta.

Padahal dalam agama kita telah jelas diajarkan, bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan sebagai sarana untuk mengumpulkan bekal di kehidupan berikutnya. Yaitu saat kita kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, tujuan utama kita bukanlah hidup ini, melainkan kehidupan berikutnya di mana kita akan bersua dengan-Nya.

Ketidakadilan dalam memahami hidup inilah yang menjadi bidang bagi lahirnya berbagai konflik kehidupan. Ia akan menyebabkan manusia terjebak egoisme, keserakahan, kedengkian, dendam, syirik, ambisi yang berlebih, dan berbagai perilaku negatif lainnya. Naudzubillah min dzalik.[]

Sukimin Radja (2) Jiwa Kepemimpinan yang Selaras dengan Profesinya

0

Menjadi pemimpin sebaiknya berprinsip. Keteguhan pada prinsip menopang integritas diri. Bahkan jiwa kepemimpinan adalah tanggung jawab agar setiap orang yang mampu, akan dapat mengurus negeri ini, Kata Sukimin Radja. Menjadi pemimpin jangan suka mengunggul-unggulkan diri. Kata Dia, “bila dicar, barulah (dirimu) muncul. Bila ditunjuk, barulah (dirimu) mengiyakan. Hal ini sesuai dengan asas kepatuhan, seperti pepatah Bugis, mappasikoa atau mappasitinaja.

KampusDesa– Pria beranak tiga, yakni: Agusdiwana Suarni SE MAcc, Putri Dwi Suarni SSi SPd, dan AA Sutadi Saputra, ini memiliki semboyan unik. Senyumlah kepada semua orang, namun bukan kepada sembarang orang. Kepada putra-putrinya, Sukimin selalu menanamkan jiwa sosial dengan cara berorganisasi.

Sukimin memang dikenal memiliki kepekaan kepada sesama semenjak kecil. Ia pernah mengikuti pramuka. Bergabung dengan pramuka menciptakan sensasi tersendiri baginya. Kepemimpinannya terasah sekaligus teruji. Sebabnya, ia selalu menghadapi teman-temannya dengan berjuta karakter yang unik.

Integritas dan loyalitas sebagai kunci kepemimpinan senantiasa dijunjung tinggi olehnya.

Nah, di sinilah seorang pemimpin perlu memiliki seni memimpin. Misalnya dengan berlaku sabar, ikhlas, jujur, mampu menjadi teladan bagi sesama. Integritas dan loyalitas sebagai kunci kepemimpinan senantiasa dijunjung tinggi olehnya.

Dalam memimpin, pria pengidola Jenderal Yusuf ini senantiasa membaur, membersamai semuanya, berkomunikasi efektif, juga memberikan motivasi dan solusi. Contoh sederhana namun nyata: saat bepergian, bawahan perlu tahu. Bila bawahan memerlukan, kita haruslah ada di tempat.

Hingga kini, ia masih suka berorganisasi. Salah satunya ditunjukkan dengan menjadi dewan penasihat Masjid Abu Bakar di Perum Graha Surandar Permai, Paccinongang, Gowa.

Seorang pemimpin itu haruslah senantiasa menjunjung tinggi kejujuran dan kesucian hati.

Berbicara kepemimpinan, Sukimin menganut filosofi kepemimpinan ala Bugis. Pertama, taro ada taro gau. Maksudnya, satunya perkataan dan perbuatan. Pemimpin perlu berhati-hati saat berbicara, berpikir mendalam sebelum berkata dan bertindak. Kedua, duami kuala sappo, unganna panasa’e, belo kanukue. Terjemahan secara harfiah: dua hal yang kujadikan pagar, yaitu: bunga nangka dan hiasan kuku. Maknanya, seorang pemimpin itu haruslah senantiasa menjunjung tinggi kejujuran dan kesucian hati. Hati yang bersih atau hati suci ini; dalam terminologi Bugis dikenal pula dengan sebutan ati macinnong atau ati madeceng.

Ketiga, eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau. Ma’eppana, moloi ada na padapi. Mutiara ini tercantum di dalam lontara paseng toriolota. Maknanya, ada empat karakteristik orang berhati suci/baik; mengucapkan kebenaran (kata-kata yang benar), menyampaikan kewajaran (kata-kata yang wajar), menunjukkan kewibawaan (menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang sopan, santun, penuh kelemahlembutan), mengimplementasikan (melakukan perkataannya di kehidupan sehari-hari dan mencapai sasaran).

