Seri Parenting : “Janji Hati Devo”

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Bruuuk, buuug!

“Aduuuh, sakiiit!” Devo merintih kesakitan, tubuhnya terjerembab ke dalam tanah becek berlumpur. Karena kurang fokus, ban depan sepedanya oleng dan menabrak tumpukan batu kali.

RelatedPosts

Perlahan, dengan menahan perih di kedua lututnya, Devo bangkit. Nanar, dipandanginya buku-buku pelajaran dan alat tulis yang berhamburan di jalan.

“Huuuh, kok jadi gini sih?” gumamnya, antara sedih dan menyesal. Andai saja dia tidak melakukannya. Begitulah penyesalan yang menggumpal di dadanya.

Devo sudah mencangklong tas sekolah kembali. Senyum kecut melengkung di wajah gantengnya. Ternyata, nggak semudah yang kubayangkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Lah, apa pun peribahasanya, sama saja. Aku sakit dan menyesal!

Akhirnya, Devo memutuskan untuk pulang. Masalah Risna, akan diselesaikannya nanti. Bagaimanapun, dia harus menghadapinya.

Saat bersiap mengayuh sepedanya yang dipenuhi lumpur itulah, Nanda dan Pita berseru memanggilnya. Membuatnya mengurungkan niat, “Ya?” jawabnya tak acuh, untuk menutupi rasa malunya.

“Aku nyari kamu di kantin,” ungkap Nanda yang ditimpali anggukan oleh Pita.

Sejenak hening, Devo hanya sanggup menunduk. Seketika, perang batin mengguncangya. Kembalikan. Tidak. Kembalikan. Jangan. Harus. Tapi aku takut. Jangan takut, kamu harus berani jujur!

“Eh Div, bantuin nyari doskrip Risna, yuk?” Pita menepuk bahunya, “Kasihan lho, ada uang SPP-nya juga.”

Ha, ada uangnya? Devo geragapan. Haduuuh, kok aku bisa sebodoh ini sih? Hanya gara-gara selembar foto, malah jadi runyam begini!

“Woooiii, Div?! Kok malah bengong? Ayo, bantuin?” Nanda menggoyangkan sepedanya, membuat Devo nyaris terjatuh.

Tidak ada pilihan lain. Devo harus segera menemui Bu Shinta. Semoga masih ada di sekolah, batinnya.

Tanpa berkata-kata, Devo memutar sepedanya kembali ke arah sekolah. Lalu, mengayuhnya secepat mungkin tanpa memperdulikan Nanda dan Pita yang heran dengan sikapnya.

“Devo, kamu ingat dongeng Si Kancil?” Bu Shinta mengusap lembut kepalanya, “Dia, dijauhi teman-temannya karena suka mencuri ketimun. Nah, Devo nggak mau kan kalau sampai dijauhi teman-teman?”

Dengan penuh penyesalan, Devo menggeleng. Dalam hati berjanji, tidak akan mengulangi perbuatan buruknya lagi. Devo sadar, mencuri adalah perbuatan yang merugikan. Bukan hanya orang lain, tetapi juga akan merugikan dirinya sendiri.

“Besok pagi, kamu harus minta maaf pada Risna. Ibu temani.” Kali ini Bu Shinta tersenyum lega, “Ingat Devo, apa pun alasannya, mencuri adalah perbuatan tercela. Kalau kamu mau minta foto Risna kan bisa minta dengan baik-baik, nggak perlu sampai mencuri seperti ini.”

Sungguh, Devo malu sekali. Ini adalah pelajaran sangat berharga yang tidak akan pernah dilupakannya. Apalagi, Bu Shinta sudah berjanji, tidak akan memberi tahu Ayah soal ini. Bukan apa-apa, kalau sampai tahu Devo mencuri, Ayah bisa marah besar. Biarlah nanti kalau sudah siap, Devo akan menceritakannya pada Ayah, sekaligus minta maaf.

