Merdeka Belajar di Tengah COVID-19, Benarkah Anak Hanya Sebatas Burung Dalam Sangkar?

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Merdeka belajar merupakan semangat baru di dunia pendidikan. Guru diharapkan mampu menjaga ghiroh tersebut meskipun musibah COVID-19 telah merubah tatanan pendidikan. Sekolah yang secara infrastruktur menjadi tempat interaksi guru dan murid, kini teralihkan menggunakan jejaring virtual. Study from home merupakan garis besar model pembelajaran saat ini. Pemberian tugas secara online membuat siswa terjebak dalam passive learning.

Kampusdesa.or.id– Implementasi merdeka belajar juga membutuhkan bantuan teknologi komunikasi. Saat ini, Komputer, smartphone dan Televisi merupakan media pembelajaran yang paten untuk mensukseskan study from home. Seluruh jenjang pendidikan dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi menggunakan ketiga alat elektronik tersebut. Pola transfering knowledge tidak terlalu bervariasi, guru membagikan tugas kepada siswa dengan membatasi durasi waktu pengumpulannya. Sebagian guru ada yang hanya memberikan soal saja sementara yang lainnya memberikan pembahasan berbentuk video tutorial atau kelas online melalui Whatsapp. Metode pengajaran menjadi sangat simple dan praktis. Pertanyaannya apakah mencerdaskan anak manusia mejadi semudah itu?

Merdeka belajar yang digagas oleh Mas Menteri Nadiem Makariem merupakan wujud dari pendidikan kontruktivisme sehingga pola pengajaran berpusat pada siswa. Siswa dituntut aktif sementara guru bertindak sebagai fasilitator. Model seperti ini cocok jika diterapkan dalam kondisi normal, tidak tepat jika student centered diunggulkan ketika physical distancing masih menjadi fokus negara berperang melawan wabah COVID-19.

RelatedPosts

“ Penekanan proses belajar di rumah bukan terletak pada tugas online harian  akan tetapi lebih kepada kualitas dan akses antara guru dan murid ketika berinteraksi jarak jauh “

Merdeka belajar versi mas menteri sangat erat kaitannya dengan active learning, bahkan active learning secara definitif merupakan merdeka belajar itu sendiri. Karakteristik active learning ditunjukkan dengan ketertarikan siswa dalam proses belajar, siswa mengerjakan apa yang bermakna bagi mereka. Kata kuncinya adalah kegairahan siswa untuk belajar dan keterikatan siswa dalam proses belajar mengajar. Ketika siswa sudah dapat mengarahkan dirinya untuk senantiasa belajar, maka tempat tanpa atap atau gedung bertingkat bukan lagi hambatan untuk mengembangkan kreativitas siswa. Umumnya, kemampaun self directed learning mulai berkembang pada usia pendidikan tinggi atau SMA. Sehingga study from home akan menjadi kendala bagi anak yang usianya di bawah mereka.

Berbicara study from home maka otomatis kita berbicara teknologi. Ketersediaan dan pemahaman penggunaan teknologi menjadi pintu utama pembelajaran online. Technology Readiness harus dimiliki juga oleh orangtua, kenapa harus orangtua? sebab tidak semua siswa siap akan hal itu, pelajar jenjang SD dan SMP sejauh ini lebih mahir menggunakan smartphone untuk gaming dan chating daripada media belajar. Jika orangtua buta teknologi maka study from home menjadi pincang, terlebih lagi bagi keluarga yang tidak memiliki media elektronik maka study from home di tengah karantina wilayah akan menjadi sangkar burung bagi anak anaknya.

Technology Readiness merupakan kecenderungan individu untuk menangkap hal hal baru mengenai teknologi yang bertujuan untuk pemenuhan target belajar. Moftakhari (2013) dan Piskurich (2003) menemukan bahwa kesiapan siswa dalam menggunakan teknologi akan meningkatkan potensi sukses siswa dalam E-learning. Dengan begitu ada kemungkinan merdeka belajar dapat efektif melalui daring.

Mayer (2004) mendukung  pendidikan kontruktivisme, dengan catatan bahwa merdeka belajar hanya bisa diimplementasikan dengan active teaching. Berbeda dengan konsep awal, guru tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi guru perlu peka bagaimana melibatkan siswanya dalam belajar. Inilah hal yang luput dari pandangan tenaga pengajar, yaitu efektifitas pengunaan multimedia dalam pendidikan jarak jauh.

Black dalam Desmon (2005) menuturkan bahwa kesuksesan pembelajaran jarak jauh dapat dilihat dari  kualitas transaksi pendidikan antara guru dengan murid. Ada komunikasi dua arah dalam proses tersebut. Maka paradigmanya bukan student centered atau teacher centered lagi, akan tetapi kolaborasi antara keduanya. Pandemi COVID-19 sedang menguji hubungan mutualisme guru dan murid, keinginan untuk belajar dan mengajar harus terbit dari kedua pihak.

