Ketika Orang Tua Lupa untuk Menjadi Orang Tua

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Orangtua adalah sosok yang sangat berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Orang tua memiliki peran dalam mendidik anak, memantau perubahan fisik dan perkembangan psikologis anak, memenuhi kebutuhan psikologis anak. (Jinan, 2013).

Jika diibaratkan, orang tua itu layaknya seorang nahkoda. Didalam kapal pesiar, terdapat nahkoda sebagai pemimpin, awak kapal sebagai seorang yang membantu nahkoda saat berlayar menuju tempat tujuan dan penumpang sebagai seorang yang harus diantarkan ke tempat tujuan.

RelatedPosts

Nahkoda tidak hanya bertugas untuk mengantar penumpang ke tempat yang dituju. Melainkan nahkoda juga akan memastikan para penumpangnya merasa nyaman dan aman, sehingga para penumpang memiliki pengalaman yang menyenangkan.  Dalam hal ini seorang nahkoda juga harus paham apa sekiranya yang bisa membuat para penumpang nyaman dan aman. Begitu juga dengan orang tua.

Perumpamaan tersebut layaknya nahkoda seperti seorang ayah yang memimpin, awak kapal seperti ibu yang membantu mendidik anak, dan penumpang seperti seorang anak yang harus diantarkan menuju cita-cita yang hendak diraihnya.

Idealnya setiap orangtua mengetahui informasi tentang tahapan perkembangan anak di setiap jenjang umurnya, sehingga orangtua akan semakin mudah mengetahui sejauh mana pencapaian tahapan perkembangan anak dalam setiap tahapan usianya.  Orang tua hendaknya memfasilitasi anak untuk menemukan bakat, minatnya, dan akhirnya mengantarkan anak menuju cita-cita yang hendak diraihnya.

Orang tua bukan hanya sekedar membandingkan anaknya dengan anak temannya/tetangganya/saudaranya. Seperti, banyak ibu-ibu muda yang gemar mengunggah foto perkembangan anaknya di media sosial, yang berujung pada munculnya beragam komentar (baik dan buruk) dari ibu-ibu lain yang memiliki anak seusianya. Hal ini memicu perdebatan yang pelik tentang perkembangan anak, karena para komentator berdebat dan saling membandingkan tentang perkembangan anak yang lebih unggul. Orang tua juga jangan puas diri karena kemampuan anaknya lebih unggul disebabkan fase yang dilewati anaknya terlampau lebih cepat dari anak yang lainnya.

Seharusnya, para orang tua tidak perlu risau dan khawatir dengan beragamnya komentar (baik dan buruk) tentang perkembangan anak, karena perkembangan anak itu berbeda-beda dan tidak bisa diukur dengan cara membandingkan dengan anak lain.

Namun yang terjadi dimasyarakat adalah masih banyak para orangtua yang belum mengetahui tahapan perkembangan anak. Banyak juga orang tua yang memiliki anak namun tidak menjadi orang tua untuk anaknya (Chatib, 2014). Orang tua merasa, tak perlu tahu mehanu karena menganggap tahapan perkembangan hanyalah dokter dan guru PAUD saja yang harus tahu. Mereka lupa bahwa setiap anak memiliki keunikan yang berbeda dan memiliki potensi yang beragam.

Hal ini artinya, setiap anak dengan anak lain tidak bisa dipukul sama rata. Orangtua cenderung melihat perkembangan anaknya dengan membandingkan. Harapannya orangtualah yang akan lebih mengerti akan tahapan perkembangannya. Pada usia berapa si anak bisa tengkurap, merayap, merangkak, bicara, melompat, dan sebagainya.

Dewasa ini, banyak sekali orangtua-orangtua muda yang berpendidikan tinggi. Slogan yang selalu dibicarakan adalah wanita berpendidikan tinggi. tujuannya untuk melahirkan generasi-generasi yang cerdas, bukan untuk menyaingi lelaki. Terbesit harapan besar dalam slogan tersebut, bahwa wanita berpendidikan tinggi akan mendampingi anaknya dan cenderung memiliki kesadaran terhadap pemahaman yang lebih tentang tahapan perkembangan.

Namun yang terjadi dimasyarakat sekarang adalah slogan tersebut hanyalah sebagai motivasi untuk para wanita yang terus belajar sesuai dengan keilmuan saja. Elly Risman (dalam Chatib, 2014) menyatakan bahwa orang tua bersekolah untuk menjadi ahli di bidang masing-masing, tetapi tidak belajar menjadi ahli sebagai ayah dan ibu.

Orangtua yang mempunyai pendidikan tinggi yang dibarengi dengan atribut (baca: jabatan yang tinggi pada kantor tempat mereka bekerja, background pendidikan, jenjang pendidikan tinggi, identitas pekerjaan dan status sosial) cenderung terjebak pada situasi yang menuntut mereka untuk berfokus pada hal tersebut, sehingga orang tua yang demikian sering kali lupa diri untuk menyadari akan perannya sebagai orang tua. Kesibukan mereka menjadi salah satu alasan untuk mengesampingkan peran menjadi orang tua saat dirumah.

Seperti, seorang ibu yang berpendidikan tinggi, bekerja di perusahaan ternama, memiliki jabatan tertinggi, memiliki status sosial tinggi, dan memiliki seorang anak yang merasa belum memiliki waktu untuk menstimulasi perkembangan anak, serta belum memiliki kesadaran akan pentingnya informasi tentang tahapan perkembangan anaknya.