Sleman, 8 Februari 2018

Bruuuk, buuug!

“Aduuuh, sakiiit!” Devo merintih kesakitan, tubuhnya terjerembab ke dalam tanah becek berlumpur. Karena kurang fokus, ban depan sepedanya oleng dan menabrak tumpukan batu kali.

Perlahan, dengan menahan perih di kedua lututnya, Devo bangkit. Nanar, dipandanginya buku-buku pelajaran dan alat tulis yang berhamburan di jalan.

“Huuuh, kok jadi gini sih?” gumamnya, antara sedih dan menyesal. Andai saja dia tidak melakukannya. Begitulah penyesalan yang menggumpal di dadanya.

Devo sudah mencangklong tas sekolah kembali. Senyum kecut melengkung di wajah gantengnya. Ternyata, nggak semudah yang kubayangkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Lah, apa pun peribahasanya, sama saja. Aku sakit dan menyesal!

Akhirnya, Devo memutuskan untuk pulang. Masalah Risna, akan diselesaikannya nanti. Bagaimanapun, dia harus menghadapinya.

Saat bersiap mengayuh sepedanya yang dipenuhi lumpur itulah, Nanda dan Pita berseru memanggilnya. Membuatnya mengurungkan niat, “Ya?” jawabnya tak acuh, untuk menutupi rasa malunya.

“Aku nyari kamu di kantin,” ungkap Nanda yang ditimpali anggukan oleh Pita.

Sejenak hening, Devo hanya sanggup menunduk. Seketika, perang batin mengguncangya. Kembalikan. Tidak. Kembalikan. Jangan. Harus. Tapi aku takut. Jangan takut, kamu harus berani jujur!

“Eh Div, bantuin nyari doskrip Risna, yuk?” Pita menepuk bahunya, “Kasihan lho, ada uang SPP-nya juga.”

Ha, ada uangnya? Devo geragapan. Haduuuh, kok aku bisa sebodoh ini sih? Hanya gara-gara selembar foto, malah jadi runyam begini!

“Woooiii, Div?! Kok malah bengong? Ayo, bantuin?” Nanda menggoyangkan sepedanya, membuat Devo nyaris terjatuh.

Tidak ada pilihan lain. Devo harus segera menemui Bu Shinta. Semoga masih ada di sekolah, batinnya.

Tanpa berkata-kata, Devo memutar sepedanya kembali ke arah sekolah. Lalu, mengayuhnya secepat mungkin tanpa memperdulikan Nanda dan Pita yang heran dengan sikapnya.

“Devo, kamu ingat dongeng Si Kancil?” Bu Shinta mengusap lembut kepalanya, “Dia, dijauhi teman-temannya karena suka mencuri ketimun. Nah, Devo nggak mau kan kalau sampai dijauhi teman-teman?”

Dengan penuh penyesalan, Devo menggeleng. Dalam hati berjanji, tidak akan mengulangi perbuatan buruknya lagi. Devo sadar, mencuri adalah perbuatan yang merugikan. Bukan hanya orang lain, tetapi juga akan merugikan dirinya sendiri.

“Besok pagi, kamu harus minta maaf pada Risna. Ibu temani.” Kali ini Bu Shinta tersenyum lega, “Ingat Devo, apa pun alasannya, mencuri adalah perbuatan tercela. Kalau kamu mau minta foto Risna kan bisa minta dengan baik-baik, nggak perlu sampai mencuri seperti ini.”

Sungguh, Devo malu sekali. Ini adalah pelajaran sangat berharga yang tidak akan pernah dilupakannya. Apalagi, Bu Shinta sudah berjanji, tidak akan memberi tahu Ayah soal ini. Bukan apa-apa, kalau sampai tahu Devo mencuri, Ayah bisa marah besar. Biarlah nanti kalau sudah siap, Devo akan menceritakannya pada Ayah, sekaligus minta maaf.

Sleman, 8 Februari 2018

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.