Demokrasi dari Desa, KPU Trenggalek Tingkatkan Pendidikan Pemilih

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Demografi desa punya karakter pemilih khas. Model kehidupan mereka lebih bercorak kelompok, paternalistik, dan boleh jadi lebih bernalar dengan fundasi kultural yang kuat. Model itu bisa memberi peluang dimanfaatkan untuk mendulang suara secara kotor. Nah, bagaimana desa dapat menjadi tonggak penting kualitas Pemilu yang demokratis? Nampaknya, desa pun butuh diajak membangun komunikasi melalui pendidikan pemilih sehingga desa dapat menopang kualitas Pemilu pada setiap pemilihan Presiden, legislatif, kepala daerah atau berbagai praktik pemungutan suara yang melibatkan desa. Seperti apa KPU Trenggalek memasuki pendidikan pemilih di Trenggalek!

Kampusdesa.or.id–Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang melirik desa sebagai ‘lokus’ yang dijadikan sasaran pendidikan pemilih. Program yang telah dirancang dan sudah diluncurkan tahun ini diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi, khususnya demokrasi elektoral sebagaimana menjadi perhatian lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan Pemilu ini. Meskipun tahun ini baru dilaksanakan tiap propinsi di dua desa, setidaknya bisa menjadi “pilot project” untuk diteruskan di tahun depan di lebih banyak lokus (desa).

Program tersebut bertajuk Desa Peduli Pemilu/Pemilihan (DP3). Bentuk kegiatannya adalah mengadakan pembelajaran bagi tokoh-tokoh desa yang mewakili segmen pemuda, perempuan, kaum perempuan, tokoh keagamaan, dan tak ketinggalan adalah penyandang disabilitas. Puluhan kader akan direkrut dalam sebuah pelatihan tentang Pemilu dan Demokrasi, Partisipasi dan Komunikasi Publik, juga teknik-teknik yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu/Pemilihan.

RelatedPosts

Kenapa pendidikan pemilih harus diperkuat di desa ?

Meskipun terlambat menengok desa, jika acuan perhatian umum pada desa adalah UU Desa (UU Nomor 6 tahun 2014), kegiatan ini tetap harus kita sanggup gembira. Pertama, desa adalah lokus penting yang menjadi sasaran dan perhatian. Mengingat basis masyarakat sebuah negara bernama Indonesia ini adalah desa. Pada kenyataannya, fokus perhatian penyelenggara Pemilu maupun kontestan pemilihan (partai politik dan perseorangan) tetaplah desa. Karena di desalah tempat pemungutan suara ada. TPS (tempat pemungutan suara) adalah tempat kejadian di mana suara diberikan dan pilihan politis warga diputuskan.

Baca juga: Urgensi Literasi Dalam Pemilu (Bagian 3)

Kedua, dari desalah peristiwa dan tingkahlaku politik itu riil terjadi. Para politisi melirik desa sebagai tempat melakukan mengorganisir gerakan politik. Partai politik harus mendirikan ranting-ranting partai di desa, mengorganisir tim kampanye, relawan politik, dan dalam politik “pil-pilan” kegiatan yang membentuk tingkahlaku pemilih terjadi—salah satunya adalah politik “transaksional” di mana suara bisa dipertukarkan dengan “amplop”.

KPU ingin memasuki desa dengan cara melakukan desain pendidikan pemilih lewat program DP3 ini. Salah satu isunya memang “Politik Uang”

Poin ini menagih sebuah upaya agar juga dilakukan perhatian yang lebih di desa, utamanya gerakan penyadaran dalam memberantas perilaku politik pragmatis-oportunis di desa. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah meluncurkan program “Desa Anti-Poltik Uang” beberapa tahun lalu. Sementara KPU ingin memasuki desa dengan cara melakukan desain pendidikan pemilih lewat program DP3 ini. Salah satu isunya memang “Politik Uang”, tapi tidak sekedar itu. Banyak isu yang bisa dijadikan bahan untuk masuk kesadaran massa rakyat dalam merubah kesadaran baru menuju Pemilu 2024 yang lebih berkualitas.

