Klothek-Klothek Tarawih

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Dua hari kemarin, karena tidak ada jadwal imam, saya Tarawih di tempat lain. Saya hadir di tempat sholat darurat untuk antisipasi Covid 19. Karena dalam 3 RT hanya ada satu masjid dan tidak ada tempat sholat lain, jama’ah dipisah menjadi dua, terpaksa jamaah satunya menempati gedung Paud. Di situlah saya hadir.

Walaupun tempatnya darurat tapi pelaksanaan ibadah berjalan lancar. Namun, ada satu “kearifan lokal unik” yang saya temui. Di sela-sela Tarawih, saat Bilal membaca sholawat penghubung rokaat, selalu saya dengar suara “klothek-klothek”. Pelan sekali suaranya, nyaris tidak terdengar. Saya penasaran dan berusaha mencari tahu, ada apa gerangan? Akhirnya ketemu… Sang Bilal yang berada dekat samping kanan imam memindahkan biji kopi ke dalam potongan botol Aqua. Ternyata biji kopi itu sebagai skor hitungan rokaat sholat Tarawih. Dia memastikan skor itu untuk kehati-hatian supaya jumlah rokaat tidak kurang, lebih atau sempurna. Unik sekali. Baru kali ini saya mendapati hal tersebut.

RelatedPosts

Dengan peristiwa itu saya jadi teringat masa kanak-kanak dulu. Ketika pergantian rokaat Tarawih, saya juga sering membuat skor. Walaupun kadang tidak ikut sholat secara lengkap, beberapa rokaat hanya duduk dan diam, tapi saya tetap membuat skor itu.Tujuannya waktu itu agar tahu sudah dapat berapa rokaat. Cuma, cara yang dipakai “nyekor” berbeda. Penyekoran yang paling saya ingat ada tiga, yaitu, memakai kapur tulis, hiasan sajadah dan jari tangan.

Waktu kecil saya, masjid di tempat saya masih sangat sederhana. Tembok hanya sebatas pusar orang dewasa dan atasnya berupa anyaman bambu. Lantai bukan keramik tapi masih bentuk “plester” (lapisan semen yang dihaluskan). Adapun alas lantai masih berupa tikar “klasa” (anyaman tanaman mendong) dan itupun belum tentu lengkap.

Penyekoran waktu itu saya memakai kapur tulis di lantai samping kanan di sela-sela tikar. Biasanya skor memakai bentuk pagar lima-lima. Jika kapur tulis habis, mencari reruntuhan cat kapur putih di dinding bambu yang mengelupas. Sekali salam diskor satu.

Ketika sudah ada perkembangan alas lantai berupa sajadah, penyekoran berubah. Ujung atas bawah sajadah biasanya ada hiasan benang. Diujung atas itulah saya pakai nyekor dengan cara, benang dikumpulkan dan dilekatkan sampai hitungan sepuluh.

Kadang saya juga memakai jari tangan. Satu salam diskor satu jari di lipat sampai lima. Salam keenam mulai lagi lipat jari pertama. Cara ini ada kelemahannya. Ketika jari dilipat otomatis saat besedekap, saat takbir, rukuk dan sujud cari tetap terlipat. Seperti orang “kuthung” (cacat tidak punya jari tangan).

Itulah caranya penyekoran bilangan Tarawih saya masa kanak-kanak dulu. Dengan skor itu, saya jadi tahu sudah berapa kali salam yang terselesaikan. Ketika sudah dapat 8/9 salam maka perasaan senang muncul karena sholat akan segera selesai.

Terkait dengan media pen-skoran ibadah, sebenarnya juga pernah didapati di masa Rosululloh SAW. Pernah suatu ketika Sa’ad bin Abi Waqosh bersama Rasulullah mendatangi seorang wanita yang di depannya ada kerikil atau batu kecil yang ia gunakan untuk membaca Tasbih. Lalu Rosul menganjurkan wanita itu untuk berdzikir sebanyak-banyaknya (HR. At-Tirmidzi).

Pernah pula Nabi memerintahkan wanita-wanita untuk menjaga dzikir dengan Takbir, Taqdis, dan Tahlil dengan menggunakan jari-jari. Sebab jari-jari tersebut akan ditanya dan diajak bicara di akherat (HR. Abu Dawud). Abdulloh bin Amr bin Ash pernah melihat Rosululloh membaca Tasbih dengan tangan kanannya (HR. Abu Dawud). Dalam riwayat Abu Nuaim juga dijelaskan bahwa Abu Huroiroh memiliki benang dengan 1000 ikatan. Beliau tidak tidur sebelum selesai membaca tasbihnya.

Dari beberapa keterangan hadits di atas jelas bahwa penggunaan skor dalam ibadah, termasuk dzikir sudah pernah terjadi di masa Rosululloh. Kerikil, jari tangan dan benang pernah dipakai masa itu. Hikmahnya, alat skor tadi akan menjadi saksi ibadah nanti di akherat. Dengan demikian, mudah-mudahan, jari tangan, benang hiasan sajadah, kapur tulis dan biji kopi yang digunakan skor Tarawih juga menjadi saksi kelak di akherat. Aamiiiin. Walloohu a’lam bish-showaab.

*Catatan mengenang indahnya Ramadhan di masa kanak-kanak.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.