Gus Dur, Anak Muda, dan Narasi Baru Islam Tradisional

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Jelang Temunas GUSDURian, Yogyakarta 10-12 Agustus 2018, Jaringan Gusdurian mengadakan Temu Nasional. Temu ini bertujuan meracik aneka gerakan yang sudah tersebar secara nasional. Gusdurian ada di beberapa kota di dunia. Pertemuan ini menjalin berbagai nilai untuk dijadikan strategi baru mengokohkan gerakan. Berikut refleksi Zainul Hamdi (Inung) sebagai bahan sebuah sudut pandang bahwa Gus Durlah yang meneladankan pemikiran kritis anak muda NU dan meski sering bertabrakan dengan orang tua, kekritisan itu tetap tidak melepaskan kecintaan anak muda pada NU.

“Gus Dur menginspirasi!” Itu hal biasa, selumrah mengatakan Gus Dur adalah tokoh Nahdlatul Ulama. Yang belum banyak diuraikan adalah penjelasan bagaimana Gus Dur mewariskan “hartanya” kepada para anak muda, khususnya generasi muda NU, yang membuat kelompok ini membangun dirinya menjadi generasi baru NU yang berbeda. Tidak bisa diingkari bahwa penangkap antusias ide-ide Gus Dur adalah anak-anak muda. Legacy Gus Dur itu hingga kini tetap menginspirasi ribuan anak-anak muda, baik yang berlatar belakang NU maupun tidak.

RelatedPosts

Gus Dur menginspirasi kerja-kerja pemberdayaan ekonomi kerakyatan sampai perlawanan rakyat. Gus Dur menyemai gagasan teologi pembebasan sampai civil society.

Kita bisa menghitung beberapa capaian perjuangan Gus Dur, misalnya penerimaan Pancasila, pemulihan hak-hak warga Tionghoa, dan demiliterisasi kehidupan politik Indonesia. Namun, karya Gus Dur yang tak ternilai harganya adalah ide-ide dan teladan tindakannya yang menginspirasi ribuan anak muda akan kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan beragama, yang lebih manusiawi. Gus Dur menginspirasi kerja-kerja pemberdayaan ekonomi kerakyatan sampai perlawanan rakyat. Gus Dur menyemai gagasan teologi pembebasan sampai civil society. Gus Dur menjadi teladan bagi para aktivis HAM hingga para feminis. Gus Dur adalah roh yang menjadi nafas gerakan anak-anak muda.

Sejauh yang bisa dilacak, sosialisasi ide-ide awal Gus Dur dimulai di awal tahun 70-an melalui tulisan-tulisannya yang dipublikasikan di beberapa media nasional. Tahun-tahun ini adalah era di mana anak-anak orang NU yang semula hanya mengecap pendidikan pesantren mulai masuk ke perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi keislaman. Pendidikan tinggi membawa anak-anak Muslim tradisionalis ini mulai berani berfikir kritis atas berbagai wacana keagamaan yang selama ini dianggap baku dalam tradisi keislaman pesantren. Lingkungan perguruan tinggi juga memungkinkan anak-anak pesantren ini terpapar oleh wacana dan gerakan sosial-budaya-politik kontemporer yang tidak ada referensinya dalam kitab kuning, kitab keislaman klasik yang dikaji di pesantren.

Dasawarsa 80-an, Gus Dur sudah memantapkan dirinya dalam blantika gerakan intelektual dan sosial nasional. Tahun-tahun ini ditandai dengan mulai masuknya anak-anak muda NU ke dalam perguruan tinggi umum sebagai akibat dari kesadaran pendidikan yang semakin tinggi di kalangan orang-orang NU. Generasi baru NU ini mempelajari ilmu-ilmu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam.

Bagaimanapun juga, pengalaman pendidikan di perguruan tinggi melahirkan satu generasi NU baru yang membawa pemikiran dan aspirasi ke-NU-an yang berbeda dengan para orang tuanya. Generasi baru ini memiliki kebutuhan yang berbeda dari para pendahulunya. Gus Dur-lah yang mampu memenuhi ekspektasi generasi baru ini. Gus Dur sanggup menampilkan dirinya sebagai orang NU dalam sosok yang lebih up to date: fasih dalam ilmu-ilmu keislaman tradisional, juga terpelajar dalam kehidupan intelektualitas kehidupan modern-urban. Gus Dur mampu mengartikulasikan Islam tradisional dalam terma-terma modern dan menempatkan Islam tradisional dalam arus gerakan sosial kontemporer. Gus Dur, misalnya, menjelaskan pesantren sebagai sub-kultur dan kyai sebagai cultural broker. Pesantren digambarkan sebagai LSM sejati yang sangat potensial dalam kerja-kerja pemberdayaan rakyat.

Wacana keislaman pesantren yang selama ini dianggap beku dan konservatif dikelolanya sedemikian rupa menjadi wacana keislaman yang sangat progresif tanpa kehilangan pijakannya pada tradisi asalnya.

