Merdeka Belajar, Sudahkah Efektif untuk Pendidikan Kita?

329
SHARES
2.5k
VIEWS

Merdeka belajar tetap perlu dikritisi di masa awal pelaksanaannya secara nasional. Kebijakan Mas Nadiem menjadi peluang baru bagi idealitas pendidikan. Merdeka belajar beririsan dengan kemampuan menguasai teknologi informasi, khususnya ketika merdeka belajar juga berbarengan dengan pelaksanaan digitalisasi pembelajaran di masa pandemi. Nah, sejalan dengan idealisme tersebut, pertanyaan penting adalah, sudah seberapa efektif proses pembelajaran, evaluasi, dan dampaknya bagi perubahan kualitas pendidikan kita?
Kampusdesa.or.id — Kampus Merdeka merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang memberikan kesempaatan bagi mahasiswa-mahasiswi untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan. 
Kebijakan tersebut menyedot perhatian perguruan tinggi untuk mendesain kembali kurikulumnya agar sesuai dengan kebijakan tersebut. Sebelum kita melihat lebih jauh fenomena redesain kurikulum tersebut, mungkin perlu kita telusuri sebenarnya akar-akar kebijakan tersebut muncul, karena memang bagaimanapun juga tidak lepas dengan kegalauan presiden Jokowi bahwa Sistem pendidikan nasional harus mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, yang berkarakter kuat dan berakhlak mulia,”Ia juga menekankan bahwa sistem pendidikan nasional perlu menekankan pentingnya inovasi dan kemajuan teknologi. Untuk mendukung hal tersebut, ia ingin semua platform tekonologi bertransformasi mendukung kemajuang bangsa, “Peran media-digital yang saat ini sangat besar harus diarahkan untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan,” tutur Presiden Jokowi. (Harian Kompas, 2020).

Kreativitas hanya bisa dihasilkan dengan rasa Bahagia, maka arahkan siswa agar bisa belajar dengan perasaan Bahagia (Amka)
Baca juga: Merdeka Belajar dan Mas Mendikbud, Mengapa Banyak Ditentang?

RelatedPosts

Joko Widodo mengatakan saat ini Indonesia berada di era disrupsi, era yang sulit dihitung, era sulit dikalkulasi, era yang penuh risiko. Pada era ini perlu penguatan data dan perlu orang yang memiliki pengalaman bagaimana mengelola sebuah data sehingga bisa memprediksi masa depan. Big data ini penting untuk masa depan, Jokowi menambahkan Indonesia perlu orang yang mengerti betul mengenai pengelolaan dan penggunaan internet of Things (IoT), artificial Intelligence hingga big data. Ini kenapa pilih Mas Nadiem Makarim,” jelas Jokowi (Harian CNBC Indonesia, 2019).

