Ngece Pahlawan Devisa

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Tulungagung mencapai triliunan rupiah yang hanya diperoleh dari pengiriman uang pekerja migran. Gelimang uang ini sudah menggoyang daya tarik sekian lama bagi setiap angkatan kerja desa yang ingin cepat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Namun, seorang anak petani bernama Nirwan, bisa membanggakan diri di depan temannya jebolan TKI Malaysia. Dia katakan, tidak kalah lo, meski saya menekuni pertanian, saya pun bisa beli mobil, sedangkan kamu belum juga punya mobil.”

kampusdesa.or.id–Petani muda di desa yang kotanya mendulang devisa dari TKI, berseloroh pada seorang pemuda jebolan Malaysia, “apa to hasilmu selama ini kerja ke luar negeri, apalagi harus meninggalkan anak dan istrimu serta keluargamu, rizkimu terlalu lama kamubkumpulkan. Saya saja yang mengolah lahan sawah di sini dengan menanam semangka, melon dan beberapa hasil tani di sini, tidak kalah dengan kamu. Saya bisa membeli mobil dan bisa mendulang rupiah berjuta-juta rupiah. Tak kurang rezeki yang bisa saya kembangkan untuk menafkahi keluarga, membangun rumah dan kebutuhan lainnya.” Kisah Khoirul menceritakan temannya yang sukses sebagai petani di Kecamatan Kalidawir Tulungagung.

Ribuan hektar sawah membentang di sepanjang desa-desa di kecamatan Kalidawir. Khoirul yang tamatan Tsanawiyah ini pun juga anaknya petani dan ibunya seorang pedagang mracang sembako di dua pasar tradisional. Lingkungan asuh Khoirul tak lekang oleh inspirasi petani dan wirausaha, tetapi mengapa kok dia tidak terjun saja ke pertanian dan belakar berwirausaha.

RelatedPosts

Sambil terkekeh serasa mengungkapkan hasil kecean temannya, Khoirul melanjutkan kisahnya. “Duh, saya diece gitu Kang. Nirwan memang berani dan melalui pengalamannya bergaul dengan para petani, Nirwan memang pemuda yang dulu suka mencoba-coba profesi sebagai peternak sapi dan latihan mengolah sawah. Nirwan memang hanya punya sawah 10 ru milik ayahnya. Sawah ini awalnya hanya ditanami sesuai musim saja dan hasilnya ya paling hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tidak bisa hasilnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya sendiri.”

Khoirul kemudian mengambil kacang goreng untuk dimakan. Sembari dia lanjutkan ceritanya. “Lah, Nirwan pemuda yang memang tidak punya pilihan selain dipaksa oleh bapaknya ikut membantu mengolah sawah. Kalau saya, memang tidak begitu hobi membantu bapak saya di sawah. Wong hasilnya begitu-begitu saja. Tambah hitam. Saya nanti jadi perjaka yang tidak laku ditaksir cewek. Bahaya to,” Khoirul pun terkekeh sambil memandang istrinya yang masih muda dan cantik. Istrinya pun memukul ringan pundak Khoirul.

“Ya, tidak ada pilihan lain kecuali saya harus ngurus menjadi TKI agar bisa melamar gadis pujaan saya nantinya. Kalau saya ikut bapak mengolah sawah, kapan saya bisa membanggakan sebagai perjaka yang berani melamar gadis pujaan hati saya. Hitung-hitung kakak saya dan pakde saya juga berada di Malaysia. Saya juga berminat setelah melihat teman-teman saya sukses, membeli sepeda motor dan mobil serta bisa tampil necis, seperti orang kaya….” Khoirul berusaha meyakinkan dirinya bahwa hasil dari kerja di Malaysia sama menghasilkan rizki yang sepadan juga dengan percaya dirinya teman petani tersebut.

