Membumikan Keadilan dalam Keseharian

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Keadilan tidak hanya hadir dalam sebuah perkara hukum dan ada di pengadilan. Keadilan berlaku dalam keseharian. Adil tidak hanya pada orang, tetapi adil juga menyangkut perilaku kita terhadap cara kita hidup. Perilaku yang cenderung mendatangkan kerusakan, sekecil apapun, itu adalah alamat cikal bakal lahirnya ketidakadilan. Misalnya membuang sampah sembarangan, bisa menjadi bagian dari

KampusDesa―Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi prinsip keadilan. Terdapat banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadits yang menekankan kepada umat Islam untuk senantiasa berlaku adil. Bahkan juga dikatakan, adil akan mendekatkan seorang muslim pada ketakwaan. Orang yang bertakwa akan menjadi manusia paling mulia di sisi Tuhannya.

jika keadilan benar-benar dijadikan pandangan dunia dan landasan hidup, konflik-konflik sosial-kemanusiaan yang menjamur hari ini tidak akan terjadi. Perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagian hidup tidak akan menjadi sebuah retorika kosong belaka.

Namun sayang, prinsip dan ajaran fundamental ini justru kurang dipedulikan umat Islam. Padahal, jika keadilan benar-benar dijadikan pandangan dunia dan landasan hidup, konflik-konflik sosial-kemanusiaan yang menjamur hari ini tidak akan terjadi. Perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagian hidup tidak akan menjadi sebuah retorika kosong belaka.

RelatedPosts

Secara sederhana, adil dapat diartikan “menempatkan sesuatu pada tempatnya,” lawannya adalah zalim, yang artinya “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.”

Pengertian sederhana ini akan mempermudah kita untuk menakar apakah kita sudah berlaku adil atau belum. Atau jangan-jangan kita justru sudah berlaku sebaliknya, yaitu zalim. Merujuk pada pengertian ini, suatu perbuatan tidak harus bengis dan kejam untuk disebut zalim. Tapi, perbuatan apa saja yang memposisikan sesuatu tidak pada tempatnya dapat dikategorikan sebagai zalim.

Membuang sampah sembarangan, tidak menyirami tanaman, tidak merawat kebun, tidak merawat hewan peliharaan dengan baik, berkata kasar kepada orang lain, bohong, dan sebagainya juga merupakan bentuk dari kezaliman.

Bentuk-bentuk sederhana ini yang seringkali luput dari kesadaran kita. Keadilan dan kezaliman kita pahami sebagai konsep yang melangit. Padahal, perwujudan keduanya amat membumi. Sebagai pelajar misalnya, kita akan disebut pelajar yang adil jika kita bersedia dengan sungguh-sungguh melaksanakan tugas utama kita, yaitu belajar. Sebaliknya, jika kita mengabaikan tugas utama ini dan justru menenggelamkan diri dalam aktivitas lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan belajar, berarti kita telah menjadi seorang pelajar yang zalim. Konsep ini berlaku pada apapun peran kehidupan yang kita miliki.

Keadilan tidak hanya bertempat di pengadilan dan seputar penegakan hukum saja. Keadilan bertempat di semua sudut aktivitas hidup kita. Karenanya, sudah sewajarnya keadilan kita jadikan sebagai pondasi dan paradigma dalam menjalani hidup ini.

Keadilan tidak hanya bertempat di pengadilan dan seputar penegakan hukum saja. Keadilan bertempat di semua sudut aktivitas hidup kita. Karenanya, sudah sewajarnya keadilan kita jadikan sebagai pondasi dan paradigma dalam menjalani hidup ini. Dengan demikian, kebahagiaan yang kita dambakan dan impikan tidak sulit untuk diwujudkan. Baik itu kebahagiaan dunia yang fana, maupun kebahagian akhirat yang kekal.

Satu di antara indikator apakah kita sudah adil atau belum dalam menjalani hidup adalah dengan melihat bagaimana kita memaknai hidup ini dan bagaimana kita memposisikan semua komponen-komponennya.

Jika kita memaknai hidup sebagai tujuan utama, maka kita telah menzalimi diri kita sendiri. Cara pandang yang demikian ini akan mengakibatkan kita terjerumus ke dalam kebahagiaan yang sejatinya hanya fatamorgana belaka. Kita akan mengerahkan segala daya upaya hanya untuk memperturutkan nafsu belaka. Akibatnya, kita akan gila harta dan tahta.

Padahal dalam agama kita telah jelas diajarkan, bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan sebagai sarana untuk mengumpulkan bekal di kehidupan berikutnya. Yaitu saat kita kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, tujuan utama kita bukanlah hidup ini, melainkan kehidupan berikutnya di mana kita akan bersua dengan-Nya.

Ketidakadilan dalam memahami hidup inilah yang menjadi bidang bagi lahirnya berbagai konflik kehidupan. Ia akan menyebabkan manusia terjebak egoisme, keserakahan, kedengkian, dendam, syirik, ambisi yang berlebih, dan berbagai perilaku negatif lainnya. Naudzubillah min dzalik.[]

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.