Agar siswa mampu menjawab tantangan jaman sekarang, maka diperlukan kebebasan berfikir, perasaan bahagia sehingga siswa akan dapat mengeksplorasi potensi secara totalitas dengan perasaan bahagia.
Merdeka belajar sebenarnya konsep dasar yang dijadikan instrumen untuk menjawab kegalauan presiden dan menjadi problem di masyarakat Indonesia pada umumnya. Agar siswa mampu menjawab tantangan jaman sekarang, maka diperlukan kebebasan berfikir, perasaan bahagia sehingga siswa akan dapat mengeksplorasi potensi secara totalitas dengan perasaan bahagia. Modal bahagia tersebut akan menghantarkan siswa akan berpikir inovatif dan kreatif terhadap segala tantangan yang ada depannya termasuk tantangan penguasaan media digital. 
Mengukur efektifitas Kurikulum Merdeka Belajar
Baca juga: Interaksionisme Simbolik; Antara Lonte dan Merdeka Belajar
Ukuran yang kedua adalah sesuai dengan visi dan misi pemerintah menghadapi era digital, dimana literasi digital harus mampu ditingkatkan dan bisa bersaing dilevel dunia, kemudian literasi itu menjadi kompetensi siswa yang harus mampu diarahkan untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kompetensi digitalnya itu dengan memproduksi teknologi tertentu yang bisa bermanfaat dan memudahkan untuk masyarakat, karenanya model belajar harus dikembangkan sejak dini ke arah logika dasar data dan informasi, sehingga kurikulum memang disiapkan untuk berfikir masa depan.
Kita lihat survey yang dilakukan Kominfo 2020 ditemukan bahwa literasi digital di Indonesia belum sampai level “baik”, selain itu juga, semakin tinggi literasi digital, semakin rendah kecenderungan berkebiasaan positif dalam mencerna berita online (Status digital literasi Indonesia. Kominfo, 2020), sedangkan peringkat literasi digital dunia, Indonesia juga masih menduduki peringkat 56 dari 63 negara dunia. (Kominfo, 2020). Data tersebut menunjukkan masih rendahnya angka literasi digital masyarakat Indonesia, padahal sekarang adalah era informasi digital karena informasi yang paling sering diakses masyarakat serta informasi yang paling dipercaya masyarakat sekarang adalah media sosial. Itu artinya media sosial menyediakan informasi sekaligus masalah yang harus segera diketahui dan diselesaikan masyarakat.
Baca juga: Milenial, Kampanyekan Moderasi Beragama Di Ruang Digital
Belajar dari Arab Saudi yang menargetkan 5 besar dunia dalam percepatan teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial intelligence), Kerajaan Arab Saudi juga akan berupaya menghadirkan programmer komputer untuk setiap 100.000 warga, mereka menyiapkan alokasi dana khusus peningkatan sektor teknologi informasi dan komunikasi yang akan digenjot memiliki nilai hingga USD27 miliar atau setara Rp388,2 triliun hingga 2025 (Sindonews, 2021).
Untuk meningkatkan kompetensi digital setidaknya ada 5 framework yang harus digarap pemerintah melalui Pendidikan, pertama adalah literacy data dan informasi terutama kemampuan mengelola dan mengevaluasi data dan konten-konten digital, yang kedua adalah komunikasi dan kolaborasi terutama kemampuan berinteraksi dan sharing melalui teknologi digital, ketiga adalah digital content creation terutama mengembangkan konten digital dan kemampuan program, keempat keamanan terutama kemampuan melindungi data personal dan yang kelima adalah memecahkan masalah (problem solving) terutama kemampuan memecahkan problem teknis. Kelima Garapan tersebut harus menjadi kerangka kerja dalam pengembangan kurikulum merdeka belajar.
Siswa harus dipastikan belajar dengan perasaan bahagia, sehingga guru atau pengajar dituntut untuk mengajar dengan bahagia juga
Ukuran ketiga adalah sesuai dengan semangat Merdeka Belajar dimana siswa harus dipastikan belajar dengan perasaan bahagia, sehingga guru atau pengajar dituntut untuk mengajar dengan bahagia juga. Agar guru atau pengajar bisa bahagia, maka kebutuhan dasar guru setidaknya harus dipenuhi, kemudian guru harus mengajar sesuai dengan bidangnya serta guru harus diberikan apresiasi terhadap prestasi yang diraihnya, sehingga ketika guru bahagia, maka diharapkan energi kebahagiaannya juga bisa ditangkap oleh siswa sebagai suatu inspirasi yang harus ditiru.
Nadiem Makarim berencana melakukan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai ganti UN. Ada tiga aspek yang diukur. Yang pertama adalah literasi, Aspek tersebut tidak hanya mengukur kemampuan membaca, tetapi juga mengukur kemampuan siswa dalam melakukan analisis terhadap suatu bacaan. Kedua adalah numerasi yaitu kemampuan bernalar menggunakan matematika, dan yang ketiga adalah survey karakter (Jawapos, 2019) pengukuran karakter seharusnya menambahkan aspek kebahagiaan (happiness) agar pemerintah mengetahui tingkat kebahagiaan siswa secara nasional agar bisa menjamin proses pendidikan berjalan dengan perasaan Merdeka sesuai dengan cita-cita Merdeka Belajar.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.