“Tapi dia bisa kreatif kan Rul. Dia tidak meninggalkan keluarganya. Tidak perlu jauh keluarga, dia-pun tetap bisa mendapatkan penghasilan justru melebihi kemampuanmu dari Malaysia. Dia sudah bisa membeli mobil dan penghasilannya bisa ratusan juta rupiah saat panen semangka. Itu artinya, dia menang ketimbang dirimu Rul.” Sahut saya sembari mencoba melakukan kritisi terhadap pembelaannya.

“Ha ha ha ha…. Iya deh. Saya jadi orang kesepian di Malaysia. Memang tidak bisa berkumpul dengan keluarga dan tidak bisa bertemu dengan para gadis desa. He he he, sahut Khoirul yang memang mulai mengakui bahwa dirinya tidak seberuntung, bahkan nilai finansial yang didapat memang tidak sebanyak Nirwan. Tapi karena ini jalan yang saya pilih dan saya kurang kreatif dan tidak sabar ingin punya uang banyak, saya memutuskan untuk ke Malaysia.” Khoirul mencoba untuk meyakinkan bahwa Malaysia memang jalan kekayaan finansial yang dipilihnya.

Khoirul memang tidak sendiri diantara para pemuda desa. Bahkan, kakaknya sudah di Malaysia lebih dulu dan adiknya pun juga pendulang devisa di Malaysia. Tidak hanya itu saja, Pakde mereka sudah puluhan tahun mendulang rezeki di Malaysia. Tulangpunggung para pemuda Kalidawir dan sekitarnya, termasuk para keluarga di sekitar kecamatan itu, baik laki-laki atau perempuan, memang banyak yang menjadi TKI dan merantau. Di desa asal saya sendiri, sederet tetangga saya, kiri, kanan, depan dan belakang hampir dipastikan pernah pergi menjadi TKI. Ada yang di Malaysia, Arab, Hongkong, Brunei dan Taiwan.

Khoirul melanjutkan ceritanya, “tetapi memang bedanya, Nirwan memang tidak punya cukup modal untuk pergi ke Malaysia. Dia tidak bisa mengelak untuk membantu bertani ayahnya dan merawat sapi. Proses ini juga lumayan panjang. Kalau saya bandingkan saya yang tidak tekun, barangkali Nirwan paling juga akan ke Malaysia. Dia terpaksa terjun ke pertanian dan peternakan.”

“Tetapi karena Nirwan tekun dan kemudian sebagai anak muda yang senang bergaul, dia mulai bertemu teman dan menemukan contoh inspiratif cara bertani yang sukses. Nirwan waktu itu berpikir, saya sebaiknya pergi ke Malaysia saja. Toh, sawah yang dimiliki bapak hasilnya tidak seberapa. Impas dengan biaya dan pupuk yang sangat mahal. Nirwan sudah bertanya ke beberapa temannya yang juga ingin melancong ke luar negeri. Tetapi karena desakan ayahnya yang melarang dia pergi ke Malaysia, dan dia tidak bisa lepas dari rutinitas setiap pagi ke sawah dengan bapaknya, Nirwan seperti tidak punya pilihan. Padahal Nirwan sudah bersitegang dengan orang tuanya karena pilihan tersebut. Konflik ini menjadikan Nirwan sempat meninggalkan rumah untuk beberapa hari, dan menelantarkan sawah dan sapinya.” Nampak Khoirul bersedih sembari menurunkan nada bicaranya.

Khoirul menarik napas dan melanjutkan ceritanya. “Kegalauan Nirwan tidak begitu panjang karena dia bisa melupakan dengan tetap pergi ke sawah dan merawat sapinya, meskipun sempat dia tinggalkan beberapa waktu karena kegalauan dirinya menghadapi hasrat segera ingin mendapat uang banyak dan terkurung dengan terik matahari di sawah setiap hari dan harus merumput dan merawat sapi bapaknya. Namun, Nirwan tidak kuper dan suka bertemu dengan para petani yang dia lihat sudah sukses menanam jenis tanaman pertanian unggul, seperti semangka dan beberapa komoditas lainnya. Dia habiskan waktunya sembari bermain setelah tugas di sawah dan merumputnya selesai, digunakan waktunya belajar ke petani yang dilihatnya sukses.

