Masyarakat Kampung Bertanya, Benarkah Pancasila Tanda Tanya?

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Pengenalan Pancasila sebagai kekuatan jiwa bangsa, apakah tidak luput dari keraguan? Saat berbenturan dengan iman, Pancasila dianggap berhala, termasuk bendera. Kesemuanya menjadikan musyrik. Tetapi, Pancasila merupakan ideologi yang terbukti mengikat bangsa ini menjadi satu dalam keanekaragaman dari Sabang sampai Merauke. Apakah Pancasila sudah benar tercamkan di mentalitas anak bangsa?

Aku belum lama mengenal tanggal 1 Juni, jika ternyata 1 Juni adalah hari lahir Pancasila. Mengapa? Banyak sebab. Selain karena sewaktu berada di jenjang sekolah SD, SMP hingga SMA, aku terbilang murid yang kurang berhasrat dengan mata pelajaran PKN. Dugaanku juga karena minimnya masyarakat indonesia yang melek sejarah. Bahkan hampir tidak ada di forum lingkar diskusi kecil ataupun besar yang membahas habis tentang Pancasila.

RelatedPosts

Praktis, saya kira hal ini secara nggak langsung menjadi sebab tidak banyak kalangan yang paham dengan ada apa di tanggal 1 Juni. Faktor lain, kita tahu, walaupun semasa SD, SMP hingga SMA tiap seminggu sekali melalui ceremonial upacara kita selalu membaca teks Pancasila. Namun, itu hanya sekedar teks. Belum pada arah bagaimana mengaktualisasikan teks Pancasila kepada konteks nilai ber-manusia dan bernegara.

Melalui ‘Keppres’nya, setelah mengkaji berbagai macam historis yang ada, Pak Jokowi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Instrumen momentum itu ternyata mampu berdampak signifikan untuk memicu reaksi public.

Ngomongkan soal 1 Juni, baru baru ini publik diuntungkan oleh peran Pak Jokowi. Tepatnya di satu tahun yang lalu. Melalui ‘Keppres’nya, setelah mengkaji berbagai macam historis yang ada, Pak Jokowi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Instrumen momentum itu ternyata mampu berdampak signifikan untuk memicu reaksi publik. Di tanggal itu, dari mulai pemerintah kota, provinsi hingga pusat semua mengadakan upacara ceremonial peringatan harlah Pancasila. Begitu juga di sebagian kalangan masyarakat, mereka nampak mulai ikut-ikutan memperingati harlah Pancasila, walau hanya melalui sosmed yang dimilikinya. Juga akhirnya yang awal mula tidak paham sejarah Pancasila, sedikit banyak mulai mencari tahu sejarah Pancasila.

Sebelumnya, dari hasil -sinauku- di luar bangku sekolah, soal Pancasila setidaknya ada dua versi yang membicarakan kelahiranya. Pertama pada tgl 1 Juni 1945 –sebelum Bung Karno diangkat menjadi Presiden– beliau menyampaikan sambutan dalam forum sidang ‘Dokuritsu Junbi Cosakai’ atau BPUPKI. Beberapa isi sambutanya membahas tentang dasar negara yang kemudian disimbolkan dengan kata Pancasila.

Kedua, pada 18 Agustus 1945 melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dimana sidang tersebut menetapkan dan mengesahkan UUD 1945, yang di dalamnya tercantum teks Pancasila. Sehingga pada tgl 18 Agustus 1945 Pancasila resmi berperan sebagai dasar ideologi bangsa Indonesia.

Namun sudahlah, poin sejarah itu mungkin cukup sebagai pengetahuan saja. Karena hasil pengkajian pemerintah mungkin lebih tajam hingga menetapkan di tanggal 1 sebagai harlah Pancasila. Sebab, di luar kedua versi lahirnya pacasila diatas, setelah ditetapkannya 1 Juni sebagai harlah Pancasila, dibalik itu ada hal penting yang patut diulas lebih mendalam.

Sudahkah Pancasila berperan sebagai representasi perilaku bangsa Indonesia? Lalu sudah paham dan mampukah masyarakat kita ini menerapkan nilai Pancasila dalam bermanusia serta bernegara? Atau jangan-jangan hanya cukup berlaku sebatas slogan semata? Lebih parahnya lagi jika ternyata hanya dimanfaatkan sebagai momentum untuk berpura-pura Pancasila?