Ketiga, dalam posisi KPU selaku penyelenggara tentunya juga akan menjadikan pusat kegiatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyibukkan ketika tahapan Pemilu sudah masuk. Nantinya KPU akan merekrut panitia tingkat desa dan tingkat TPS yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui rekrutmen terbuka. KPU juga sudah melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang ingin mendata data pemilih tiap desa, yang nantinya pada saat tahapan formal tiba akan dilakukan secara serentak dan massif dengan dibantu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang juga direkrut dari orang-orang pilihan dari desa.

Baca juga: Literasi Baca-Tulis dan Demokrasi (Bagian 2)

Ketika tahapan kampanye, KPU juga butuh partisipasi warga desa untuk mencari dan mendalami informasi tentang calon yang akan mereka pilih. KPU akan memasang atribut-atribut kampanye atau alat peraga kampanye yang difasilitasi oleh angaran negara (spanduk, baliho, umbul-umbul). Juga masa yang paling puncak, yaitu pemungutan suara di mana suara warga desa di tentukan di dalam bilik suara yang didirikan di desa-desa.

Mendatangi desa dengan program pendidikan pemilih merupakan pilihan yang tepat.

Melihat kenyataan bahwa tahapan demokrasi elektoral secara nyata bersentuhan dan hidup secara paling konkrit di desa, maka mendatangi desa dengan program pendidikan pemilih merupakan pilihan yang tepat. Tidak ada kata terlambat, karena demokrasi memang proses yang terus berjalan dan praktik penyadaran politik untuk warga merupakan investasi jangka panjang.

Belum lagi kalau bicara demokrasi secara umum, katakanlah demokrasi yang penyelenggaraannya di luar yang ditangani KPU. Atau katakanlah demokrasi dalam makna lebih luas, tetap diperlukan suatu kesadaran untuk menjadikan desa sebagai lokus pembangunan demokrasi dan penyadaran politik secara lebih luas. Apalagi sejak UU Desa sudah disahkan, desa memang diarahkan pada kehidupan yang lebih mandiri dengan partisipasi warga yang tinggi dan nilai-nilai demokrasi diperlukan di dalamnya.

Baca juga: Literasi Demokrasi: Sebuah Ancangan Awal (Bagian 1)

Di luar konteks Pemilu/Pemilihan yang dikawal oleh KPU. Demokrasi elektoral di desa bukan hanya Pilkades (pemilihan Kepala Desa). Setidaknya ada beberapa topik dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 yang bisa dikatakan terkait dengan demokrasi desa. Di antaranya, misalnya, adalah (1) Pemilihan Kepala Desa secara langsung; (2) BPD sebagai lembaga perwakilan masyarakat desa; (3) Musyawarah Desa sebagai forum artikulasi warga desa dalam turut merumuskan kebijakan desa; (4) Laporan Pertanggungjawaban Pemdes dan Afirmasi terhadap warga desa untuk turut mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa.

Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di desa, setidaknya butuh dipantik oleh gerakan penyadaran melalui berbagai desain kegiatan. Ruang penyadaran harus didesain untuk membuat partisipasi warga desa tidak sekedar formalitas

Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di desa, setidaknya butuh dipantik oleh gerakan penyadaran melalui berbagai desain kegiatan. Ruang penyadaran harus didesain untuk membuat partisipasi warga desa tidak sekedar formalitas—apalagi sekedar manipulasi administrasi mekanisme demokrasi. Butuh partisipasi yang tinggi, kesadaran kritis warga, agar mereka terlibat dalam proses pengambilan kebijakan, punya suara untuk ikut membangun desanya, juga melakukan kontrol terhadap tendensi koruptif dan elitis di desa.

Salam Berdemokrasi!, Salam Berdesa!, Pemilihan Berdaulat Negeri Kuat!

Pemilih Berdaulat Negera Kuat!

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.