Rabu, Oktober 8, 2025
Google search engine
Beranda blog Halaman 107

Kepemimpinan Paska Kolonial

0

Artikel sebelum ini dijelaskan jikalau kepemimpinan desa sudah saatnya melampaui pragmatisme. Bahkan sudah harus mampu melawan “martir” atas sumberdaya desa dari kepentingan invetasi pihak luar semata. Banyak kerugiannya. Kita tahu kasus Salim Kancil, di Lumajang, yang meninggal sebagai martir karena melawan eksplorasi tambang pasir besi yang datang dari kepentingan pihak luar. Cara pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terbarukan ini, tidak hanya orang-orang desa kehilangan sumberdaya desanya, tetapi perlawanan tersebut melahirkan tragedi kehilangan nyawa warga.

Kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan yang menjajah warganya sendiri sehingga sumberdaya warganya tidak diberdayakan. Kepemimpinan yang menjajah hanya lahir dari gaya kepemimpinan aristokrat dan otoritarian. Sebuah kepemimpinan yang mengandalkan kekuasaan sebagai tolak ukur kekuatan memaksa atau memunculkan bentuk kepatuhan tanpa syarat. Kepemimpinan bercitra “kolonial” berhenti pada penyucian yang mandek. Rasa hormatnya berhenti pada dipuja, atau ditaati karena alasan jabatan yang disandangnya. Sementara di budaya kepemimpinan tersebut tidak ada pengembangan karya desa yang bisa memandirikan dan melakukan percepatan pembangunan sumberdaya manusia masyarakat desa. Mari kita mendiskusikan bagaimana keluar dari kepemimpinan tersebut ?

Di bulan syawal 1436 lalu, saya diminta memfasilitasi pertemuan 10 pengusaha desa di kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang yang dikumpulkan dikelola POSDAYA (Pos Pemberdayaan Keluarga) Masjid UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Ternyata potensi sumberdaya manusia dan alam masyarakat Tirtoyudo dapat dipetakan. Di sana ada orang-orang produktif yang mampu mengolah sumberdaya desa seperti ada stik kopi, kripik jahe, sirup salak, dan aneka produk lainnya. Sebagian dari pengusaha ini (pengusaha kripik jahe) ada yang mampu menghasilkan produksi satu ton lebih menjelang hari raya idul fitri.

Pertemuan tersebut direspon positif oleh Camat Tirtoyudo dan diapresiasi mendukung perluasan produk lokal menjadi kompetitif di pasaran. Karakter kepemimpinan paska kolonial adalah mengetahui keunggulan lokal masyarakat atau sumber daya alamnya. Keunggulan itu perlu disosialisasikan ke luar untuk memperoleh akses pasar. Para pemimpin ini bertransaksi ke luar untuk mendapatkan nilai tambah yang diperoleh bagi warganya yang produktif.

Pemimpin desa seperti inilah yang disebut bermental kepemimpinan paska kolonial. Di jaman kolonial, penguasa lokal yang berhasil ditundukkan oleh penjajah akan menjadi kepanjangan tangan penjajah. Ia akan menarik upeti yang tinggi dari masyarakatnya atau akan menjual sumberdaya alamnya untuk kepentingan penjajah. Rakyatnya tetap berada sebagai buruh penjajah. Bahkan terkenal dengan sistem kerja paksa.

Kepemimpinan paska kolonial, seorang pemimpin lokal seperti Kepala Desa, Lurah atau Camat dapat mewakili masyarakat sebagai jembatan agar potensi desanya dipercaya orang luar. Pemimpin paska kolonial menghindari transaksi yang merugikan sumberdaya lokal. Dia harus menaikkan daya tawar atas sumberdaya lokal melalui jejaring yang berkelanjutan. Peran pemimpin lokal menjaga dan mempertahankan agar sumberdaya yang tersedi dikelola oleh orang lokal sendiri dengan segala perangkat kerjanya. Jika para warga potensial ini membutuhkan inovasi, pemimpin lokallah yang akan memfasilitasi agar potensi lokal dapat dikelola menjadi produk kompetitif.