Siang kemarin, aku sedang merenovasi rumah. Terdengar keras di telingaku ada beberapa warga kampung depan rumah terlihat sedang asik ngobrol. Termasuk bapakku ikut larut dalam obrolan itu. Mereka nampak serius membicarakan momentum peringatan harlah Pancasila. Sembari aku meneruskan aktifitasku merenovasi rumah, ada sepenggal kata-kata dalam obrolan warga itu yang sampai saat ini masih terngiang dalam ingatanku,

Hallah, masjid, gereja sudah nampak semakin sepi. Atau kalau gak gitu jemaahnya momentuman. Pejabat hanya ke masjid kalau pas waktu butuh pencitraan. Gitu katanya Ketuhanan Yang Mahaesa”

“Hallah, masjid, gereja sudah nampak semakin sepi. Atau kalau gak gitu jemaahnya momentuman. Pejabat hanya ke masjid kalau pas waktu butuh pencitraan. Gitu katanya Ketuhanan Yang Mahaesa (kebetulan yang ngmong itu beragama Kristen).” Warga lain pun menjawab, “benar, kalau dilihat, semakin banyak orang yang tak percaya terhadap Tuhannya masing-masing. Masak sesama agama saling menghujat. Lalu adu domba antar agama saling main hukum menghukum. Belum lagi soal Persatuan Indonesia, huweleh faktanya para pejabat elit hingga penggede-penggede bangsa ya pecah belah, padahal masyarakat yang di kampung-kampung ini lo ya tentram adem ayem. Kok mereka pada ribut dengan sendirinya (terjemahan bebas dari diskusi Bahasa Jawa).”

Hal di atas dirasa cukup representatif jika dibenturkan dengan realitas aktualisasi Pancasila sekarang. Seperti yang baru-baru ini terjadi, adanya pembubaran organisasi anti Pancasila. Iya organisasinya sudah bubar, namun para pelaku dan anggota-anggotanya masih mengidap ideologinya secara penuh, kan percuma namanya. Mereka bakal tetap leluasa mendakwahkan misinya menolak dan membubarkan sistem yang sudah berjalan di Indonesia. Sampai-sampai sekian bulan yang lalu negara tak henti-hentinya mendapat serangan adu domba, yang anti Pancasila dakwah kesana kemari menghasut warga untuk membubarkan Pancasila, yang pancasilaisme bubar membubarkan pengajian yang berbau radikal dan anti pancasila. Ini kan lucu, sesama warga negara Indonesia, namun beda ideologi. Akhirnya saling beradu strategi dan perang dingin tak terelakkan terjadi.

Ngobrol dan diskusi bareng mencarikan solusi secara baik-baik, membicarakan bagaimana enaknya dan jalan tengahnya. Kan katanya Persatuan Indonesia. Biar rakyatnya yang di bawah ini enak melihatnya. Rukun, saling mendukung kan menentramkan hati jika begitu.

Mbok ya yang anti Pancasila sadar diri. Ini negara Indonesia, bukan Arab. Juga yang Pancasilaisme bisa mengerti, kalau menghilangkan kaum miring anti Pancasila tidak harus dengan tindakan represif. Kalau memang punya KTP, pentolan-pentolan mereka diundang ke istana negara, atau ke meja paripurna DPR. Ngobrol dan diskusi bareng mencarikan solusi secara baik-baik, membicarakan bagaimana enaknya dan jalan tengahnya. Kan katanya Persatuan Indonesia. Biar rakyatnya yang di bawah ini enak melihatnya. Rukun, saling mendukung kan menentramkan hati jika begitu.

“Jika tidak begitu, pada akhirnya, mau buat apa ada peringatan harlah Pancasila? Manfaatnya juga apa? Bahayanya lagi, kesaktiannya bisa-bisa malah hilang. Jika ternyata yang memperingati hanya sebatas ceremonial upacara tanpa ada tindak lanjutnya.” begitu unek-unek warga kampung depan rumah saya.

Kini warga indonesia sana-sini sudah terlanjur pada berlomba menyuarakan jargon ‘Saya Indonesia, Saya Pancasila’. Pertanyaannya, mau dibawa kemana Pancasila setelah 1 Juni ini selesai? Dan tindak lanjut jargon-jargon itu bagaimana? Atau memang benar jika, “Pancasila Tanda Tanya?”

Mari saling menjawab, dalam hati, juga dalam berperilaku.

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.