Kearifan lokal Bugis ini mengajarkan kepada kita untuk tidak serakah menduduki jabatan tinggi atau terlalu berambisi terhadap posisi tertentu.

Keempat, aja’ muangoai onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau. Kearifan lokal Bugis ini mengajarkan kepada kita untuk tidak serakah menduduki jabatan tinggi atau terlalu berambisi terhadap posisi tertentu. Jangan sampai dirimu tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah (dirimu) muncul. Bila ditunjuk, barulah (dirimu) mengiyakan. Hal ini sesuai dengan asas kepatutan. Istilah Bugisnya, mappasikoa atau mappasitinaja. Kelima, maccai na malempu, waraniwi na magetteng. Artinya, cendekia (cerdas) serta jujur, berani serta teguh pendirian. Kelima filosofi ini senantiasa diimplementasikan Sukimin di dalam kehidupan sehari-hari.

Jiwa Petualang Berbuah Bintang

Sukimin memiliki tempat tugas yang berpindah-pindah. Inilah yang menjadikan jiwa petualangnya semakin terasah. Tahun 1982-1991, ia bertugas di Polres Pangkep. Tahun 1991-1997, ia berdinas di Polres Bulukumba. Tahun 1997-1998, ia menempuh Pendidikan Setukpa di Sukabumi. Tahun 1999-2000, ia ditugaskan di Polres Bantaeng. Tahun 2001-2003, ia mengabdikan diri di Polres Jeneponto. Tahun 2004-2013, ia kembali berkantor di Polres Bulukumba. Tahun 2013-2018, ia menjadi guru bagi polisi di SPN Batua Makassar.

Pencapaian karir Sukimin boleh dikatakan gemilang. Saat menjadi AKP (Ajun Komisaris Polisi) di tahun 2004, pria bersahaja ini menduduki beberapa posisi penting, misalnya: Kapolsek Gangking Polres Bulukumba (tahun 2004 – 2006), Kasat Sabhara Polres Bulukumba (tahun 2006 – 2008), Kapolsek Ujungloe Polres Bulukumba (tahun 2008 – 2010), Kapolsek Gantarang Polres Bulukumba (tahun 2010 – 2013).

Menjadi Kapolsek tentunya memiliki dinamika kehidupan tersendiri. Ada kalanya bersuka, ada masanya berduka. Kekalutan pikiran terutama saat menghadapi kasus pembunuhan dan demonstrasi massa. Ketika itulah pria penyuka film Rhoma Irama ini mencurahkan segenap pikiran, tenaga, dan waktunya untuk berkoordinasi dengan semua pihak.

Keberuntungan rupanya senantiasa memihak Sukimin. Hal itu terbukti dari saat ia mendapatkan amanah berupa kenaikan pangkat menjadi Kompol dan AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) Gadik Muda SPN Batua Polda Sulawesi Selatan pada tahun 2013 hingga tahun 2018. Pada tahun 2018, Sukimin memasuki masa purnawirawan. Periode purnatugas bukan berarti bebas, melainkan ia semakin bersemangat di dalam melayani rakyat serta mengabdikan diri kepada masyarakat.

Roda kehidupan senantiasa berputar. Terkadang berada di atas, terkadang berada di bawah. Momentum emas perjuangan hidup Sukimin dirasakan saat menerima penghargaan Bintang Nararya dalam upacara yang dirangkaikan dengan HUT Bhayangkara di Mapolda Sulawesi Selatan. Peristiwa bersejarah dalam kehidupan Sukimin yang dihadiri ribuan peserta upacara beserta tamu undangan itu terjadi pada tanggal 1 Juli 2014.

Virginia, Aku Mencintaimu seperti Aku Mencintai Regina dan Zakiyah

0

Perdebatan boleh dan tidak perayaan Valentin, dipengaruhi oleh sejarah Valentin yang berkembang menjadi prasangka keagamaan. Lebih dari perdebatan tersebut, kasih sayang menjadi modal hubungan kemanusiaan yang harmoni. Apakah pelarangan tersebut akhirnya melupakan pesan kasih sayang? Valentin perlu dimaknai lebih merdeka, bukan tentang impor, apalagi diperkeras dengan sentimen agama

KampusDesa– Seperti biasa, dia langsung saja masuk rumah. Tapi hari itu terlihat ada yang lain di wajahnya. Ada semacam guratan kekhawatiran dan kebingungan. Saya menyambut dan menyapanya seperti hari-hari sebelumnya. Dia hanya melihatku dengan diam. Tampak sekali ada sesuatu yang ingin dikatakan. Bahkan saat dia duduk di sampingku, dia hanya bungkam.