Hal tersebut yang membuat mengesampingkan stimulasi untuk anak. Namun ketika saya pelajari fenomena ini lebih jauh, ternyata saya bertemu dengan beberapa fakta yang sangat menarik utuk diulas bersama. Ada juga para orang tua yang berpendidikan tinggi, tidak bekerja (baca: fulltime bersama anak) ternyata juga masih belum memahami tahapan perkembangan anak dan belum memiliki kesadaran akan pentingnya memberikan stimulasi tahapan perkembangan anaknya.

Pada suatu ketika saya dan suami menghadiri acara arisan (teman suami) yang berdomisili di Malang.  Teman-teman saya rata-rata adalah para orang tua muda. Anak-anak kami juga banyak yang seumuran, beda 1 sampai 3 bulanan. Para istri ada kerja dan banyak juga yang ibu rumah tangga. Kami saling bercerita tentang tahapan anak-anak, ada yang berkeluh kenapa anaknya belum bisa merangkak, menganggap anaknya tidak suka tengkurap akhirnya susah merangkak, belum mau berdiri karena belum punya alat pembantu (baby walker), pernah diare lebih dari lima kali dan hanya pergi ke tukang pijat bayi dan hanya manut sesuai intruksi saudara-saudara karena merasa lebih berpengalaman.

Dari percakapan kecil tersebut, saya hanya bisa menyarankan untuk membuka kitab besar yang berjudul tumbuh kembang anak, karena memang anak memiliki keunikan tersendiri, tidak bisa dibandingkan dengan kemampuan perkembangan anak lain. Memiliki tahapan pencapaian tersendiri, dan semua tahapan perkembangan anak usia dini sudah terangkum cantik dalam buku tahapan perkembangan anak.

Pertanyaannya sekarang adalah maukah orangtua mencari dan belajar tentang hal tersebut. Disini lah letak bahwa orang tua perlu menyadari akan pentingnya kesadaran untuk terus belajar, membuka buku, membaca, berdiskusi tentang tahapan perkembangan anak. Orang tua perlu belajar tentang anaknya, bukan hanya melulu belajar tentang background pendidikan yang mereka tekuni (contoh:  kuliah arsitek, yang dipejari arsitek saja).

Akhirnya saya semakin penasaran sebenarnya indikator orangtua yang baik itu seperti apa sih? Meskipun ibu rumah tangga memiliki waktu lebih banyak dihabiskan dengan si buah hati masih belum cukup untuk mengantarkan anak nya berkembang sebagaimana tahapan perkembangannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh miftahul jinan (2013) seberapa hebat keberhasilan anak-anak sangat dipengaruhi oleh seberapa kuat komitmen yang kita berikan untuk mendukung mereka. Seberapa senang dan bahagianya mereka dalam menghadapi hidup ini sangat dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian yang kita limpahkan kepada mereka.

Atribut yang melekat pada orangtua sudah selayaknya dilepas. Dalam hal ini orangtua harus lebih mengutamakan tahapan perkembangan anak. Anak-anak belum mengerti tentang cerita kesuksesan orang tua, anak-anak belum paham tentang bagaimana kesibukan orang tua. Anak-anak hanya mengerti tentang bagaimana ayah dan bunda bisa membantunya untuk mencapai satu tahapan perkembangan dalam hidupnya, seperti membantu merangkak, berbicara, berjalan dengan baik dan sebagainya sesuai jenjang usia.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh rekan saya yang memiliki kesadaran menjadi orang tua yang utuh. Orang tua perlu waspada terhadap “perasaan” lebih benar atau bahkan paling benar, mari terus belajar dan terus berbenah, semakin belajar, akan semakin sadar diri kita bukanlah apa-apa. Sebagai orang tua, selayaknya menyadari betul akan perlunya menjadi pribadi pembelajar hingga akhir hayat.

Adanya latar belakang tersebut, kami Omah bocah Annaafi’ merupakan lembaga pendidikan anak usia dini memberikan kesempatan orang tua untuk belajar mengenai MENJADI ORANG TUA melalui program SEKOLAH AYAH BUNDA yang diadakan sekolah secara rutin. Program tersebut bertujuan untuk mewadahi orang tua dan guru untuk mempunyai komitmen bersama dalam rangka bekerjasama menstimulasi anak.

Omah Bocah Annaafi’ ikut merangkul ayah bunda agar selalu aktif dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Peran sekolah hanya membantu dan memfasilitasi, karena sekolah hanyalah media perantara yang dipilh orangtua untuk membantu dalam stimulasi setiap tahapan perkembangan anak. Terlepas dari orangtua bekerja ataupun menjadi ibu rumah tangga, orang tua tetap harus memahami tahapan perkembangan dan terlibat dalam pengasuhan anak.

Orang tua hendaknya melepaskan semua atribut (baca: jabatan yang tinggi pada kantor tempat mereka bekerja, background pendidikan, jenjang pendidikan, identitas pekerjaan dan status sosial) ketika orang tua sedang berada dirumah. Setiap orang tua boleh dipuja dan dipuji diluar sana, namun saat dirumah bersama anak-anak. Orang tua tetaplah berperan sebagai orang tua.

Dengan adanya kesadaran tersebut harapannya orang tua lebih paham akan keunikan-keunikan anak melebihi, memahami kebutuhan psikologis anak, memahami tugas tahapan perkembangan.

Akhirnya layaknya nahkoda, orangtua hendaknya mampu mengantarkan para penumpang sesuai tujuan masing-masing dengan sangat nyaman dan aman.

Daftar Pustaka
Christina, Ani. 2012. Sekolah Menjadi Orang Tua. Sidoarjo: Filla Press
Musbikin, Imam. 2012. Pintar Mengatasi Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: Flashbooks
Chatib, Munif. 2014. Orang Tuanya Manusia. Bandung: Kaifa

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.