Kepemimpinan ini dituntut peka melihat sumberdaya desanya melalui penilaian cepat potensi yang sudah dimiliki warganya atau potensi yang diciptakan untuk memaksimalkan sumber daya desa. Kepemimpinan ini dapat direpresentasikan sebagaimana teknik blusukan yang dilakukan oleh Jokowi. Blusukan pemimpin setingkat Kepala Desa atau Camat adalah aksi atau tindakan menemukan berbagai potensi desa yang kemudian menumbukan semangat kekaryaan dari komoditas masyarakat. Pemimpin seperti ini bukan makelar untuk memperkuat kekuatan luar mengeksploitasi sumberdaya masyarakat. Pada cara-cara demikian ini hanya menciptakan masyarakat sebatas pekerja.

Kepemimpinan paska kolonial adalah pribadi yang mampu menumbuhkan karya masyarakat lokal agar laku di pasaran luar. Dalam posisi demikian, masyarakat ditempatkan sebagai subyek pelaku mandiri yang difasilitasi untuk menemukan kesinambungannya dengan dunia luar. Oleh karena itu, keunggulan lokal disuarakan ke luar oleh pemimpin lokal agar mendapatkan respon pasar yang dinamis, kompetitif dan berkelanjutan. Ke dalam, pemimpin seperti ini akan mampu menemukan potensi lokal, menggerakkan masyarakatnya sendiri untuk berproduksi dan berinovasi. Ke luar, pemimpin lokal membangun jejaring untuk memperkuat dan mendapatkan peluang bagi nilai-nilai kompetitif yang diperuntukkan sebesar-besarnya demi kepentingan warganya.

Melampaui Pragmatisme Mbangun Desa

0

Melalui Kepala Desa, perubahan menuju kesejahteraan desa seharusnya jauh lebih mudah. Seorang Kepala Desa akan lebih diakui karena karakter masyarakat desa biasanya bercorak patron-client—yakni mempercayai seorang tokoh sebagai panutan. Oleh karenanya “sabda” panutan akan mudah diterima dan diikuti tanpa adanya perlawanan yang berarti. Keuntungan kepala desa yang dipanuti seperti itu, lebih mudah dipercaya orang dan lebih mudah dipatuhi.

Kepala Desa hanya menjadi kepemimpinan bisu manakala niat dari awal sebagai sentral tokoh yang dibangun berdasarkan pundi-pundi pragmatisme kekuasaan ningrat. Kekuasaan diperoleh sebagai bukti bahwa dia adalah tuan tanah karena biasanya mereka adalah orang-orang dengan struktur herarkhi ekonomi masyarakat yang tertinggi. Bahkan mereka juga dianggap sebagai pangreh-praja, pejabat elit birokrasi kepanjangan tangan pemerintah. Pada zaman Belanda mereka sebagai kepanjangan tangan kolonial. Pada konsep ini kepala desa sebagai alat kekuasaan, namun dalam konsep kepemimpinan, kepala desa dapat ditempatkan sebagai pendorong dan penggerak perubahan.

Saya akan melanjutkan reposisi Kepala Desa dalam konteks kepemimpinan desa untuk mbangun desa. Tidak dipungkiri, masih saja ada Kepala Desa dengan mindset mbangun desa secara pragmatis, yakni dengan mendahulukan kebutuhan uang, proyek pembangunan infrastruktur, dan dukungan pihak luar untuk membuat proyek-proyek megah seperti membuat tugu, pengaspalan, permodalan, dan lain sebagainya.

Suatu kali, ada beberapa dosen di sebuah perguruan tinggi yang ingin melaksanakan pengabdian masyarakat di sebuah desa. Mereka ditemui seorang Kepala Desa untuk ijin mendapat akses berbagi pengetahuan pada warga desa. Kepala Desa mengatakan, “bapak/ibu akan memberi apa kepada para warga desa ini. Kalau hanya ceramah, di desa ini sudah banyak sarjana yang bisa berceramah.” Respon kepala desa—secara implisit—dosen yang datang berarti harus membawa uang yang akan disumbangkan untuk pembangunan desa. Di sebuah desa miskin, saya disambati perangkat desa dan tokoh desa, “di sini, sudah dibantu bermilyar uang, mulai dari sarana-prasarana, bantuan ternak, pertanian dan lain sebagainya, tetapi tidak kunjung ada perubahan, padahal sudah 10 tahun berjalan.”

