Kelahiran Sekolah Rumah Sebelah

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Imajinasi menjadi pilihan masa depan. Kelahiran Sekolah Rumah Sebelah merupakan masa depan pendidikan Indonesia yang tersandung PPDB zonasi. Keadilan akses pendidikan adalah pekerjaan rumah ketika zonasi dimaksudkan sebagai sekolah yang berkeadilan untuk semua tetapi selalu ada yang tidak terpikirkan, ternyata sekolah yang ada masih ditemukan ada di pusat keramaian yang belum menjangkau kelompok masyarakat terjauh dari sekolah.

Kampusdesa.or.id–Saya sendiri tidak menyangka, tiba-tiba dibuka pendaftaran sekolah dengan jarak yang cukup dekat dengan rumah. Anak-anak berangkatnya tidak perlu diantar. Pelataran sekolah pun longgar dan penuh dengan pepohonan nan rimbun. Tidak ada lalu lalang orang parkir. Tidak ada jubelan mobil mewah dan sepeda motor sport dan feminin yang berjubel antri masuk gerbang utama. Bahkan, saking sepinya, jalanan di depan sekolah itu dibuat bermain anak-anak yang sedang menunggu bel sekolah.

Kedatangan mereka penuh kegembiraan seolah-olah tidak ada pekerjaan rumah yang belum tuntas karena memang tidak ada PR. Tidak seperti biasanya. Anak-anak berebut segera masuk kelas, sembari menunggu bel masuk, mereka bergerombol di bangku kelas untuk mencari tahu jawaban PR yang tidak bisa dikerjakan. Bahkan PR anak yang lumayan kurang serius di kelas menjadi rebutan karena dia berhasil menyontek dengan cepat PR temannya yang terkenal sangat rajin di kelas. Di sekolah ini, tradisi tersebut nyaris tidak ditemui. Anak-anak datang langsung berlari menaruh tas dan berhamburan bermain hingga di jalanan depan sekolah. Riuh banget. Tetapi mereka sungguh amat ceria.

RelatedPosts

Tidak ada pemandangan berjabat tangan tanda akan masuk halaman sekolah setelah anak=anak turun dari mobil atau sepeda motor. Mereka memang tidak diantar dan jabat tangan dengan orang tua sudah selesai dilakukan sebelum mereka keluar dari halaman rumah. Mereka dilepas orang tuanya cukup dari pintu keluar rumah. Anak-anak berjalan, ada yang sedikit berlari, dan seketika itu langsung bertemu dengan teman-teman tetangganya untuk jalan bersama berangkat sekolah. Riang gembira betul mereka.

Sekolah ini memang muncul dari kesadaran gotong royong masyarakat. Ada seorang yang dermawan. Mereka ditinggali warisan rumah limas (rumah joglo ala adat Jawa) dengan luas hampir 1000m2 plus halamannya. Rumah itu mau dibongkar dan dijual kayunya, tetapi karena selalu tidak cocok dengan pembeli, akhirnya dibiarkan mangkrak tidak terurus dengan baik. Entah apa yang menjadikan pewaris rumah limas ini berbaik hati mau meminjamkan rumahnya sebagai sekolah yang menampung anak-anak di sekitar rumah. Konon, ada bocoran yang nyeletuk, si pemilik rumah itu gemes melihat berita dari mulut ke mulut jika anak-anak tidak lagi sekolah gara-gara ada zonasi yang diterapkan pemerintah.

Pewaris rumah limas tersebut sebenarnya seorang pendiam di kampungnya, tetapi dia orang yang peka terhadap masalah di sekitar. Dia juga sering cangkrukan dengan beberapa perangkat desa dan orang-orang keren yang ada di kampung itu. Al-kisah, sebut saja Pak De Shony. Belum lama ini, Pak De Shony bergiat menjadi Satgas Covid-19 di kampungnya. Di kampung ini nyaris mereka tidak ada berita terpapar Covid-19. Ya, mereka telah terbiasa hidup dengan siklus ekonomi pendek dan organisme kampungnya mampu meningkatkan perputaran ekosistem hidup ke dalam, tanpa banyak mengandalkan ekonomi eksternal jalur panjang. Dan herannya, mereka juga bisa hidup layak. Saat pandemi Covid-19, kampung ini tidak gaya-gayaan, “walah, covid-19 itu konspirasi.” Tidak. Mereka tetap waspada dan bergotong royong melakukan sosialisasi hidup sehat, bahkan buah, sayur, dan protein dari kebun dan produksi rumahan disebar merata ke warga. Satgas kampung ini lebih suka menyosialisasikan makanan sehat yang harus dikonsumsi agar wabah Covid-19 tidak mampir di kampungnya. Kesibukan satgas lebih ke arah sehat ketimbang sakit. Aneh memang, tetapi ya begitulah kampung Pak De Shony.

Sekolah rumah sebelah. Imajinasi sekolah yang digagas oleh Rukun Tetangga menjadi ruang potensial di saat pandemi. Kerja volunteerisme pertetanggaan menjadi modal sosial pengembangan layanan belajar ramah anak.

Pak De Shony, mendadak nyletuk, “sudahlah, kalau pandemi ini bisa diatasi dengan gotong royong, dan pemerintah itu senangnya bukan main melihat gotong royong berjalan di kampung-kampung, tidak perlu ribut mengenai zonasi. Barangkali pemerintah dananya masih fokus ke penanganan pandemi sehingga pembangunan sekolah belum sempat di tambah agar zonasi menjamin keadilan tidak saja bagi anak yang bertetangga dengan sekolah, tetapi anak yang bukan tetangga sekolah negeri juga bisa sekolah dengan murah. Mari kita gotong royong.”