Khoirul malnjutkan pembicaraannya. “Sepetak sawah bapaknya kemudian dia jadikan sebagai uji-coba.” Tidak berjalan mulus. Kadang untung banyak dan kadang untung sedikit. Tetapi dasar Nirwan tidak punya pilihan dan jiwa petaninya mulai terbentuk, persinggungannya dengan para petani sukses menjadikan dia tetap sabar dan teguh mencoba. Saat saya tinggal ke Malaysia, saya tidak tahu lagi cerita-cerita pertanian Nirwan.”

“Saya sudah lama kehilangan komunikasi dengan Nirwan, dan sudah tidak saya pedulikan. Kalidawir dan Tulungagung menjadi memori kerinduanku di negeri Jiran. 10 tahun saya memendam kangen dengan kampung halaman. 3 tahun terakhir saya kehilangan pujaan hati saya saat di Malaysia. Padahal saya sudah meniatkan akan pulang melamar gadis yang saya perjuangkan setelah modal kerja saya cukup membuat rumah dan menyambung hidup saat menikah.”

Khoirul berkaca-kaca bercerita pujaan hatinya, tetapi dia tahan agar istri yang disampingnya tidak curiga atau cemburu.  Saya pun menimpali, “looh, saya kira istrimu ini, gadis desa yang kau puja-puja itu Rul.”

“Waduh Kang, jangan buka rahasia deh,” sahut Khoirul. Kami pun tertawa bersama sembari memandang istri Khoirul yang sedikit menunjukkan wajah cemberut. Sembari berusaha memadamkan kecemburuan istrinya, khoirul segera menyahut. “Alhamdulillah, saya dapat kenalan orang di Malaysia, dan punya gadis cantik, yang akhirnya saya beranikan diri melamarnya karena saya tidak ingin sakit hati yang kedua. Saya dapat ganti istri saya ini Kang, dan lebih cuanttik.”

“Ha ha ha.” Suara diam pecah dan kami tertawa bersama. Istri Khoirul memukul ringan tangannya sembari tersipu malu.

Koirul langsung merebut pembicaraan. “Nirwan sekarang sukses dan sombong ke saya, setelah sekian lama saya tidak bertemu. Setelah saya agak lama di rumah mengurus pernikahan dan melanjutkan menjadi kepala rumah tangga dengan istri yang saya kagumi ini, saya sering ngobrol dan berjumpa dengan Nirwan di beberapa tempat warung kopi.”

Nirwan selalu ngece (menggoda dan membully saya). “Rul, podo panase, podo kerjone, tetapi setelah saya bisa menyewa sawah-sawah di sini untuk saya kembangkan menjadi pertanian semangka, hasilnya bisa saya gunakan untuk membeli mobil dan mulai membangun rumah. Saya tidak harus repot dan meninggalkan keluarga, teman-teman saya dan bisa melamar gadis pujaan hati saya. Mengapa harus jauh-jauh melancong ke Malaysia.” ejek Nirwan sembari Khoirul tertawa terbahak-bahak.

“Tapi kan saya juga sudah punya, rumah dan pasangan hidup saya yang juga cantik kan. Bedanya, kamu sudah punya mobil saja. Hee hee.” Khoirul mengakhiri ceritanya.

[BUTTON COLOR=”” SIZE=”” TYPE=”SQUARE” TARGET=”” LINK=””]CERITA INI FIKTIF, TETAPI SETING DAN INTI CERITA DIGUBAH DARI KISAH NYATA YANG SUDAH DIKEMBANGKAN KEDALAM ALUR CERITA PENDEK.[/BUTTON]

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.