Ketika seorang Kepala Desa berhasil menurunkan proyek pembangunan, maka prestise naik dan warga semakin senang. Pemahaman mbangun desa yang hanya terfokus pada kebutuhan tersebut disebut pembangunan pragmatis. Cara itu tidak mengubah produktifitas orang desa karena belum merangsang budaya bergerak, berkarya dan membuat peluang agar nilai produktif sumberdaya desa bisa memiliki daya tawar global. Cara tersebut hanya mengubah wajah desa dan menciptakan kecanduan, senang diberi.

Bahayanya, desa rentan menjadi obyek kepentingan luar. Jika ada orang luar memiliki proyek yang akan diberikan orang desa, mereka akan patuh menyerahkan sumberdaya desa. Wuih….merongrong kekuatan desa, kalau ini benar-benar menjadi kecenderungan hari ini. Pada posisi ini, Kepala Desa bukan alat proyek, tetapi menjadi peranta yang memihak pada kepentingan warga agar tidak terjebak menjadi orang-orang tereksploitasi oleh kekuatan luar yang membunuh potensi desa.

Kepala Desa adalah gurunya orang desa, bukan priyayi desa. Kepala Desa sudah waktunya keluar dari budaya priyayi. Dia berdiri di garda depan produktifitas dan kekaryaan warga. Kepala Desa dengan demikian diposisikan sebagai subyek budaya, yakni sosok yang membangkit cipta-rasa-dan karsa warga desa. Jika kepala desa dituankan sebagai orang dengan herarkhi ekonomi teratas, hal ini bisa ditransformasi kedalam kepatuhan berdikari. Kalau Kepala Desa sukses secara ekonomi, dia bisa menularkan bakat berbisnisnya untuk menggerakkan warganya merintis dan mengembangkan usaha yang mereka miliki. Kepala Desa seperti itu, akan dipatuhi oleh karena inspirasinya dan berdampak positif bagi pengembangan kesejahteraan warganya.

Kepala Desa adalah jabatan perubahan. Tolak ukur perubahan bukan terletak pada proyek material tetapi perubahan kreatifitas yang meningkatkan nilai produktif potensi desa. Dengan demikian proyek harus dinilai sejalan mampu merangsang tumbuhnya karya dan produktifitas orang desa, bukan menjadikan orang-orang desa sebagai martir.

Kepala Desa sebagai pemimpin desa adalah tonggak kesejahteraan, bukan makelar yang menjadikan warga sebagai martir pembangunan sehingga yang diuntungkan adalah orang luar, bukan warga sebagai subyek (pelaku) kesejahteraan.

Ngopi Bareng Kampus Desa Indonesia

0

Teriring salam dan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga segala aktivitas kita bernilai ibadah dihadapan-Nya. Amin.

Sehubungan dengan akan diselenggarakannya Grand Launching Kampus Desa Indonesia. Maka, dengan ini kami mengundang dan mengharap kehadiran Bapak/Ibu pada:

Hari/Tanggal   : Rabu, 22 Februari 2017

Pukul               : 19.00 WIB

Tempat            : Oase Coffee and Literacy

Kegiatan          : Rapat Koordinasi Persiapa Launching

Demikian surat undangan ini dibuat, atas perhatian dan kehadirannya disampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Soft Launching Kampus Desa Indonesia

0

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga segala aktivitas kita bernilai ibadah dihadapan-Nya. Amin.

Sehubungan dengan akan diselenggarakannya Grand Launching Kampus Desa Indonesia. Maka, dengan ini kami mengundang dan mengharap kehadiran Bapak/Ibu pada:

Hari/Tanggal   : Rabu, 22 Februari 2017

Pukul               : 19.00 WIB

Tempat            : Oase Coffee and Literacy

Kegiatan          : Rapat Koordinasi Persiapa Launching

Demikian surat undangan ini dibuat, atas perhatian dan kehadirannya disampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kopdar Kampus Desa Indonesia

0

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga segala aktivitas kita bernilai ibadah dihadapan-Nya. Amin.