“Ada apa?,” tanyaku dengan lembut. Dia tetap diam. Tapi kegalauannya akhirnya memberi tenaga padanya untuk membuka mulut dan mengeluarkan suara.

“Kita tidak boleh merayakan Valentine. Kita tidak boleh mengucapkan ‘Selamat Valentine!,” ucapnya dengan muka cemberut yang bimbang.

Aku mengusap lembut rambutnya, memeluknya dan mengujaninya dengan ciuman. Sekalipun diam, jelas sekali dia menyukainya. Biasanya dia akan memnbalas pelukanku, bahkan menyodorkan pipinya untuk mendapatkan lebih banyak ciuman dariku. Tapi hari itu, dia tampak ragu, tidak tahu harus berbuat apa dengan limpahan cinta dariku.

Aku sudah bisa menduga apa yang terjadi. Sebagai seorang ayah, aku tahu ketika anakku mengatakan sesuatu sepulang sekolah. Hampir pasti, dia baru saja mendapatkan “didikan” tertentu di sekolahan, baik dari gurunya maupun teman sekolahnya. Hari itu adalah 14 Februari, Hari Valentine. Ketika dia datang dari sekolah dan mengatakan bahwa kami tidak boleh merayakan Valentine, aku memastikan itulah didikan yang dia dapatkan di hari itu.

Aku bertanya pelan, “Mengapa kita tidak boleh merayakan Valentine?”

Dia kemudian bercerita bahwa gurunya melarang siswa-siwa untuk merayakan Valentine karena kita seharusnya menyayangi orang setiap saat, bukan hanya di Hari Valentine, dan Valentine itu bukan budaya kita. Penjelasan yang tidak sedikit pun membuatku kaget karena itulah yang biasa kita dengar.

Aku tidak meresponnya secara langsung. Aku membiarkan waktu berlalu agak lama hingga keriangan kanak-kanaknya muncul kembali. Kami kemudian bermain, bercengkerama, berpelukan, dan melakukan apa saja sebagai wujud kami saling mencintai. Seharian aku melimpahinya cinta dan kasih sayang.

Saat menjelang tidur, seperti biasa, aku memberikan sebelah lenganku untuk menjadi bantalnya, dan tanganku yang lain mengusap-usap punggungnya. Saat akrab seperti itu, aku katakan padanya:

“Virginia, kita tidak harus saling mengucap sayang, karena yang lebih penting adalah kita saling menyayangi. Kita memang harus saling menyanyangi setiap saat, tidak hanya di hari Valentine. Kita juga harus memberi cinta dan sayang kepada siapa saja setiap saat.”

Tanganku tetap mengusap punggungnya dengan lembut.

“Nah, sekarang camkan! Jika kita harus saling menyayangi setiap saat, lalu mengapa kita tidak boleh mengucap sayang di tanggal 14 Februari? Itu sama seperti kita harus mencintai mama setiap saat tanpa harus melarang peringatan Hari Ibu.” Sesekali kurasakan geliat tubuhnya.

“Valentine memang bukan budaya kita. Tapi, lihatlah apa yang melekat pada tubuh kita, barang-barang di sekitar kita, hingga kebiasaan harian kita. Apakah semua berasal dari budaya kita?

Tidak, Virginia! Dalam hidup, kita belajar dari banyak tradisi. Ambil kebaikannya dan campakkan keburukannya, tak peduli dari mana pun datangnya. Kita akan menjadi manusia yang miskin budaya jika kita hidup dengan sikap tertutup. Kita menjadi berkembang karena diperkaya melalui persentuhan dengan budaya orang lain.”

Aku tidak tahu apakah dia tidak paham atau tidak dengan penjelasanku.

“Jika yang mereka khawatirkan adalah perbuatan dosa, tak perlu Valentine untuk menemukan dosa-dosa. Ketika papa selalu mengucapkan ‘Selamat Valentine’ ke kamu setiap tanggal 14 Februari, papa hanya ingin memiliki momentum untuk memperbarui cinta dan sayang papa ke kamu. Papa mencintai kamu seperti papa mencintai kakak Regina dan mama.”

Ketika akhirnya aku berhenti bicara, aku lihat dia sudah tertidur pulas. Aku yakin dia mungkin hanya sanggup mendengar dua kalimat pertama sebelum pada akhirnya tertidur. Tidak mengapa, aku hanya ingin mendidiknya agar tidak mengharamkan kasih sayang, agar dia tumbuh dengan mencintai orang-orang di sekelilingnya.

