Memanusiakan Pekerjaan Rumah Anak

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Pembelajaran tuntas semestinya tiada menyisakan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa. Aneka mata pelajaran yang seharusnya diselesaikan oleh siswa sepenuhnya dapat dituntaskan di sekolah dengan pembimbingan guru. Proses dialog dan interaksi untuk memahami dan menyelesaikan berbagai sisa pemahaman siswa terhadap tema-tema tertentu terjadi di sekolah, melalui hubungan yang fungsional antara guru dengan siswa atau antar-siswa.

PR selalu kontradiksi antara kepentingan guru, anak dan bahkan orang tua. Anak akan dianggap rajin jika di rumahpun mengerjakan PR. Orang tua dijumpai justru akan mengatakan pada guru agar anaknya selalu dibawakan PR agar anak-anak di rumah pun belajar. Saat guru diprotes begitu, mereka seperti bersalah karena guru seolah pemberi jasa yang wajib memberikan layanan terbaik orang yang membeli jasa pendidikan. Padahal jam belajar anak di sekolah sudah cukup lama, apalagi dengan sistem belajar selalu terpusat di kelas dan sekolah seharian penuh (full day school). Waktu di sekolah tersebut seharusnya cukup untuk anak menyelesaikan aneka problematika ilmu dan solusinya. Anak-anak di rumah berganti melakukan fungsi pengembangan diri bersama keluarga dan masyarakat.

RelatedPosts

Mari kita lihat hasil risetnya seperti apa. Galloway, Conner, Pope (2013) melakukan survey pada 4.137 siswa dari 10 SMA yang berkualitas sangat baik di kelompok masyarakat ekonomi menengah atas, bahwa anak-anak menghabiskan waktu 3 jam di rumah untuk mengerjakan PR, memang mereka nampak mempunyai pengalaman aktif terlibat di sekolah (akademik), tetapi ternyata justru mereka nampak stres secara akademik, memunculkan aneka masalah kesehatan fisik, dan kurangnya keseimbangan dalam hidup mereka.

Plus minus PR memang nampak muncul dari berbagai penelitian. Bagi yang percaya bahwa pendidikan merupakan capaian murni akademik saja, maka memang pekerjaan rumah menambah kualitas akademik siswa. Ada penelitian terdahulu yang menunjukkan PR bermanfaat bagi anak-anak yang kurang baik kemampuan akademiknya, dan tidak terlalu berguna bagi yang kemampuan akademiknya bagus. Hal yang menarik dan sangat dimaklumi, PR selalu dipandang negatif dan menimbulkan reaksi emosional yang kontraproduktif bagi siswa.

Tugas Perkembangan Sosial Pun Penting Berkembang di Luar Sekolah

Ahli perkembangan Bronfenbrenner mengungkapkan, anak berkembang terpaut pula dengan proses pembentukan dirinya dengan orang tua, keluarga, masyarakat, atau budaya yang melingkupinya, bukan hanya dihabiskan dengan sekolah saja. Peran di luar sekolah akan semakin melengkapi tugas perkembangan anak. Oleh karena itu, jika PR hanya terfokus pada penambahan dan penguasaan materi akademik, maka pertumbuhan anak menjadi timpang.

Hal ini membuktikan sekolah adalah lembaga dominan dan mengeneralisasi cara anak hidup, sementara peran hidup lain seolah selesai dengan kemampuan menjawab lembar kerja siswa atau unit kegiatan belajar. Terkecuali jika semua tugas tersebut merupakan pembentukan pengetahuan yang dijaring dari pengalaman nyata siswa.

Untuk itu, sebaiknya PR lebih terhubung dengan kehidupan nyata anak dan hal-hal yang dapat merangsang kematangan anak dalam membentuk lingkungan sosial bersama orang tua atau subyek keluarga, tetangga dan budaya setempat yang turut mewarnai baik buruknya perkembangan anak.

