Urgensi Literasi Dalam Pemilu (Bagian 3)

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Urgensi literasi dalam pemilu belum menjadi perhatian masyarakat luas. Literasi tidak “jalan” karena kesadaran, pikiran kritis dan terbuka hilang. Justru terganti dengan partisipasi “aji mumpung”, jangka pendek, oportunis, diiringi sikap pesimis. Tiadanya kesadaran untuk bangkit merubah keadaan berdasarkan analisa yang kritis dan pemahaman komprehensif terhadap masalah-masalah politik dan relasi kuasa menandakan bagaimana literasi politik tidak hidup. Tanpa literasi, orang-orang akhirnya berpolitik untuk tujuan yang sangat naif. Harga diri digadaikan dengan hal-hal yang murah. Jika Tan Malaka mengatakan bahwa Idealisme adalah kemewahan, maka orang-orang berpolitik dengan harga diri yang amat murah.

Kampusdesa.or.id — Sebenarnya banyak bidang literasi lainnya yang bisa digunakan untuk melihat tahapan Pemilihan yang ternyata jauh dari literasi demokrasi. Jenis literasi visual, sebagai literasi dasar, misalnya, juga data digunakan untuk melihat sejauh mana kampanye menggunakan tampilan-tampilan visual secara cerdas. Bagaimana mereka membuat alat peraga kampanye, bahan kampanye, termasuk juga tayangan-tayangan kampanye di media. Bagaimana pula rakyat (calon pemilih) menangkapnya. Bagiamana literasi media dan media sosial dalam proses-proses kampanye. Sangat banyak yang bisa digambarkan.

Sementara dari secuil bidang literasi saja, sudah tampak nyata bahwa Literasi tak hadir, baik dalam demokrasi elektoral maupun non-elektoral (dunia politik lebih luas). Dengan mengambil contoh dari sisi peserta Pemilu (baik partai politik maupun calon-calonnya) kita sudah bisa melihat absennya literasi—atau jangan-jangan malah proses ‘iliterasi’ yang justru terjadi. Jangan-jangan justru proses pembodohan yang sedang berjalan.

RelatedPosts

Pemilu yang dianggap ritual lima tahunan belum mampu memberikan ‘output’ berupa para pemimpin dan wakil rakyat yang memperjuangkan mereka.

Lalu bagaimana dengan sisi masyarakat dan calon pemilih? Sudah menjadi sumber kekhawatiran juga bahwa tradisi masyarakat yang pesimis terhadap politik, termasuk sikap pragmatis-oportunis terhadap demokrasi “pilih-memilih”. Pemilu yang dianggap ritual lima tahunan belum mampu memberikan ‘output’ berupa para pemimpin dan wakil rakyat yang memperjuangkan mereka.

Sedangkan melihat situasi seperti itu, mereka  justru “ngambeg” dan hanya bisa menyalahkan. Pada hal bisa jadi mereka juga berperan untuk membuat politik “rusak” dalam artian tidak berimbas pada perbaikan nasib mereka, tapi justru melahirkan elit-elit yang mengejar keuntungan dengan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri—termasuk memanfaatkan duit negara.

Budaya korupsi yang lebih banyak penyalahgunaan wewenang politik kian membuat rakyat pesimis, dikhianati, dan justru tidak percaya pada proses-proses politik (termasuk Pemilu/Pemilihan). Akhirnya mereka mengambil sikap balas dendam dengan menjadi oportunis-pragmatis, mau datang ke TPS jika mereka mendapatkan keuntungan material. Masyarakat yang “ngambeg” dan merasa “tersakiti” perilaku elit, dan hanya ambil bagian dengan motif “licik” dan “aji mumpung” ini juga berkontribusi merusak keadaan.

Tanpa literasi, orang-orang akhirnya berpolitik untuk tujuan yang sangat naif. Harga diri digadaikan dengan hal-hal yang murah.

Di sini, literasi tidak “jalan” karena kesadaran, pikiran kritis dan terbuka hilang. Justru terganti dengan partisipasi “aji mumpung”, jangka pendek, oportunis, diiringi sikap pesimis. Tiadanya kesadaran untuk bangkit merubah keadaan berdasarkan analisa yang kritis dan pemahaman komprehensif terhadap masalah-masalah politik dan relasi kuasa menandakan bagaimana literasi politik tidak hidup. Tanpa literasi, orang-orang akhirnya berpolitik untuk tujuan yang sangat naif. Harga diri digadaikan dengan hal-hal yang murah. Jika Tan Malaka mengatakan bahwa Idealisme adalah kemewahan, maka orang-orang berpolitik dengan harga diri yang amat murah. Kemiskinan literasi membuat orang menjual dirinya secara murah: suara di TPS ditukar dengan uang atau materi. Budaya “vote-buying” (jual-beli suara) adalah salah satu bentuk politik transaksional yang menghapus Idealisme dan Ideologi dari kamus politik.

Ketika saya menunjukkan bahwa yang hilang adalah literasi padahal ia adalah penting bagi munculnya akar-akar yang kuat bagi tumbuhnya sebuah pohon demokrasi, maka isu ini yang harus kita perbincangkan lagi.

Literasi demokrasi yang hilang itu harus segera dikembalikan dari politik kita. Siapa yang harus memulai? Tentu saja siapapun yang sadar dulu harus lebih dulu memulai. Ini adalah kerja-kerja penyadaran. Pertama-tama adalah menunjukkan apa yang terjadi pada politik kita. Ketika saya menunjukkan bahwa yang hilang adalah literasi padahal ia adalah penting bagi munculnya akar-akar yang kuat bagi tumbuhnya sebuah pohon demokrasi, maka isu ini yang harus kita perbincangkan lagi. Literasi ini yang harus kita bawa lagi dalam politik dan demokrasi kita.

Referensi:
Stanley J. Baran. (2012). Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media dan Budaya. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2017). Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional. Jakarta.
Joko Santoso, “Menakar Membaca Setelah Merdeka”, dalam https://nasional.sindonews.com/read/327632/18/menakar-membaca-setelah-merdeka-1612699332.

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

Serat Ambiyo; Pertemuan Islam dan Jawa Bukti Pluralisme adalah Dasar Kebudayaan Agama-agama

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.