Aku juga tidak kuat menahan kantuk. Sebelum tidur, aku berdoa: “Ya Allah, jangan jadikan anakku sebagai manusia pembenci yang bangga menyerang orang-orang yang ingin merayakan kasih sayang. Amien!”[]

Merajut Asa Di Tanah Cendrawasih (Part 1)

0

Semula, aku tidak terlalu yakin masih ada manusia berhati malaikat seperti sosok pahlawan yang satu ini. Niatnya yang mulia tentu tidak berjalan mulus. Jauh dari keluarga, beradaptasi dengan tempat yang tidak pernah dijajaki sebelumnya hingga merasakan pahit manis di tempat pengabdian merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh Wahidudin, manusia berhati malaikat yang berasal dari Makassar.

KampusDesa–Di tengah terjalnya persaingan karir dikalangan pemuda, sang pahlawan ini rela mengabdikan diri di daerah Indonesia Timur. Postur tubuh rampingnya tidak menyurutkan semangatnya untuk menjadi guru di sebuah sekolah rintisan, yakni SD Inpres Memes, Distrik Venaha, Kab Mappi, Provinsi Papua. Sosok itu bernama Wahidudin, seorang pahlawan asal Makassar. Sudah setahun ini Wahidudin menjalani rutinitasnya sebagai tenaga pengajar di tanah Cendrawasih. Baginya, menjadi guru di daerah terpencil haruslah bermental baja, karena ia harus beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang mirip di era 60-an saat Pak Soeharto pertama kali menjadi presiden.

“Saya tinggal di sana serasa hidup di zaman Soeharto pada periode pertamanya, karena tidak ada sinyal, tidak ada listrik, jadi kita hanya menggunakan pelita ketika malam.” Cerita Wahidudin ditemani dengan tawa renyahnya.

Apa yang diungkapan Wahidudin tidaklah berlebihan, sebab Distrik Venaha merupakan kampung terakhir di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Jalan ber-aspal, lampu-lampu desa, kendaraan bermotor, bahkan minimarket yang sederhana pun tidak akan ditemui. Sebenarnya kampung tersebut memilik diesel yang bisa digunakan untuk bahan penerang. Akan tetapi hal itu hanya bisa beroperasi jika kucuran dana desa untuk kampung telah cair, itu pun listrik hanya berdurasi dari pukul 06.00 hingga pukul 10.00 WIT.

Minimnya sarana dan prasana juga dirasakan tenaga pengajar di daerah. Perjuangan yang berat dan beresiko merupakan tugas tambahan yang wajib dihadapi oleh para pahlawan tanda jasa di sana.

“ Guru-guru siap-siap saja jalan kaki ke sana, karena di sana kita tidak punya kendaraan, akses dari kota ke kampung itu hanya bisa dilalui menggunakan ketinting (perahu motor) karena yang ada hanya  jalur sungai, dan lokasi saya dengan sekolah itu bisa sampai 8 hingga 10 jam. ” Ungkapnya saat berbagi cerita kepada saya di Pare, Kediri (28/1/19).

Penduduk Distrik Venaha dikenal sangat ramah terhadap guru dan orang pendatang, itulah mengapa dalam keadaan yang serba terbatas Wahidudin mudah dalam menata hati, Ia dan kawan-kawan guru lainnya merasa nyaman dan  akrab berinteraksi dengan penduduk setempat.

Untuk memenuhi sandang pangan, warga Distrik Venaha masih sangat bergantung dengan alam. Tidak ada pasar di kampung, mereka mencari bahan sagu ke dalam hutan, menangkap ikan dan berburu, begitulah cara mereka bertahan hidup. Tidak jarang Wahidudin menerima sagu serta ikan segar dari wali murid anak didiknya. Maklum, sagu adalah makanan pokok warga setempat. Penduduk Distrik Venaha dikenal sangat ramah terhadap guru dan orang pendatang, itulah mengapa dalam keadaan yang serba terbatas Wahidudin mudah dalam menata hati, Ia dan kawan-kawan guru lainnya merasa nyaman dan  akrab berinteraksi dengan penduduk setempat.

