Masihkah Kurikulum Dibutuhkan Oleh Anak-anak ?

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Begini ya, saya ingin memantik diskusi tentang kurikulum dan perkembangan anak-anak yang sedang belajar di kelas. Sedikit saya kutip beberapa definisi atau istilah kurikulum itu apa dulu dan akan saya sajikan sedikit tentang kejadian-kejadian spesifik mengenai kehidupan manusia. Saya mencoba membuka http://edglossary.org/curriculum/ yang mendefinisikan kurikulum itu sebuah muatan belajar dan akademik yang diajarkan di sebuah sekolah atau sebuah program kursus tertentu. Muatan tersebut mencakup pengetahuan dan ketrampilan siswa yang dicapai melalui belajar. Ada tiga kategori dalam kurikulum, yakni adanya standar belajar/tujuan belajar yang mencakup sarana dan prasarana, dan biasanya memiliki cara penilaian untuk melihat hasilnya.

Saat bicara standar belajar, kurikulum tercemar oleh kepentingan politik karena ia akan melibatkan tujuan pendidikan dan hubungannya dengan kebutuhan pemilik kebijakan. Namun, ketika mengacu pada pengertian dasar kurikulum, maka acuan yang termaktub adalah fokus pada apa yang ingin dimiliki siswa, seperti pengetahuan dan ketrampilan. Kalau demikian, kurikulum itu secara teknis bukan komoditas pemerintah tetapi tentang manusianya, yakni kemauan anak untuk belajar apa. Yah, lebih luwesnya, anak mau dibimbing menjadi apa ?

RelatedPosts

Kalau yang ini, disebut dalam edglossary tersebut dengan istilah autenthic learning (pembelajaran otentik).  Kurikulum dalam spektrum pembelajaran otentik bermuara pada kepentingan pelajar, bukan kepentingan lain. Kepentingan tersebut menjawab keinginan anak, profesi yang dicita-citakan,  atau serangkaian tujuan yang memang sejalan dengan kebutuhan dunia nyata bagi anak-anak.  Pembelajaran otentik tidak memisahkan antara proses yang terjadi di kelas/sekolah dengan situasi nyata di luar kelas.

Tulisan yang saya baca dari Lombardi (2007),  pembelajarannya mengutamakan doing (nglakoni) daripada listening (ngrungokno).  Kegiatan belajar mengutamakan proses yang terhubung dengan dunia nyata, teknik-teknik latihan memecahkan masalah secara langsung, mengutamakan partisipasi praktis, bukan didasari oleh acuan buku teks yang diujikan karena kekuatan belajarnya syarat dengan pengalaman yang sesuai dengan konteks kehidupan langsung (Lombardi, 2007; Rule, 2006; http://edglossary.org).

Jika mengandalkan pendekatan humanistik, maka yang paling mendekati kepentingan siswa ya belajar secara otentik. Artinya, kurikulum didefinisikan dekat dengan anak dan jawaban proses belajarnya tidak lain adalah pembelajaran otentik. Oleh karena itu, pembelajaran otentik adalah berbuah perubahan-perubahan potensial yang melekat dalam pengalaman hidup anak-anak.

Anak-anak yang tidak terakomodasi dalam sekolah, kadang justru menjadi anak-anak yang kemudian sukses. Sukses yang bukan didasari oleh semata-mata ukuran akademis. Kadang mereka lebih dapat mengubah tujuan hidupnya dan cepat mendapatkan capaian kesuksesan. Ada beberapa contoh anak yang tidak sukses di sekolah, justru di suatu hari dia berkembang pesat di luar sekolah. Mereka tidak selalu dianggap anak yang tidak cerdas. Ruang kecerdasan mereka berbeda kebutuhan dan ekspresi sehingga kecerdasan mereka lebih cepat memperoleh kemerdakaannya di luar kelas.

Kajian ini bukan menafikan sekolah tetapi seharusnya guru memahami keanekaragaman fakta perbedaan anak.

Kalau kemudian kurikulum didasari bukan oleh kepentingan anak-anak sendiri, maka ia masuk kurikulum yang berlawanan dan menggambarkan kepentingan orang lain (pemerintah). Hari ini, kita berada dalam arus-utama kurikulum yang berorientasi pada kepentingan kekuasaan dan artinya, dia mengingkari kepentingan anak. Oleh karena itu, tinggal kita memilih saja, sekolah itu kepentingan siapa. Jika itu adalah kepentingan pemerintah, apalagi guru untuk menuntaskan tanggungjawab pekerjaan, yah, kurikulum itu sebenarnya tidak dibutuhkan anak untuk menjawab hidupnya yang bersifat otentik.

Apakah kemudian tetap saja kita ngotot mengubah di sana sini mengenai kebijakan kurikulum yang karena dalih-dalih tersebut, perubahan kebijakan kurikulum tidak pernah menyentuh suara anak ? ini lah yo dehumanisasi  ?

Saya menjadi ingat kitab washoya, saat kita merenggut hak orang lain, atau tidak memenuhinya, maka kewajiban kita untuk mengembalikannya. Walah, terus bagaimana pendidikan yang sudah kadung panjang urusane .

Oke silahkan hadir di acara Jagongan Para Pakar sebagaimana yang ada dipamflet tersebut. Mari mendengarkan dan turut berkonstribusi untuk perubahan pendidikan Indonesia. Silahkan bergabung dengan menguak lebih dalam apa itu Sekolah Garasi dan ketidaktakutan pengelola Sekolah Garasi untuk berbeda dari sekolah lainnya. Sekolah yang standar nilainya nyata, tidak direkayasan dengan pengatrolan di sana sini.

Mari kita lakukan terobosan dan praktis pada Minggu, 08 Oktober 2017 nanti.

Jika Anda bingung, silahkan mengakses goolge map Sekolah Garasi.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.