Politik Perlu Berlajar dari Sepakbola

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Gaduh politik seperti gejala sindrom kuasa. Tidak hanya mencuri start. Para politisi mengoyak batin masyarakat untuk menciptakan kelatahan kuasa. Hasrat diri dicemarkan menjadi virus komunal dan dijadikam sebagai tontonan publik. Di sinilah politik tidak ada seni. Belajarlah dari sepakbola, mereka bertarung dalam sportifitas. Kebencian yang mengancam orang lain harus disingkirkan dan tidak ada yang melawan kecuali tetap pada koridor hukum.

SAYA pernah (dan selalu) berharap bahwa sepakbola akan menjadi alternatif bahan obrolan yang menarik ketika politik kita sudah sedemikian memuakkan. Sepakbola dengan jargon sportifitas dan segala proses depolitisasi-nya bisa menghindarkan kita dari pertengkaran sebab membahas perkara yang sensitif.

RelatedPosts

Jadi ketika melakukan obrolan tentang sepakbola, cukup membahas bagaimana Ronaldo melakukan tendangan salto ketika melawan Juventus, Arsenal yang menampilkan permainan malas-malasan di Liga Inggris dan bagaimana rotasi permainan serta strategi yang dilakukan Zidane selama melatih Real Madrid berhasil mengantarnya meraih juara Liga Champion dua kali berturut-turut.

Sepakbola juga menarik sebab berani melakukan depolitisasi atau melakukan penghilangan kegiatan politik di dalamnya. Mengutip artikel Zen RS dalam media online Detik.com, Giorgios Katidis pemain muda klub AEK Athens dan timnas Yunani harus menerima hukuman yaitu selamanya dilarang bemain di timnas Yunani. Hukuman ini dijatuhkan oleh federasi sepakbola Yunani menyusul selebrasi Katidis dengan mengangkat tangan kanannya ke arah suporter, seakan memberikan salut yang sering diperlihatkan Adolf Hitler saat memimpin Nazi.

Federasi sepakbola Yunani pun harus menghukumnya. Katidis kemudian dilarang bertanding membela timnas selamanya. Tingkah lakunya dianggap tak sensitif, melukai perasaan banyak korban Nazi, dan tak sesuai dengan “semangat” dan “karakter” permainan sepakbola.

Hukuman serupa juga pernah diterima oleh Striker Sevilla, Frederic Kanoute. Dia pernah membayar denda sebesar 4 ribu dolar saat dia menunjukkan dukungannya terhadap Palestina dengan menggunakan media kaos bertuliskan “Palestina” di balik jersey bolanya. Nicolas Bendtner pun harus merogoh kocek membayar denda, setelah memperlihatkan tulisan “Paddy Power” di pakaian dalamnya.

Masih mengutip artikel Zen RS, tindakan FIFA dan beberapa asosiasi sepakbola negara-negara terkait ini ‘didasari oleh keinginan agar sepakbola (semakin) diterima sebagai permainan global di seluruh dunia. Netralitas pun akhirnya digunakan sebagai tameng untuk mengatasi batasan-batasan politis. FIFA memiliki 200 negara sebagai anggotanya dan masing-masing memiliki isu politik dan sosial tersendiri; hari bersejarah, persaingan dengan negara tetangga, serta simbol politis masing-masing.’

Menjelang Pemilu tahun depan, semakin konyol saja perilaku yang ditampilkan pendukung kubu-kubu calon presiden

Netralitas dan otoritas pemberi sanksi ini yang belum secara maksimal kita jumpai dalam dunia politik kita. Menjelang Pemilu tahun depan, semakin konyol saja perilaku yang ditampilkan pendukung kubu-kubu calon presiden. Polarisasi yang sedemikian kuat muncul di media sosial akhirnya menemui momentumnya di dunia nyata.

Minggu kemarin beredar video seorang perempuan dengan anaknya tengah jadi bahan ‘bercandaan’ sekelompok orang di CFD. Sambil memegang tangan anaknya yang menangis sebab diintimidasi beberapa oknum dari sebuah kelompok dengan melakukan gestur memberikan ‘saweran’ atau memukul-mukulkan uang kertas yang mereka pegang kepada ibu dan anaknya. Sepanjang jalan perempuan dan anaknya dikerubungi dan diolok-olok. Dan tau apa masalahnya? Cuma beda kaos. Perempuan tersebut memakai kaos putih dengan tagar #DiaSibukKerja sementara gerombolan orang yang mengintimidasinya memakai kaos hitam dengan tagar #2019GantiPresiden.

