Membandingkan Anak, Itu Kejahatan!

325
SHARES
2.5k
VIEWS

“Nih lho Dik, temenmu pas Play Group juara nari. Hebat, kan? Lha soale dia kendel kok, makanya juara. Kalau kamu nggak kendel, ya nggak juara!”

“Lha gambarannya bagus kok, ya jelas menang. Lha kamu? Nggambar kok kayak bening ruwet!”

RelatedPosts

“Dia diterima di SMPN 1 lha Kak, Wong juara satu. Kakak sih, kalau dikasih tahu Ibu ngeyel! Ya udah, jadi mepet kan nilainya? Mau sekolah di mana kamu, Kak? Malah mumet Ibu!”

Ayah & Bunda pernah mendengar atau melihat sikap orang tua yang seperti itu? Menekan dan menyalahkan anak atas hasil perjuangannya. Membandingkan anak dengan orang lain. Menuntut anak agar menjadi the best, sesuai dengan keinginannya. Saya pernah, sering bahkan.

Ya, tak jarang, orang tua keliru dalam memberikan motivasi dan inspirasi kepada anak. Inginnya memberikan motivasi agar anak lebih giat lagi dalam belajar, eh tapi malah membandingkan dengan orang lain. Disadari atau tidak, itu adalah tindakan yang menyakiti batin anak. Mengapa harus membanding-bandingkan? Toh, orang tua bisa memilih cara yang baik dan menyenangkan hati anak. Misalnya, dengan mengatakan:

“Dik, ingat nggak temen kamu di Play Group yang pinter nari? Nah, iya Fina. Hebat ya, Dik? Adik masih suka nari nggak, pingin ikut lomba nari nggak? Kapan-kapan, kita coba ikut lomba nari yuk, Dik? Biar dapet pengalaman.”

“Nggak apa-apa, Dik. Kemenangan bukan tujuan kita mengikuti perlombaan. Adik kan tahu, dalam perlombaan itu selalu ada dua kemungkinan. Menang atau kalah. Kalau kita menang, kita akan mendapatkan dua keuntungan. Kemenangan dan pengalaman. Kalau kita kalah, kita tetap akan mendapatkan pengalaman dan kemenangan? Lho, kok kemenangan? Iya, kemenangan melawan rasa takut dan tidak percaya diri kita.”

“Ibu bangga sama kamu, Kak. Akhirnya, kamu lulus SD dengan hasil perjuangan kamu selama ini. Alhamdulillah, terima kasih ya Kak? Semoga nanti Allah pilihkan sekolah yang terbaik buat kamu.”

Nah, Ayah & Bunda, bagaimana dengan contoh yang saya berikan? Lebih hangat, dekat dan penuh kasih sayang kan? Sebenarnya, tidak sulit kok, untuk menjadi orang tua yang dewasa, cerdas, tenang dan bijak dalam membersamai perjalanan hidup anak. Cukup dengan kesabaran hati, kekuatan jiwa, kecerdasan pikir, rasa dan karsa yang dilandasi oleh cinta dan kasih sayang.

Dengan kesabaran hati, kita akan menerima anak dengan lapang dada. Menerima segala sisi yang ada dalam diri anak, baik kekurangan maupun kelebihan.

Kekuatan jiwa, akan membuat kita mampu membantu anak untuk memaksimalkan kelebihan diri. Bukan hanya itu, kekuatan jiwa juga akan membantu anak untuk meminimalkan kekurangan diri. Bahkan, mengolah kekurangan menjadi keistimewaan.

Kekuatan jiwa, akan membuat kita mampu membantu anak untuk memaksimalkan kelebihan diri. Bukan hanya itu, kekuatan jiwa juga akan membantu anak untuk meminimalkan kekurangan diri. Bahkan, mengolah kekurangan menjadi keistimewaan.

Begitu juga dengan kecerdasan pikir, rasa dan karsa. Ini, akan membuat kita mampu berperang secara total sebagai guru bagi anak. Guru yang dekat, bersahabat dan penuh cinta kasih sayang kepada anak.

Bagaimana Ayah & Bunda, masih ingin membandingkan anak dengan orang lain?

Sleman, 25 Februari 2018

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.