Lain ladang lain belalang, tetap saja Wahidudin merindukan suasana yang familiar dengan tempat tinggal kelahirannya. Ia dan keempat anggota team-nya berkesempatan sebulan sekali pergi ke kota terdekat untuk menyetok kebutuhan mereka. Beras merupakan sembako yang mereka cukup-cukupkan atau dalam bahasa jawa di eman-eman. Layanan internet masih belum mampu menembus sudut-sudut ranting dibalik hijaunya alam Merauke. Sekali dalam 30 hari itulah Wahidudin bisa mengaktifkan kembali smartphone miliknya, berbagi kabar dengan keluarga dan kerabatnya. Meskipun berita yang ia dapat selalu out of date setidaknya ia tetap terhubung sebagai bagian dari warga Negara Republik Indonesia.

Hanya ada satu sekolah dasar di kampung Venaha, sedangkan untuk sekolah lanjutan hanya ada di salah satu kampung terdekat dan sisanya berada di kota.

Menurut Wahidudin, penghasilan orangtua siswa tidak bisa diprediksi. Mereka mendapatkan upah ketika ada proyek yang diselenggrakan oleh kampung melalui pembiayaan dana-dana desa. Ketika proyek sepi, maka sagu dan hasil bumi yang mereka kirimkan untuk anak-anak yang melanjutkan sekolah SMP atau SMA di kampung terdekat. Mau tidak mau murid-murid harus pandai pandai bercocok tanam di lahan sekitar. Perlu diketahui, hanya ada satu sekolah dasar di kampung Venaha, sedangkan untuk sekolah lanjutan hanya ada di salah satu kampung terdekat dan sisanya berada di kota.

“Jadi karena tidak selamanya sagu itu ada, kiriman itu ada, jadi pintar-pintarlah bercocok tanam di kota, entah pisang atau jadi kuli di pasar.” Imbuh pria berkulit sawo matang ini.

Kepala Sekolah SD Inpres Memes kebetulan bertempat tinggal di kota. Kadangkala dengan sukarela beliau menyampaikan titipan uang dari wali murid untuk anak-anaknya yang melanjutkan sekolah di kota. Bagaimanapun, hanya surat kertas serta kiriman hasil bumi yang sanggup menyampaikan pesan rindu antara mereka.

Program guru penggerak daerah terpencil diinisiasi oleh FISIPOL PPKK UGM bekerjasama dengan pemerintah Provinsi Papua, Wahidudin termasuk dari sekitar 200 guru berbakat yang bertugas di sana. Melalui apa yang dirasakan muwahidin dan rekan rekannya di wilayah Pedalaman Distrik Venaha, Papua. Kita semakin tahu bahwa ghirah (semangat) untuk mencerdaskan putra-putri bangsa memerlukan ikhtiar yang lebih kuat. (bersambung ke part 2) >>>

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

Melestarikan Permainan Tradisional Melalui Gerakan Inspirasi

0

Kelas inspirasi (KI) merupakan sebuah kegiatan inspirasi yang dilakukan dalam rangka berbagi pengalaman dan inspirasi melalui berbagai macam profesi. Gerakan di bawah naungan Indonesia Mengajar ini juga bisa dikatakan sebagai wadah berbagi pengalaman mengajar bagi mereka-mereka yang tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan. Kegiatan ini bukan suatu komunitas tertentu, tetapi sebuah gerakan yang bertujuan untuk membantu mengembangkan dan memajukan pendidikan di Indonesia.

KampusDesa–‘Giat Literasi, Raih Mimpi’, begitulah jargon yang diusung pada kegiatan Kelas Inspirasi Trenggalek (KIGA) tahun ini yang berlokasi di Kecamatan Bendungan. Memasuki tahun ke-5 pelaksanaan Kelas Inspirasi di Kabupaten Trenggalek ini memiliki keunikan tersendiri dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu dengan mengusung tema Literasi. Hal ini tentu saja memiliki pertimbangan tersendiri, di mana literasi memang memiliki andil dalam proses pembelajaran siswa. Di samping itu, literasi sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan minat baca dan peningkatan keterampilan serta pengetahuan. Alasan lain yang turut menjadi pertimbangan, tidak lain karena rendahnya minat baca di Indonesia, sebagai sarana mendukung gerakan literasi sekolah, dan sebagai gerakan yang bergerak dalam bidang pendidikan maka sudah seharusnya kita bersinergi bersama mendukung program pemerintah.

Kelas inspirasi (KI) merupakan sebuah kegiatan inspirasi yang dilakukan dalam rangka berbagi pengalaman dan inspirasi melalui berbagai macam profesi. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai macam profesi kepada para siswa, terutama di sekolah-sekolah yang dirasa masih memerlukan motivasi belajar demi menumbuhkan semangat belajar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.