Terlepas dari apa maksud framing atau pembingkaian penyebar potongan video tersebut, yang jelas insiden kecil itu memberikan pelajaran kepada masyarakat di tempat lain untuk bersikap lebih sadar dan wajar. Bahwa apapun dan siapapun yang anda dukung dalam pemilu, bukan menjadi alasan untuk melakukan perilaku diluar etika dan kewajaran. .

Apapun dan siapapun yang anda dukung dalam pemilu, bukan menjadi alasan untuk melakukan perilaku diluar etika dan kewajaran.

Toh apakah jika calon yang kita pimpin menang, bakal banyak perubahan selain kepuasan sebagai masing-masing golongan bisa menempatkan bagian dari kelompoknya di posisi tertinggi.? Jika mengutip artikel ‘Bonek, Keruntuhan Keadaban Publik’ oleh M. Akung (2010), akademisi Fakultas Psikologi Undip, maka apa yang tengah kita saksikan ‘sesungguhnya adalah perang kecil antarsesama anak bangsa yang sejatinya memalukan. Keadaban kita sebagai makhluk berakal budi nampaknya mulai runtuh.’

Regulasi dalam sepakbola mengajarkan, bahwa apapun agama dan afiliasi politikmu, diatas segalanya adalah sepakbola. Ketegasan pemegang regulasi dalam pemilu, Bawaslu dan kepolisian misalnya, terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam kontestasi politik juga masih belum tampak baik. Disamping kesadaran masyarakat kita untuk menempatkan politiks secara wajar saja sebagaiamana yang diajarkan Gus Dur juga masih belum terwujud.

Gus Dur ingin mengajak ditengah ketat dan tingginya potensi konflik sebab beda pilihan politik, tidak ada satu alasan-pun yang membenarkan kita untuk merendahkan martabat orang lain sebagai manusia.

Gus Dur dalam satu kutipan terkenalnya pernah menyatakan: ‘yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan’. Jika ditafsirkan, Gus Dur ingin mengajak ditengah ketat dan tingginya potensi konflik sebab beda pilihan politik, tidak ada satu alasan-pun yang membenarkan kita untuk merendahkan martabat orang lain sebagai manusia.

Lebih jauh, Gus Dur mengajak untuk saling terbuka dan menghindari perilaku intimidatif. Menurut Greg Barton (2003) dalam Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Gus Dur percaya bahwa untuk menjadikan Indonesia dapat memperoleh kematangan sebagai suatu bangsa, ia harus berani menghadapi musuh-musuh imajiner dan mengganti kecurigaan dengan persahabatan serta dialog.

Atau jika tetap ingin menyampaikan pesan agama dalam pertarungan politik, saran saya coba meniru apa yang dilakukan oleh pemain Liverpool Mo Salah atau juga pemain Arsenal, Mesut Ozil. Tentunya dengan performa permainan terbaik, keterbukaan dan kemampuan bekerjasama dengan rekan tim yang berbeda-beda latar belakang, pesan religiusitas dan identitas Islam Ozil dengan doa ‘mengangkat tangan’ setiap menjelang pertandingan dan selebrasi ‘sujud syukur’ Mo Salah bisa lebih mudah diterima.

Tidak perlu mati-matian memenangkan calon yang anda dukung, toh jika kita sadar, menjadi presiden di Indonesia pasca kemerdekaan sangat jauh lebih mudah dibandingkan di negara-negara lain. Tuhan memberikan keberkahan negeri ini dengan segala sumberdaya dan ekosistem bagi manusia yang ada diatas buminya untuk bertahan hidup.

Menjadi presiden di Indonesia, anda tidak perlu berpikir keras untuk melakukan proses industrialisasi sebagaimana negara-negara Eropa, sebab mereka tidak memiliki sumberdaya untuk diolah dan tanah yang subur untuk ditanami bahan makanan. Presiden di Indonesia juag tidak perlu mempersiapkan armada perang untuk menjajah negara lain sebab kekurangan rempah-rempah, kopi dan minyak bumi. Maka jika sekedar gara-gara pemilu dan anda musti merendahkan kelompok lain supaya bisa menang, itu kelewatan.

Maka sambil bersama-sama refleksi, siapkan kopi terbaik untuk begadang, menyaksikan Zidane mengatar timnya maju selangkah meraih trofi Liga Champion Eropa untuk ketiga kalinya.

Semarang, 30 April 2018

Luthfi Hamdani
Lahir 1995. Enam tahun di Kediri, empat setengah tahun di Malang, sekarang di Semarang

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.