Sebagian orang kaget. Mendadak cangkrukan di poskampling hening. Tertawa berhenti mendadak. Mereka saling pandang dan kedap-kedip mata mengisyaratkan gestur efek aha dan saling sapa tapi dalam hati. Seperti biasa, Pak De Shony memang pendiam, tetapi kalau pas cangkrukan, kadang kata-katanya penuh gairah.

Baca juga:

Tanpa The New Normally Lifestyle In Learning, Sekolah Akan Menjadi Killing Field Anak-Anak Kita
Merumahkan Sekolah atau Sekolah Telah Mati
Membangun Solidaritas Sosial di Tengah Situasi Pandemi COVID-19

“Begini lo, mosok kamu tidak melihat update status facebook tempo hari dan melahirkan komentar yang cerdas. Beberapa orang di sini kan juga ikut berdiskusi di komentar itu, pungkas Pak De Shony.

Di status facebook itu seperti nada eufimis (bahasa singgungan). Pak Moh itu bilang, “zonasi sekolah cuma menampung anak yang tinggal di radius maksimal 1,8 km. Padahal sudah dijatah sekolah itu 90% yang diperkirakan menampung sampai dengan radius anak yang tinggal 5 km. Nah, kebetulan sekolah ada di tengah kota, sementara hunian yang padat di sekitar sekolah tak lagi diminati dan orang-orang kurang mampu cenderung tinggal menjauhi kota. Dia tawarkan solusi ketjeh. Pindah KK saja dekat sekolah, atau para pengembang buat lelang rumah dekat sekolah. Tukar guling penataan lokasi sekolah yang netangga dengan masyarakat terjauh, tertinggal, terpinggir, dan ter-ter lainnya. Pemilu saja TPS-nya merata, masak kalau pendidikan itu adalah hak setiap warga tidak diupayakan demikian.” Lagi-lagi, orang yang nyangkruk itu dehem-dehem, sembari ada yang menambah gestur seolah mengatakan, “lihat tuh, Pak De Shony sudah berceramah.”

Pak De Shony seolah tidak peduli dan melanjutkan ceritanya. “Menarik  status facebook pak Moh, bikin sekolah kampung, semacam PKBM. Apalagi dana desa sekarang ini kan berlimpah, daripada hanya berpikir desa wisata terus untuk dana desa?”

“Ada pak Kentar yang bilang di komentar atasmu itu Ril, pak Kentar itu mendirikan sekolah dimulai dari sekolah garasi.  Terus komentarmu Ril, sekolah kampung menurutmu sangat idealis.   Ada lagi komentarmu Kik, pilih calon kepala daerah yang mau kontrak politik buat sekolah dekat rumah.  Tok, Io, Ano, kamu juga nyerocos gitu di statusnya pak Moh, berangkat, nunggu dipanggil ngopi segala.  Sudah, apa yang bisa kita lakukan.” Pak De Shony mengakhiri kata-kata dicangkrukan tersebut.

Cangkrukan itu membahas ulang status facebook dan  pecah keramaian berdiskusi. Di cangkrukan itu kemudian lahir kesepakatan, rumah warisan pak De Shony menjadi tempat sementara bagi pendidikan anak-anak yang terpapar efek zonasi.

Sekolah itu menggunakan metode berfokus pada pembelajaran otentik ala orang desa. Bermainnya terjamin. Anak-anak memiliki kreasi permainan yang dijadikan mata pelajaran. Sekolah ini tidak mengenal PR karena kegiatan di kelas dan di luar kelas tidak ada bedanya. Semua anak dianggap berprestasi karena mereka menekuni minatnya masing-masing. Meskipun mereka tidak menang kompetisi, tetapi mereka selalu tuntas mengerjakan apa yang diminati. Ketika mereka mengerjakan secara tuntas, mereka selalu membikin pameran karya. Gurunya selalu menganggap karya setiap anak dan rombongan belajar itu sebagai prestasi.

Mereka jarang yang ikut kompetisi. Tetapi beberapa karya sekolah mereka kadang ada yang digunakan di sekolah, di rumah, dan kebutuhan bersama di kampung tersebut. Seringkali mereka bikin webinar untuk uji publik karya rombongan belajar yang dikembangkan. Meski mereka ogah-ogahan ikut kompetisi, tetapi karya mereka biasanya diuji publik oleh orang lokal yang ahli, atau kalau tidak ada mereka biasanya difasilitasi oleh gurunya agar karnya mereka direview oleh kenalan gurunya dari luar daerah untuk direview lewat webinar. Mereka lalu mendapat masukan untuk perbaikan karya. Murid-muridnya sudah terbiasa direview karya akhirnya dari orang lokal atau kadang ada dari luar negeri. Tetapi mereka suka banget kalau karyanya direview pak De Shony yang autis tapi suka teknologi jaringan, otak atik teknologi informasi. Senangnya, anak-anak boleh memetik buah ciplukan di ladangnya setelah mereka direview karyanya. Sekolah rumah sebelah telah menjadi solusi alternatif di tengah ketimpangan zonasi.

Sekolah rumah sebelah. Sekolah rumah sebelah. Beberapa orang yang ingin studi banding ke sekolah itu selalu bertanya, sekolah rumah sebelah itu di mana di kampung ini?

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.