Ilmu Bukanlah Alat untuk Mencari Kekayaan, Benarkah Intelektualitas Tidak Menjamin Kesuksesan?

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Jalan pengasingan diri dari dunia yang diukur dengan kesuksesan materi itu nanti bisa jadi berhenti. Salah satunya setelah para pemuda itu memberanikan diri untuk MENIKAH. Menikah artinya berkompromi dengan pikiran orang lain, yang kita nikahi. Intinya, pada akhirnya kamu harus mencari duit. Okelah jika kami pernah bilang duit tak bisa membahagiakanmu, setelah menikah kamu butuh melihat istri dan anak senang. Dan kamu akan susah jika tak ada biaya untuk hidup mereka. Mendapatkan biaya dibutuhkan intelektualitas dan skill (kemampuan), namun benarkah intelektualitas menjamin kesuksesan?

Kampusdesa.or.id–Usia remaja. Rasa ingin tahumu besar. Ketika diarahkan baik-baik, kamu akan bisa menjadi pembelajar. Kamu  akan berproses untuk mencari tahu lebih banyak. Bertanya-tanya, tak mudah percaya, melatih  pikiran kritis. Namun, terkadang ada juga yang cepat mati (dalam berproses), habis jiwa pikirannya sebelum cukup berproses.

Salah satu yang mematikan keinginanmu belajar adalah ungkapan dari orang yang lebih tua: “Untuk apa belajar dan jadi pintar dan kritis, orang pinter dan bernalar tak lebih dihargai daripada orang  kaya!”

RelatedPosts


Bagi mereka yang sejak remaja punya pengalaman bahwa untuk bisa menjalin hubungan dengan perempuan dengan rayuan puisi dan ideologi daripada rayuan pemberian-pemberian materi, tentu ungkapan pragmatis anti-intelektualisme semacam itu tak akan begitu berpengaruh. Terutama mereka orang-orang yang suka hal-hal berbau intelektual, suka terus belajar, dan hasil belajar mereka ternyata juga membantu memudahkan hidup mereka untuk cari “makan”, hal itu membuat mereka lebih mempunyai daya tahan untuk percaya pada proses pencarian terhadap ilmu pengetahuan dan hal-hal berbau intelektual.

Memang tak banyak orang yang menghargai kemampuan berpikir daripada kemampuan cari uang dengan cepat. Pikiran itu tak tampak langsung. Sedangkan materi kelihatan langsung. Uang misalnya, dalam jumlah banyak, pasti membuat mata terbelalak. Rumah bagus, mobil, atau kepemilikan-kepemilikan lain lain yang bendawi, tentu terlihat jelas dan membuat  orang mudah terfokus padanya.

Lalu kenapa orang yang pikirannya  cerdas, imajinatif, bernalar, kritis, tidak dengan serta sukses dan kaya atau malah kebanyakan secara ekonomi dipandang hidup mengenaskan?

Memang saking imajinatifnya mereka, mereka punya pandangan hidup di luar orang kebanyakan atau rata-rata. Mereka yang kritis tak mudah terpukau pada hasil berupa hal yang material. Cara mereka mencari kebahagiaan tidak semata tersandarkan pada materi. Mereka terbiasa menikmati proses pemaknaan terhadap suatu benda, posisi, dan kondisi material.

Mereka yang kritis tak mudah terpukau pada hasil berupa hal yang material.

Mereka kadang-kadang juga menjaga sikap diri agar tak terlalu kelihatan ambisius dalam hal material. Salah satunya karena para panutan mereka adalah ilmuwan dan filsuf yang memang tak suka mengejar materi, tetapi justru menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan (atau perubahan) masyarakatnya. Pada saat yang sama, mereka juga melihat banyak anomali pada diri orang-orang yang ambius, terutama para penguasa yang dipandangnya seringkali melakukan kebijakan-kebijakan yang menyimpang.

Bahkan mereka tahu bahwa mereka harus menjaga dari posisi kekuasaan (kekayaan). Mereka mungkin juga mengetahui bahwa kekuasaan dan kekayaan itu akan menggoda dan melenakan. Mungkin itulah yang menyebabkan para pemikir, filsuf, tokoh revolusiner itu bukanlah model peran atau panutan bagi masyarakat banyak!

Dalam budaya kapitalistik, di mana orang-orang kaya menjadi penampil utama di panggung budaya dengan gaya hidup dan omongan-omongan dominan di media populer, kesuksesan berupa kondisi kaya adalah ukuran keberhasilan hidup. Panggung budaya elitis itu berisi  tampilan orang-orang cantik dan ganteng, dengan kepemilikan-kepemilikan dan waktu luang yang dipamerkan lewat acara-acara TV semacam “gosip selebritis”, misalnya.

Lagian, para artis yang sering ditampilkan adalah yang intelektualitasnya rendah. Omongan-omongan mereka dalam acara-acara TV dan media lainnya, atau dominannya penampilan dengan penonjolan pada sisi fisik (tubuh cantik dan seksi), menjadi doktrin bagi masyarakat—apalagi masyarakat yang terus didorong agar jauh dari proses belajar dan berpikir kritis.

“Jalan berpikir filosofis dan berpikir kritis ini memang harus ditempuh dengan menolak upaya-upaya untuk mencari penghasilan material yang hanya akan membawa jalan ke arah hedonisme!”

Semakin dominannya panggung budaya dengan gaya dan ucapan orang-orang kaya sebagai ukuran kesuksesan, para pembelajar yang mulai mengarah pada tradisi “milsuf”, dan semakin menyangkal ukuran-ukuran dekaden itu dengan cara membangun konsepsi diri salah satunya dengan berkata pada diri sendiri: “Jalan berpikir filosofis dan berpikir kritis ini memang harus ditempuh dengan menolak upaya-upaya untuk mencari penghasilan material yang hanya akan membawa jalan ke arah hedonisme!”

Jalan pengasingan diri dari dunia yang diukur dengan kesuksesan materi itu nanti bisa jadi berhenti. Salah satunya setelah para pemuda itu memberanikan diri untuk MENIKAH. Kenapa—setelah menikah—ia  berhenti dari berpikir cuek pada mencari materi  dan mulai memikirkan bagaimana mencari duit?

Ya karena ia tak lagi bisa independen. Menikah artinya berkompromi dengan pikiran orang lain, yang kita nikahi. Eksklusifitas hubungan dalam menikah itu butuh biaya. Menikah butuh rumah. Rumah butuh biaya. Lalu punya anak. Biaya hidup anak-anak harus dengan duit, bahkan sejak anak belum keluar dari perut istri, sudah butuh biaya. Betapa mahalnya biaya melahirkan. Menikah berarti membangun keluarga. Keluarga satu tak boleh tergantung pada orang lain, kecuali keluarga itu adalah bapak dan ibumu.

Jika kami pernah bilang duit tak bisa membahagiakanmu, setelah menikah kamu butuh melihat istri dan anak senang. Dan kamu akan susah jika tak ada biaya untuk hidup mereka.

Tapi setelah berkeluarga, minta duit pada keluarga lain itu lucu. Kalau minta pada orangtua itu bisa tapi tak akan bisa selamanya. Mendingan minta warisan sekalian, jumlahnya besar. Tapi minta warisan itu juga bukan hal yang pantas. Intinya, pada akhirnya kamu harus mencari duit. Okelah jika kami pernah bilang duit tak bisa membahagiakanmu, setelah menikah kamu butuh melihat istri dan anak senang. Dan kamu akan susah jika tak ada biaya untuk hidup mereka.


Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.