“Pandemi COVID 19 sedang menguji hubungan mutualisme guru dan murid, keinginan untuk belajar dan mengajar harus terbit dari kedua pihak.”

Lantas bagaimana caranya mengoptimalkan pendidikan jarak jauh  dengan memanfaatkan multimedia?

Cognitive Theory of Multimedia Learning (CTML) merupakan buah pemikiran Ricahrd E. Mayer (2005). Teori ini menjelaskan bahwa sebenarnya multimedia akan membantu individu lebih efisien dalam belajar. Siswa akan lebih mudah mengingat kombinasi kata dan gambar daripada hanya tulisan guru di papan tulis. Hal itu terjadi sebab sensory memory manusia akan menyeleksi tumpukan informasi dan mengolahnya menjadi gambar viual dan gambar suara, kemudian diteruskan menjadi sebuah pengetahuan baru di long term memory.

Framework CTML
Framework CTML

Justru yang terjadi di lapangan hanya sekedar tanya jawab yang diudarakan melalui sistem online, tidak menyinggung prinsip mulitmedia yang seharusnya membantu siswa. Dari dua belas prinsip, Mayer (2009) meringkasnya menjadi tiga jenis framework, yaitu:

  1. Mengurangi hal hal yang tidak berkaitan dengan materi.
  2. Fokus pada materi yang penting saja.
  3. Memaksimalkan pada hal yang menarik bagi siswa.

Begini contoh praktisnya, anggap saja guru akan mengajarkan pelajaran sejarah “R.A Kartini” via Whatsapp. Maka guru bisa membuat infografis tentang R.A Kartini, dalam infografis tersebut porsi foto R.A Kartini harus lebih besar, karena itulah mind idea pembelajaranya. Kemudian sisipi foto dengan ukuran lebih kecil peninggalan beliau seperti foto rumah, foto perserikatan dan foto surat habis gelap terbitlah terang. Dibawah foto tersebut ketik maksimal tiga kalimat untuk mendeskripsikan gambar tersebut. Pasti siswa akan mudah menghafal serta memahami sejarah singkat R.A Kartini. Apakah hanya itu? tentu saja tidak.

Dalam The Cambridge Handbook of Multimedia Learning (2005), Mayer menjelaskan beberapa prinsip yang lain, yaitu:

  1. Prinsip animasi dan interaktif
  2. Prinsip usia kognitif
  3. Kolaborasi
  4. Navigasi
  5. Bimbingan discovery
  6. Self explanation & site map

Singkatnya, konsep pendidikan jarak jauh harus melakukan follow up terhadap tugas atau pelajaran yang diberikan. Interaksi yang berkelanjutan berfungsi sebagai kontrol guru dan siswa untuk menghindari fallacy terhadap materi. Bisa dilihat prinsip diatas, ada kolaborasi, navigasi serta bimbingan oleh guru meskipun terpisah layar digital.

Seperti contoh tadi, mau diapakan infografis R.A Kartini tersebut, apa hanya berhenti di soal tanya jawab saja? Jika iya, maka siswa sudah terjebak dalam banking concept. Selain itu site map adalah unsur dari keberhasilan multimedia, ketika siswa tidak bisa memahami apa, mengapa dan bagaimana implementasi pelajaran sejarah R.A Kartini, maka passive learning kembali terjadi, suatu penjajahan dalam pendidikan yang sejak abad delapan belas digugat oleh Paulo Friere.

Jika direnungkan, menyiapkan pembelajaran jarak jauh berbasis multimedia sangat sangat butuh keterampilan dan kegigihan. Merdeka belajar tidak sekedar membagi tugas layaknya forward pesan di Whatsapp, mengganti bungkus buku cetak dengan link e-book atau malah mengganti penjelasan guru dengan men-download tutorial di youtube. Ingat siswa siswi anda bukan mahasiswa Magister!

Merdeka belajar yang saat ini bertahan merupakan perjuangan guru yang perlu diapresiasi. Karena jerih payah mereka pendidikan di Indonesia tidak mati suri, di tangan mereka merdeka belajar masih bisa survive. Namun demikian, tidak ada gading yang tak retak, harus ada evaluasi dan pembekalan mengenai praktik pendidikan jarak jauh yang menyentuh ruh siswa. Mengingat study from home masih akan terus diselenggarakan dalam waktu yang tak dapat ditentukan, sangat disarankan guru dan orangtua meng-upgrade skillnya di bidang teknologi. Inilah kita, digital native yang tak boleh berhenti belajar, karena zaman tak pernah ragu untuk berputar. Pun jua anak cucu kita berhak untuk mendapatkan bekal yang mumpuni di masa depannya kelak.

Editor:Faatihatul Ghaybiyyah

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.