Kampus Desa Medayoh; Menemukan Spirit Tanpa Batas

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Memulai gerakan sebaiknya mengedepankan harapan (pingin opo) dan potensi (duwe opo) daripada menguraikan masalah-masalah yang selama ini dihadapi. Pingin opo melekat sebagai motivasi, dorongan, pemantik dan duwe opo adalah bahwa diyakini setiap orang pasti punya selera, kegemaran dan ajimat. Daripada muter-muter mencari masalah, lebih ringan dan optimis duwe opo dan lantas dikembangkan dengan menghubungkan duwe opo – duwe opo yang lainnya. 

KAMPUS DESA Medayoh ke-2 ada di desa Pringgondani, Bantur Kabupaten Malang. Kami disambut dengan optimis oleh Ikatan Pemuda Desa Pringgondani (IKPDP). Kata Sulhan, IPDP belum lama berdiri. 40an hari IPDP muncul dan bergerak untuk Pringgondani. Tetapi hubungan dengan pihak lain sudah terjalin meskipun baru berdiri di Pringgondani.  Desa Pringgondani ada di kecamantan Bantur. Dalam dunia pewayangan, Pringgondani itu nama lain dari Gatutkaca.

Para rektor kampusdesa medayoh untuk menginspirasi, bukan membawa bantuan sembako, apalagi untuk alasan proyek dengan seambrek bantuan cash. Sebutan rektor biasa dikenakan dari setiap orang, terutama punggawa kampusdesa.

RelatedPosts

Nah, perjalanan ini tidak lain berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam membangun perubahan diri. Jika kedatangan kami diperlukan, ya proses komunikasi akan dilanjutkan. Sebaliknya, jika kedatangan kami tidak begitu dianggap penting, ya kami mencoba untuk melakukan penguatan pada kancah belajar, atau menggali narasi lokal yang dapat dijadikan sebagai ide penemuan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Semacam ngluruk keunggulan-keunggulan naratif orang-orang desa begitu.

Sekilas saja. Ternyata nama Pringgondani merupakan methapor (bahasa kiasan) yang acuannya pada seorang sosok hebat dalam pewayangan, yakni Gatutkaca. Sosok yang bersenjata Kuku. Ini menjadikan kami sedikit takjub dan agak-agak mistik memaknai perjumpaan ini. Apakah Pringgondani menjadi pintu isyarat bagi sebuah kebesaran-kebesaran di kemudian hari. Entah kampusdesa atau masyarakatnya sendiri. Setidaknya narasi daerah Pringgondani sedikit tergengam. Siapa tahu di kemudian hari bernilai tinggi. Apalagi ditemukan juga mereka pun mempunyai tradisi makan jagung dan tiwul karena kami dijamu dengan makan nasi campur empog dan tiwul.

PBNU ala Pesantren Rakyat sebagai Pengingat Masyarakat

Selain narasi tentang varians nasi, ditemukan juga kekhasan kopi Pringgondani. Menurut Binar (salah satu relawan kampusdesa), sajian kopi menunjukkan aroma yang khas dan tidak jauh beda dengan komoditas yang sudah masif. Bahkan, sudah terbersit mengembangkan pertanian kopi di Pringgondani karena rasa kopi orisinalnya setara dengan kopi-kopi yang dijajakan di caffe kota Malang. Sayang, kopi di Pringgondani seperti tumbuh tidak semasif di perkebunan kopi, padahal kualitas rasanya aduhai.

Semangat Otodidak Menjadi Penari Internasional

Meski di desa biasanya serba terbatas, tetapi anak-anak Pringgondani seperti tidak mengenal itu. Sulhan, salah satu penggerak di sini menceritakan, pertunjukkan tari sebagai pembukan kuliah di desa disajikan dari anak-anak perempuan sendiri. Mereka  tidak mempunyai guru tari, tetapi semangat ingin unjuk kebolehan melampaui keterbatasannya. Mereka belajar sendiri dari sumber-sumber internet. Jadilah tarian yang juga Indah. Bahkan, mereka terobsesi ingin menjadi penari internasional.  Al-hasil, mereka menyanggupi akan membuat pertunjukkan di penampilan berikutnya dengan tarian berirama internasional, termasuk kombinasi dengan teater sehingga mereka harus belajar menggunakan bahasa Inggris. Saya kasih tahu, mereka itu masih madrasah tsanawiyah kelas dua tetapi sudah berani menghadapi tantangan belajar go international.

Mengelola Harapan Melepaskan Belenggu, Sebuah Pendekatan Apresiatif

Kuliah dimulai dengan sedikit perkenalan. Saat mencoba memfasilitasi, awalnya langsung dipancing dengan pertanyaan, masalah apa yang sedang dihadapi oleh teman-teman yang kuliah bareng ini. Satu per-satu masalah ditemukan, namun semakin banyak identifikasi masalah, maka semakin terasa beban untuk maju menjadi lebih besar sehingga saya sendiri merasa jauh lebih sulit. Nah, setelah identifikasi masalah secara sekilas selesai, maka dilanjutkan sesi itu dengan membangun keinginan atau kemauan berdasarkan tiga pertanyaan,

  • Pingin opo (Apa yang diinginkan oleh para pembelajar)
  • Duwi opo (Apa saja yang kita miliki untuk mencapai keinginan itu), dan
  • Langkahe opo (Apa cara yang digunakan untuk mencapai keinginan itu berdasarkan apa yang dimiliki)

Mereka dikelompokan menjadi tiga kelompok. Setiap kelompok disarankan untuk mengidentifikasi keinginannya secara bersama. Sementara bagi kelompok dewasa, mereka diminta menuliskan harapan kelompok dan harapan individu. Bermula dari sini, beban masalah disingkirkan terlebih dahulu sehingga mereka tidak diajak untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi karena nampaknya menemukan solusi atas masalah yang dihadapi lebih condong memberikan beban berlipat daripada mengembangkan sumberdaya yang sudah dimiliki untuk didorong berkembang secara bertahap.