Sehubungan dengan akan diselenggarakannya Grand Launching Kampus Desa Indonesia. Maka, dengan ini kami mengundang dan mengharap kehadiran Bapak/Ibu pada:

Hari/Tanggal   : Rabu, 22 Februari 2017

Pukul               : 19.00 WIB

Tempat            : Oase Coffee and Literacy

Kegiatan          : Rapat Koordinasi Persiapan Launching

Demikian surat undangan ini dibuat, atas perhatian dan kehadirannya disampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Peresmian Taman Baca: Posdaya Bustanul Ulum Cerdaskan Generasi Bangsa

0

KDI NEWS_Jumat, 19 Agustus 2016 menjadi salah satu hari bersejarah bagi masyarakat Sidodadi Desa Gampingan Kecamatan Pagak Kabupaten Malang. Pasalnya, pada sore itu Posdaya Bustanul Ulum sukses me-launching Taman Baca. Prosesi pe-launching-an tersebut dihadiri oleh Koordinator Posdaya Kecamatan Pagak Bapak Nur Wasis, Bapak RT dan wakilnya, Pengasuh TPQ Bustanul Ulum, Ketua Komite TPQ Bustanul Ulum, Wakil Ketua Pemuda Sidodadi, dan masyarakat Dusun Sidodadi.

Latar belakang pendirian Taman tersebut dikarenakan minat membaca masyarakat Sidodadi khususnya siswa/i TPQ Bustanul Ulum dari waktu ke waktu mengalami penurunan. Hal ini disebabkan maraknya pengunaan media elektronik (gadged) dikalangan mereka. Atas dasar tersebut, Posdaya Bustanul Ulum bersama mahasiswa KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) Tematik Posdaya Berbasis Masjid UIN Maulana Malik Ibrahim Malang kelompok 63 mencanangkan pendirian Taman Baca yang terletak di area TPQ. Peletakan Taman Baca di area TPQ dimaksudkan agar masyarakat terlebih siswa/i TPQ bisa membaca buku-buku yang ada bersama-sama dan dimaksudkan untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar di TPQ.

Menempati sebuah ruang kosong di salah satu bangunan TPQ, Taman Baca didesain dengan dekorasi ala pertamanan. Susunana buku-buku tertata rapi di rak-rak yang terbuat dari bambu. Berbagai jenis buku tersedia di Taman Baca, mulai dari buku tentang pengetahuan agama Islam, buku cerita anak-anak bergambar, majalah-majalah, buku pelajaran, dan masih banyak yang lain. Suasana Taman Baca yang didesain penuh warna dan berbuansa segar tersebut diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk mengunjungi taman baca dan membaca buku-buku yang disediakan.

Peresmian ditandai dengan pemotongan pita di depan ruang Taman Baca oleh Kepala Sekolah TPQ Bustanul Ulum Ibu Hj. Su’udiyah dengan diawali pembacaan sholawat 3 kali. Gemuruh suara tepuk tangan masyarakat menyambut hangat setelah pita berhasil terpotong. Masyarakat menyambut positif adanya Taman Baca tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Bapak Fauzi selaku Ketua Komite TPQ Bustanul Ulum, “Adanya peresmian Taman Baca sangat menunjang, karena orang tidak tahu akan menjadi tahu karena buku. Orang tidak bisa membaca, terus bisa membaca karena buku.” Dengan adanya Taman Baca ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca masyarakat Dusun Sidodadi Desa Gampingan Kecamatan Pagak tersebut. (Nurika Dwi O)

Sumber: http://lp2m.uin-malang.ac.id/2016/08/22/posdaya-bustanul-ulum-cerdaskan-generasi-bangsa-dengan-taman-baca/

Berdayakan Mahasiswa Untuk Bangun Desa Binaan

0

KDI News_Sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pertamina mengklaim, berkomitmen untuk menciptakan energi terbarukan. Salah satunya dengan menggandeng sejumlah akademisi dan peneliti dari perguruan tinggi.

Karena itu Pertamina secara rutin untuk keenam kalinya menggelar ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN), bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI).

Sebab, salah satunya fokus yang dilakukan Pertamina yakni membangun sebuah desa binaan di sejumlah titik di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada menjadi energi terbarukan.