Kelas inspirasi tidak hanya mengenalkan suatu profesi tertentu, tetapi juga disertai dengan pembelajaran tentang pentingnya sebuah karakter bagi setiap peserta didik.

Jika kita amati, akhir-akhir ini pendidikan kita sedang mengalami goncangan-goncangan yang luar biasa. Mulai dari permasalahan kurikulum, hingga pelaksanaan pengajaran ketika di lapangan. Hal ini tidak hanya memberatkan para siswa, bahkan juga memberatkan pelaksana pendidikan itu sendiri seperti  guru-guru yang berinteraksi secara langsung dengan para siswa. Oleh karena itu, kegiatan seperti kelas inspirasi perlu diadakan di setiap daerah. Kelas inspirasi tidak hanya mengenalkan suatu profesi tertentu, tetapi juga disertai dengan pembelajaran tentang pentingnya sebuah karakter bagi setiap peserta didik. Hal ini disebabkan ilmu tidak akan ada gunanya tanpa disertai dengan kepribadian dan akhlak yang baik.

Kelas Inspirasi juga bisa dikatakan sebagai wadah berbagi pengalaman mengajar bagi mereka-mereka yang tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan.

Selain beberapa alasan di atas, Kelas Inspirasi juga bisa dikatakan sebagai wadah berbagi pengalaman mengajar bagi mereka-mereka yang tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan. Sebuah gerakan yang berada di bawah naungan Indonesia Mengajar ini memang dikhususkan bagi para praktisi di luar pendidikan. Tujuannya tidak lain untuk membagikan pengalaman kepada para siswa sesuai dengan bidang yang digelutinya, di antaranya Direktur, Legal Bank, Peer Leader, MC, Pemandu Wisata (Guide), Ahli Laboratorium, Fotografer, Perangkai Bunga maupun profesi-profesi lainnya masih banyak lagi. Dengan demikian, para siswa tidak hanya mengetahui profesi-profesi yang ada pada umumnya saja seperti dokter, guru, polisi, pilot, dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini bisa memberikan pengetahuan yang lebih bagi para siswa bahwa profesi sangat banyak macamnya.

Misalnya saja ketika kegiatan hari inspirasi yang diadakan oleh Kelas Inspirasi Trenggalek beberapa hari yang lalu, para panitia memilih daerah Bendungan sebagai tempat inspirasi tahun ini. Salah satu sekolah yang digunakan sebagai tempat inspirasi yaitu SDN 02 Botoputih. Memiliki siswa yang lumayan sekitar 71 siswa mulai dari kelas satu hingga kelas enam, membuat sekolah ini termasuk sekolah yang masih diminati masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke SDN 02 Botoputih, di samping SDN 04 Botoputih yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi walaupun kelas satu hanya memiliki empat siswa saja.

Jika diamati ketika hari inspirasi yang telah berlangsung hari senin tanggal 04 Februari 2019 kemarin, antusiasme tidak hanya dialami para siswa, bahkan juga para guru dan kepala sekolah ikut antusias berpartisipasi dalam kegiatan hari inspirasi tersebut. Kegiatan dimulai dengan upacara rutinan setiap hari senin, dilanjutkan dengan pengenalan kelas inspirasi serta pengenalan para relawan oleh koordinator relawan rombongan belajar (rombel) SDN 02 Botoputih. Opening hari inspirasi ditutup dengan ice breaking yang dilanjutkan dengan membentuk baris memanjang ke belakang setiap kelas, sembari bermain ular-ularan kemudian masuk kelas sesuai kelasnya masing-masing.

Kegiatan KI yang berlokasi di Kecamatan Bendungan dilaksanakan bukan tanpa alasan. Pasalnya, 14 kecamatan di Kabupaten Trenggalek yang belum pernah didatangi teman-teman KI, ada beberapa tempat yang belum pernah didatangi yaitu salah satunya Kecamatan Bendungan. Di samping belum pernah didatangi, pemilihan tempat di Kecamatan Bendungan dijadikan sebagai ajang promosi wisata baru seperti Dilem Wilis, sebagaimana pelaksanaan refleksi pasca Hari Inspirasi (HI)  yang berada tepat di depan wisata Dilem Wilis, serta kuliner khas Kabupaten Trenggalek yaitu Nasi Gegok.