Anak-anak diberi kesempatan untuk latihan mengakses praktik-praktik hidup dengan ibunya, bapaknya, anggota keluarga lain, atau membuat aktifitas positid di dalam rumah seperti melatih berbagi jadwal menyapu, berkebun, menanam apotik hidup, mencuci pakaian dan berbagai ketrampilan hidup yang dibutuhkan dalam sebuah keluarga. Di luar rumah, PR anak dapat diarahkan mengakses praktik hidup dengan tetangga, masyarakat lain yang berkonstribusi bagi bentuk-betuk kehidupan anak menjadi lebih baik dalam mengalami hidup di luar sekolah, seperti budaya setempat, tempat ibadah, seni, ikut bertani, ikut berdagang, turut orang tua bekerja di kantor dan lain sebagainya.

Saya mendapatkan contoh di sebuah sekolah adiwiyata MI Miftahul Huda di Jombang. Seorang anak ditugasi sebagai POKJA perikanan. Kebetulan anak ini juga menyukai budidaya ikan sehingga di rumahnya ada kolam ikan kecil miliknya. Ayahnya juga berkonstribusi dalam membuat kolam ikan miliknya di rumah.

Sayang, aktifitas giat perikanan anak ini belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai bagian dari kegiatan belajar yang berkesinambungan antara sekolah, rumah dan sub-budaya tertentu yang membantu anak mengenal lebih jauh dunia perikanan. Sekolah berjalan sendiri, anak dengan kesukaannya sendiri dan keluarga serta masyarakat dengan dinamikanya sendiri.

Miniatur tersebut sebenarnya sangat bagus dijadikan jembatan keilmuan dan belajar. Tugas anak di rumah akan berkaitan dengan perawatan ikan. Dia bisa diajari disiplin di rumah, berbagi kegiatan dengan orang tua, teman bermain di rumah atau bisa juga didorong anak bersama orang tua untuk diajari mengenal pasar ikan.

Jika sekolah berperan seperti ini, maka sekolah pun dapat berkonstribusi memberikan ruang belajar keluarga dan masyarakat karena semua anak-anak didorong untuk membangun pengalaman nyata di rumah dan di masyarakat.

Ini adalah kekuatan besar akan tetapi miskin dikelola dengan baik. Kita semua tahu, jika tugas-tugas yang menantang tersebut datang dari sekolah, orang tua akan berbondong-bondong turut berjuang membantu anaknya. Ini sudah terjadi, saat anak-anak mendapat tugas prakarya, orang tua akan mendukung dengan berbagai cara agar anak bisa bekerja menyelesaikan pekerjaan rumah sesuai harapan. Dukungan begini menjadi potensi yang nyata ada, dan sekolah pun mampu menggerakkan perubahan sosial yang lebih nyata mulai dari keluarga dan masyarakat.

Sayang PR masih saja terbelenggu tugas akademik tekstual, belum tugas mengasah ketrampilan hidup nyata anak di rumah dan masyarakat. Semoga sekolah tidak menjadikan anak-anak individualisme di tengah masyarakat kita yang suka hidup berkelompok dan bermasyarakat. Jika ada sekolah yang sudah begitu, saya acungi jempol, karena telah memanusiakan siswa. Jika ada yang belum, mari ubahlah dengan keberanian bahwa kemanusiaan anak lebih penting dari prestasi akademik absolut yang berhenti dari tarian-tarian tekstual.

Stasiun Jakarta Kota. Minggu, 19 November 2017

Tulisan ini dipublikasikan di Inspirasi Pendidikan Edisi XXVIII, Minggu I/04-10 Desember 2017

Rujukan tulisan

Galloway, Mollie; Conner, Jerusha; Pope, Denise (2013). “Nonacademic Effects of Homework in Privileged, High-Performing High Schools”. The Journal of Experimental Education. 81 (4): 490–510. doi:10.1080/00220973.2012.745469

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.