“Banyak peneliti atau mahasiswa yang mulai meneliti energi dari sampah atau eceng gondok kan banyak terdapat di desa-desa, bisa diolah menjadi biogas,” kata CSR Manager Pertamina, Ifqi Sukarya di Gedung Rektorat UI, Depok, Rabu (27/11/2013).

Proyek lainnya, kata Ifqi, Pertamina tengah mengembangkan pembangkit listrik dari sampah di Tempat Pembungangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Sehingga nantinya, listrik yang bisa dihasilkan sebesar 120 megawatt dan bermanfaat untuk skala industri.

“Saat ini masih terus bergulir, masuk tahap tahun ini. Hal itu agar masalah sampah bisa teratasi, bisa diolah kita olah lagi menjadi listrik,” paparnya.

Para peneliti dari kalangan akademisi, lanjutnya, dilibatkan untuk menyumbangkan gagasan dalam menciptakan energi terbarukan. Pihaknya juga terus melakukan penjajakan dengan sejumlah desa di Indonesia.

“Bisa juga energi dari angin. Untuk industri, dan kami juga ada pembangkit kecil untuk masyarakat di sekitar desa binaan. Kita ada pembangkit kecil, untuk pendidikan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Ada yang memanfaatkan solar cell,” ungkapnya.

Sehingga, lanjut Ifqi, desa binaan Pertamina tersebut bisa menjadi desa yang mandiri. Desa binaan di antaranya di daerah Kamojang (Garut) dan Plaju (Palembang). “Kita kelola sampah, kami juga mendorong masyarakat terus manfaatkan bank sampah, dikumpulin di karung menjadi tabungan sampah dan bermanfaat,” jelasnya.

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/810746/15/pertamina-berdayakan-mahasiswa-bangun-desa-binaan-1385544744

Ngaji Tani 6; Mencetak Petani Berdaya Ledak Tinggi hanya dengan Kencing Sapi

1

Bermodalkan kencing sapi yang sudah difermentasi (bio urine) dan benih labu madu 4 biji kini meledak menjadi 400 biji (calon benih F2) di pekarangan rumah petani (Subahri, 37thn) salah satu jamaah ngajitani di kampung cabe, Desa Kadur, Pamekasan.

Ini bukan tentang perkara begitu mudahnya bertani itu atau tentang varietas komoditi apa yang ditanam, tapi mari kita cermati secara lebih mendalam hikmah dan makna dibalik success story bertani ini. Bahwa di jaman now, informasi, ilmu dan teknologi sudah sangat maju dan bahkan semakin mudah diakses oleh siapapun dan dimanapun sehingga seharusnya peluang untuk terciptanya banyak success story di level petani juga semakin banyak dan terbuka.

Pada kenyataannya tidak demikian, karena minat dan interes bertani di kalangan generasi muda ternyata juga sudah semakin tergerus dan ke depan kita bahkan sangat berpotensi mengalami krisis regenerasi petani.

Oleh karenanya ngajitani hadir dan komunitasnya semakin menyebar dan menguat, salah satunya didorong karena situasi dan kondisi yang demikian itu.
Ikhtiar untuk mencetak petani berdaya ledak tinggi, kini sudah mulai tampak dengan munculnya sosok petani bernama “Subahri”.

Setiap kali selesai “ngaji” (belajar) ia langsung melakukan praktik bertani, setidaknya dimulai dari pekarangan rumah sendiri. Bertanggung jawab dan punya disiplin tinggi sejak memperlakukan benih, merawat hingga membuahkan tanaman dengan tetap berkhidmat pada lingkungan dan sudah tentu tak menegasikan kehendak dan kuasa Tuhan.

Perhatian kritisnya sekali lagi adalah bagaimana mungkin benih 4 biji meledak menjadi 400 biji tanpa dengan cara “bertani”?

Jadi, prasyarat awal menjadi petani kreatif dan mandiri setidaknya terlewati dengan bisa membuat pupuk sendiri dan meledakkan benih agar bisa ditanam lagi. Selanjutnya tinggal bagaimana mendorongnya masuk dalam ekosistem pertanian yang lebih luas agar bisa meningkatkan kualitas interaksi yang berbasis transaksi (bisnis pertanian).

Siapa lagi mereka (Petani berdaya ledak tinggi) di lingkungan sekitar anda CARI~DEKATI~TEMANI dan ajak ~NGAJITANI