Asal kemauan itu kuat, maka setiap orang akan selalu menemukan cara belajarnya dengan baik. Ini adalah awal dari fondasi mental yang harus dikuatkan untuk membangun desa

Kemauan atau harapan yang ada dikuatkan dan sumber kekuatan yang dimiliki diidentifikasi. Suatu contoh yang sudah ada adalah kemauan untuk menari. Kemauan ini dikuatkan. Ketika sudah kuat ternyata para anak-anak gadis desa tersebut bisa belajar sendiri tanpa adanya guru tari. Mereka memanfaatkan sumber belajar dari youtub dan didukung oleh orang lain untuk melengkapi kebutuhan menarinya. Dengan begitu kemauan yang tinggi akan melahirkan cara belajar otodidak. Asal kemauan itu kuat, maka setiap orang akan selalu menemukan cara belajarnya dengan baik. Ini adalah awal dari fondasi mental yang harus dikuatkan untuk membangun desa, utamanya bagi anak-anak muda desa untuk selalu berkembang positif. Ketika seseorang memiliki harapan tinggi, dia akan menemukan kekuatannya dan dariNYA langkah-langkah dapat disusun secara bersama-sama. Pendekatan mengapresiasi melalui mimpi (harapan) menjadikan mereka lebih optimis daripada mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya. Harapan-harapan (pingin opo), ketersediaan sumberdaya (duwe opo) dan langkah yang ada (langkahe opo) pada akhirnya juga mengarah ke penemuan solusi dari masalah yang sudah teridentifikasi, tetapi lebih ke semangat positif daripada mengidentifikasi masalah. Perlahan-lahan mereka mulai bisa menemukan gambaran realistik untuk melangkah maju.

Mempertemukan Duwe Opo

Ada contoh lagi yang menarik, ketika beberapa pemuda ditanya mengenai masalah, mereka mengatakan, ada masalah mengenai pengangguran. Namun, saat ditanya mereka ingin apa, jawabnya ingin memiliki pekerjaan. Lantas mereka ditanya, duwe opo (punya apa), awalnya memang mereka diam dan bingung karena merasa tidak punya apa-apa. Pertanyaan dilanjut, apakah punya teman, punya kegemaran dan beberapa kemungkinan lain yang dipunya. Pemuda tersebut menjawab, punya kenalan yang hobinya membuat kue pisang.  Dia katakan juga sudah sering latihan mengolah pisang dengan berbagai cara tapi masih belum tepat komposisinya sehingga hasilnya kadang kenyal, kadang lembek. Selain itu, dia juga suka jualan, alias punya kegemaran marketing.

“Pemberdayaan masyarakat bukan tentang bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi menggerakkan potensi untuk saling pengaruh mempengaruhi membentuk keuntungan bersama.”

Nah, di sebelahnya, ada seorang perempuan yang sudah lumayan berpengalaman dalam dunia jahit menjahit.  Cuma, dia merasa malu jika berurusan dengan jual-menjual, alias marketing. Saling gayung bersambut. Seorang ternyata gemar berjualan dan satunya sulit berjualan tetapi memiliki keahlian menjahit dan sudah dipesan ke beberapa tempat. Menganalisis dan memetakan duwene opo dapat memberikan pijakan jikalau komunitas sebenarnya memiliki kekuatan, namun ketika basis analisisnya masalah, niscaya akan jauh lebih sulit untuk memecahkan masalah itu karena berpikir cara didasari oleh kebiasan menciptakan atau menemukan solusi. Sementara, jikalau duwene opo, tinggal mengikatkan antar-kegemaran menjadi jalur baru. Jadi, di sini ditemukan, “pemberdayaan masyarakat bukan tentang bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi menggerakkan potensi untuk saling pengaruh mempengaruhi membentuk keuntungan bersama.”

Pekerjaan Rumah IPDP

Kuliah ngopi bareng diakhiri dengan pekerjaan rumah,

  • Membuat pertunjukan international dancing yang diciptakan sendiri dari dalam komunitas Pringgondani dari gadis remaja Pringgondani yang menyukai kegiatan menari dan senam
  • Bagi yang dewasa, ada beberapa pilihan. Pilihan kelompok disepakati untuk mencari inovasi produk tebu sebagai produk olahan rumah tangga alternatif (pilihan selain disetor ke pabrik). Ada juga proyek individu yang suka membuat kue berbahan dasar dari pisang, pada pertemuan selanjutnya akan mempresentasikan hasil olahan kue pisang. Jika ada yang lain punya kegemaran lain, maka mereka dapat membawa produk-produknya untuk dipresentasikan di pertemuan berikutnya.

Dibutuhkan Relawan Pengajar Kampus Desa

Pertemuan ini menyentak kami, bahwa ketika proses belajar masyarakat diwadahi atau diakui, mereka akan menemukan potensi hebatnya dan melalui keterbukaan sumberdaya, mereka dapat menemukan caranya untuk berkembang. Jika anda berminat menjadi Relawan Mengajar Kampus Desa untuk Wilayah Desa Pringgondani Bantur Kabupaten Malang untuk bidang 1) Marketing dan 2) Olahan alternatif sumberdaya pertanian lokal (tebu, pisang dan kopi) silahkan menghubungi Alfin Mustikawan atau Binar di nomer admin web di bawah (header halaman muka web kampusdesa). 

Joyogrand Malang, 30 Maret 2018

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.