Paman, Mengapa Salamku Kau Abaikan ?

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Hujan masih merinai mesra, ketika adzan Subuh menggema. Syukur dalam debur bahagia, begitu ringan hatiku untuk menjalankan syariat-Nya. Kini tugasku membangunkan suami dan anak-anak yang tertidur pulas. Ya, Jakarta menjadi kota besar yang sejuk setiap  kali hujan menyambangi bumi.

RelatedPosts

Sayup sampai di antara gemericik hujan, kudengar ada yang mengetuk pintu. Kutinggalkan dapur dan segala aktifitas di sana dengan penasaran yang begitu besar. Siapa pagi-pagi begini ?

Setelah memastikan tombol merah menyala pada rice cooker, aku mengambil kunci rumah yang biasa kami simpan di atas kulkas. Sejenak pandang kuedarkan ke sekeliling dapur. Cerek sudah duduk manis di atas kompor dengan api sedang. Mesin cuci pun sudah bekerja dengan sempurna. Di meja kecil dekat kompor, ada brokoli, bayam dan wortel yang tadi kutiriskan. Ahhh, kadang takjub pada diri sendiri! Penasaran demikian besar menggulung, tapi masih sempat mengamati sekitar. Mungkin, karena sudah menjadi rutinitias pagi sejak sebelas tahun silam. Ya, setelah menikah.

“Paman? Ya Allah, kok nggak kabar-kabar mau dateng?” Kaget aku, mendapati Paman basah kuyup di teras.

Aku sibuk mencari keset untuk Paman sambil nyerocos melempar pertanyaan-pertanyaan. Tapi tak satupun pertanyaanku dijawab oleh beliau.

“Ah mungkin beliau tidak mendengar,” kataku dalam hati.

Ya, karena aku bertanya sambil jalan sana sini mencari keset dan mengambil handuk untuk mengelap kepalanya yang basah oleh air hujan.

“Paman, ini teh hangatnya ya, di meja luar”

Aku bicara dari balik pintu kamar tamu yang tertutup rapat.

Tak lupa aku menyiapkan sarapan serta bekal untuk suami dan anak-anak, kemudian melepas mereka sampai diteras rumah. Jika pagi hari, anak-anak berangkat sekolah diantar oleh suamiku dan ketika pulang tugasku yang menjemputnya.

Mereka berangkat penuh semangat, aku mengerjakan tugas domestik lanjutan, mencuci piring, menyapu dan mengepel. Belum selesai mengepel lantai. Mesin cuciku menjerit artinya mencuci telah selesai dan pakaian siap dijemur.

Tak terasa jam dinding menunjukkan pukul 10.00 WIB waktunya jemput sekolah adek. Makan untuk Paman pun sudah saya siapkan.

“Paman, aku jemput adek dulu ya. Assalamu’alaikum..”

Lagi, salamkupun tidak terjawab. Nampaknya Paman masih tertidur pulas, kecapekan selama berjam-jam tubuhnya terguncang kecil oleh ular besi yang membawanya.

Baru beberapa meter aku menjalankan motor, tetiba terdengar bunyi panggilan dari handphone. Aku membiarkannya, nanti saja jika sudah sampai sekolah akan aku telp balik, pikirku. Namun nada dering itu kembali terdengar. Baiklan aku mengalah, menepi dan mematikan mesin motor. MAMI, sebuah nama nampak di layar handphoneku.

“Assalamu’alaikum. Ada apa Mi?”

“Wa’alaikumsalam, tidak apa-apa.  Ini mami mengabarkan kalau sekarang sudah di dalam bus perjalanan ke Sukorejo. Ada lelayu. Adik papi meninggal,” suara dari seberang sana yang nyaris membuatku tak percaya.

“Adik Papi meninggal ?” Tanyaku melongo tanpa melafat kalimat istirja’.

“Iya, adik papi meninggal..”

“Lho, Paman sedang main ke sini kok Mi. Beliau sedang tidur di rumah. Baru sampai tadi subuh kehujanan.”

“Yan, jangan bercanda kamu ya. Mami dapat kabar lelayu. Paman semalam kecelakaan dan meninggal.”

Aku masih tak percaya, kututup pembicaaran itu tanpa salam kemudian puter balik kerumah, memastikan bahwa Paman baik-baik saja dan sedang tidur dikamar.

Secepat mungkin aku parkir motor dan langsung membuka pintu menuju kamar tamu.

“Assalamu’alaikum, Paman, Paman !”

Berulang kali kuketuk-ketuk pintu, tapi tidak ada jawaban jua. Akhirnya kuberanikan diri mendorong. Betapa terkejutnya aku, ketika kudapati tempat tidur yang kosong dan semua benda utuh seolah tak tersentuh di tempat yang sama.

Mataku mulai menghangat. Ada genangan bening yang membola di sudutnya. Perlahan jatuh satu, dua dan menganak sungai di kedua pipiku. Tubuhku mulai lunglai. Jadi, kabar itu benar adanya. Lalu, lalu, siapa yang kuajak bicara subuh tadi? Ataukah ?

Pantas saja tangan yang kujabat dingin. Kukira karena air hujan. Pantas saja semua pertanyaanku tidak dijawab. Salam ini mungkin akan menjadi salam yang tak terjawab selamanya. Selamat jalan Paman.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un

Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosamu.

Jakarta, 26 Oktober 2017

Sugiyanti. terlahir di sudut kota Semarang, menjadi manusia bermanfaat merupakan salah satu misi kehidupan penulis, dengan rumah maya di www.sembilanhuruf.blogspot.com dan nomer handphone 085640401991. Sekarang berdiam di bumi Jakarta mengikuti dinas suami Danang Kurniawan bersama dua putri, Aisha dan Keisha. Penulis adalah ibu rumah tangga yang mengelola online shop bernama Gerai Dhanays. Menulis adalah hobinya. Awal Oktober 2017 telah terbit antalogi terbarunya yang ke 61 dengan judul “Bisnis Online, Cara Sukses Pejuang Online”

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.