Permainan Gobak Sodor

Kegiatan inspirasi yang memfokuskan pada permainan tradisional kali ini berlangsung sangat menarik. Menurut Aprilia selaku PIC KIGA, permainan tradisional dipilih berdasarkan pengalaman dari KIGA 4 tahun lalu bahwa ternyata banyak yang belum mengetahui permainan-permainan tradisional, terlebih lagi melihat zaman yang semakin berkembang dengan adanya Revolusi Industri 4.0. Sehingga, pengenalan terhadap permainan-permainan tradisional sangat diperlukan demi permainan tradisional tetap lestari dan tidak dilupakan seiring perkembangan zaman yang semakin pesat. Sebagaimana permainan tradisional yang dilakukan siswa-siswi SDN 02 Botoputih setiap harinya seperti permainan kelereng, gobak sodor, dan lain sebagainya.

Permainan Kelereng

Kegiatan inspirasi berlangsung sekitar kurang lebih lima jam, mulai pukul 07.00 WIB hingga 12.00 WIB. Kegiatan closing digunakan untuk menuliskan cita-cita dalam bentuk banner pohon cita-cita rombel SDN 02 Botoputih. Setelah rangkaian kegiatan inspirasi terlaksana, momen foto bersama dilakukan sebagai simbol yang menandakan bahwa seluruh rangkaian kegiatan hari inspirasi selesai.

Tidak akan ada lagi persepsi ‘anak itu tidak bisa’, karena setiap anak memiliki keunggulannya masing-masing dan dalam bidangnya masing-masing.

Kegiatan kelas inspirasi yang diadakan oleh beberapa daerah memang dikhususkan pada tingkat sekolah dasar, dengan pertimbangan bahwa penanaman karakter serta pengenalan profesi harus dilakukan sejak usia dini. Hal ini disebabkan masa kanak-kanak dirasa sebagai masa awal yang sangat penting dalam pengenalan terhadap lingkungan sekitar, cita-cita, bahkan dunia. Dengan demikian, para siswa bisa memilih bidang apa yang akan menjadi cita-citanya, serta kompetensi unggul mana yang sesuai dengan minat dan prestasinya. Sehingga diharapakan, tidak akan ada lagi persepsi ‘anak itu tidak bisa’, karena setiap anak memiliki keunggulannya masing-masing dan dalam bidangnya masing-masing.

Kelas inspirasi selalu menjadi kegiatan inspiratif yang diminati banyak kalangan dari berbagai macam profesi yang ada di Indonesia khususnya. Kegiatan ini bukan suatu komunitas tertentu, tetapi sebuah gerakan yang bertujuan untuk membantu mengembangkan dan memajukan pendidikan di Indonesia. Semua orang bisa bergabung, dari kalangan manapun bisa berkontribusi dan mendedikasikan dirinya dalam rangka membangun pendidikan Indonesia yang berkarakter. Pendidikan harus memberikan bekal yang tidak hanya unggul dalam bidang ilmu pengetahuan saja, tetapi juga unggul dalam berkarakter dan berperilaku.

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Sukimin Radja (3) Meraih Bintang Kesuksesan Membutuhkan Kunci Lo

0

Kesuksesan tidak jatuh tiba-tiba. Ada filosofi hidup, kebiasaan dan dimulai dari contoh model inspiratif. Kekayaan mengambil sudut pandang tentang kehidupan pun menjadikan Sukimin mampu menapaki proses menuju sukses dengan tekujmua? Sukimin Radja punya jawabannya.

KampusDesa– Meraih kejayaan dan kesuksesan itu memerlukan perjuangan. Demikian pula Sukimin. Pria yang menganggap kesuksesan adalah harga diri ini mengakui bahwa semua pencapaian dan prestasi yang diraihnya, semata merupakan anugerah dari Allah SWT. Tentunya diiringi doa dan dukungan istri, keluarga, rekan seprofesi, sahabat, teman, serta semua orang. Dirinya sendiri pun tak pernah membayangkan dapat meraihnya. Ia hanya berupaya secara istiqamah untuk melakukan yang terbaik, mendedikasikan kehidupan dan waktunya demi kemajuan umat, kesejahteraan rakyat, kejayaan Indonesia, serta kemuliaan peradaban.

Ia selalu meluangkan waktunya setiap hari untuk sholat tahajjud di sepertiga malam terakhir, membaca Al-Quran dilanjutkan memahami tafsirnya, mengikuti perkembangan informasi terbaru dengan cara menonton berita di televisi.

Saat ditanya tentang kunci kesuksesannya, Sukimin menyebutkan enam hal. Pertama, kejujuran. Kedua, kerja keras. Ketiga, rendah hati. Keempat, bermasyarakat. Kelima, menghargai orang lain. Keenam, belajar dari pengalaman. Dalam meraih kesuksesan, lelaki beristri St. Yarni ini mengakui ada beberapa hambatan seseorang saat berproses meraih kesuksesan. Misalnya: tidak sabar, mudah putus asa, banyak mengeluh dan menggerutu, terlalu bergantung pada orang lain.

Sukimin Radja. Menghadiri wisuda putrinya

Selain rida Allah, kesuksesan juga ditentukan oleh faktor manusia. Maksudnya, ada orang-orang penting yang berada di balik kesuksesan seseorang. Bagi penyuka lagu dangdut ini, mereka adalah orangtua, guru, dan pimpinan.

Sukimin memiliki banyak “guru kehidupan” yang inspiratif. Beberapa di antara mereka adalah pak Basri dan pak Ahmad (guru SD), pak Sapo’(guru SMP), Bapak Drs. Mallapiang (guru SMA), Bapak Drs. Geno Hariyanto, SH (Kapolres Bulukumba periode 1996 – 1997). “Guru kehidupan” yang disebutkan terakhir telah menginspirasi Sukimin menjadi perwira.

Manajemen Kehidupan

Kehidupan ini memerlukan kiat dan strategi tersendiri di dalam memaknai dan menjalaninya. Salah satu strategi efektif di dalam manajemen kehidupan adalah manajemen waktu.

“To do list (membuat daftar skala prioritas yang harus dilakukan setiap hari), istiqamah (konsisten), tidak suka menunda-nunda pekerjaan (deadliners), senang memulai pekerjaan lebih awal, mencintai profesinya.

Penyuka mobil favorit Toyota ini memiliki kiat manajemen waktu yang sederhana namun efektif meraih kesuksesan, berupa: “to do list (membuat daftar skala prioritas yang harus dilakukan setiap hari), istiqamah (konsisten), tidak suka menunda-nunda pekerjaan (deadliners), senang memulai pekerjaan lebih awal, mencintai profesinya.

Keluarga, teman, rekan, sahabat, atasan, bawahan bersepakat bahwa Sukimin seorang pribadi yang sederhana (bersahaja), penuh semangat, mudah bersosialisasi, percaya diri, sangat disiplin, profesional dalam menjalankan tugas, totalitas (penuh dedikasi), rajin bekerja, dan berkomitmen tinggi terhadap pekerjaan.

Ia memiliki visi dan misi yang amat mulia, yakni membangun bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Selain itu pria penyayang Burung Beo ini merupakan sosok polisi yang visioner dan futuristik. Betapa tidak? Ia memiliki visi dan misi yang amat mulia, yakni membangun bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia. Bila berdiskusi tentang konsep Indonesia Jaya, maka pria penyuka destinasi wisata Pantai Bira dan Apparalang ini langsung bersemangat.

Penyuka Alquran dan hukum pidana sebagai buku bacaan favorit ini berpandangan bahwa “Indonesia Jaya” dapat segera diwujudkan bila Indonesia memiliki sosok atau figur pemimpin yang suka bekerja (kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras), jujur, religius/agamis, berani, peduli dan tanggap akan kesulitan rakyatnya. Selain itu, pemerintah hendaklah memiliki berbagai program untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM), mengurangi pengangguran, serta membuat tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan hidupnya menjadi semakin sejahtera.

Sosok Sukimin Radja dengan Seragam Kesatuannya

Petuah Bijak

Untuk generasi milenial, terutama yang juga ingin berkarir menjadi polisi, Sukimin berpesan agar menjadi pribadi yang senantiasa jujur, mengutamakan profesionalisme, penuh kreativitas, disiplin, suka bekerja keras, mencintai profesinya, penuh semangat, dan berdedikasi tinggi.

Prospek polisi di masa mendatang akan semakin bagus, cerah, dan sejahtera. Meskipun demikian, hendaklah jangan terlena. Tugas polisi menjadi semakin berat, karena tren kejahatan juga menjadi semakin canggih dan terus meningkat.

Hiduplah senantiasa bersama Allah SWT, mencintai dan membenci juga karena Allah SWT. Jalanilah kehidupan dan hidup ini dengan gembira karena kehidupan ini hanya sementara. (Profil inspiratif ini ditulis berdasarkan wawancara dan observasi langsung yang dilakukan oleh dr Dito Anurogo MSc, dosen FK Unismuh Makassar, penulis puluhan buku, Director Networking IMA Chapter Makassar)

TIDAK ADA CONFLICT OF INTEREST DI DALAM KEPENULISAN KISAH INSPIRATIF INI.