Tawaran-tawaran Gus Dur ini ibarat benih yang disemai, di mana lahannya adalah anak-anak NU yang mengenyam pendidikan tinggi itu. Tidak mengherankan jika dari generasi inilah Gus Dur membangun timnya ketika dia mulai melakukan pembaharuan di tubuh NU. Ketika dia akhirnya memegang tampuk tertinggi di organisasi yang didirikan kakeknya itu, dia dan timnya tersebut mendorong NU menjadi sebuah organisasi keislaman yang tidak lagi hanya begulat dalam masalah-masalah teologis, tapi juga meletakkan NU (dan pesantren) sebagai bagian dari gerakan pemberdayaan rakyat. Wacana keislaman pesantren yang selama ini dianggap beku dan konservatif dikelolanya sedemikian rupa menjadi wacana keislaman yang sangat progresif tanpa kehilangan pijakannya pada tradisi asalnya. Sebegitu progresifnya pemikiran-pemikiran keislaman yang diusung Gus Dur, hingga para peniliti Islam Indonesia sampai harus mengoreksi penilaian biner yang sudah ada selama ini bahwa Muhammadiyah adalah modern dan NU adalah tradisional.

Di era 90-an, Gus Dur mendorong NU semakin jauh. Ketika otoritarianisme Orde Baru semakin mengeras, Gus Dur meletakkan dirinya sebagai tokoh penting dalam gerakan melawan rejim. Sepak terjang Gus Dur ini, sedikit banyak, meletakkan NU sebagai entitas sosial yang melawan pemerintah. Kyai-kyai sepuh jelas dibuat serba salah. Melawan pemerintah yang sah adalah sesuatu yang baru jika dilihat dari kaca mata fiqh tradisional. Memang, sebelyum era Gus Dur pun NU pernah berseteru keras dengan pemerintah, namun isu-isu yang muncul adalah masalah keimanan dan ibadah, misalnya dalam kasus UU Perkawianan dan pengakuan negara terhadap aliran kepercayaan. Tapi di tangan Gus Dur, perlawanan ini memunculkan narasi baru, yaitu civil society.

Bagi generasi baru ini, NU adalah apa yang dicontohkan Gus Dur, yang itu berarti perlawanan terhadap otoritarianisme, pembelaan atas kelompok-kelompok minoritas yang disubordinasi dan didikriminasi, perjuangan HAM, dan sebagainya.

Narasi baru perlawanan ini tentu saja ditangkap anak-anak muda NU generasi 90-an yang sudah sangat mapan dalam arus pemikiran dan gerakan sosial-politik kontemporer. Tahun 90-an inilah booming intelektual muda NU terjadi, momentum yang sudah bisa diprediksi sebelumnya. Generasi baru ini tidak memiliki referensi lain tentang ke-NU-annya kecuali ke-NU-an yang dinarasikan Gus Dur. Bagi generasi baru ini, NU adalah apa yang dicontohkan Gus Dur, yang itu berarti perlawanan terhadap otoritarianisme, pembelaan atas kelompok-kelompok minoritas yang disubordinasi dan didikriminasi, perjuangan HAM, dan sebagainya. Mulailah keluar dari lisan para anak muda NU ini istilah-istilah civil society, demokratisasi, human rights, feminisme, otonomi kebudayaan, bahkan istilah-istilah yang selama ini lahir dalam tradisi gerakan kiri.

Dalam bidang pemikiran dan gerakan keislaman, Gus Dur menginspirasi anak-anak muda mulai dari teologi pembebasan hingga wacana dekonstruksi keagamaan. Gustavo Gutierrez, teolog pembebasan Amerika Latin menjumpai anak-anak muda NU melalui lisan Gus Dur. Gus Dur juga mengenalkan tradisi pemikiran keislaman kritis Afrika Utara yang dipengaruhi oleh filsafat kritis Prancis. Mulailah Hasan Hanfi, Mohammed Arkoun, An-Naim, dsb dipelajari, diterjemah, dan diterbitkan oleh anak-anak didik Gus Dur ini. Tanpa selalu dipandu sang mentor, anak-anak muda yang menyala ini terus melangkah dengan spirit gusdurian yang telah tertanam di dadanya.

Anak-anak muda NU yang diinspirasi oleh pemikiran dan gerakan Gus Dur itu kini tumbuh menjadi para intelektual dan aktivis sosial yang matang. Di dunia akademik, mereka menjadi punggawa utama dalam gerakan pemikiran progresif Islam Nusantara. Di wilayah gerakan sosial, mereka sangat percaya diri membela pluralisme dan membuat acara-acara lintas-agama. Sebagaimana mentornya, anak-anak muda ini bersahabat baik dengan para pendeta, pastor, dan biksu, bahkan tidak jarang membuat acara di gereja atau di kelenteng. Anak-anak muda ini juga tersebar dalam gerakan-gerakan HAM, kesetaraan gender, advokasi lingkungan, pemberdayaan ekonomi rakyat, gerakan budaya, dan politik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kasus-kasus tertentu, ana-anak muda NU terpaksa berhadapan dengan orang-orang NU tua. Misalnya, pembelaan mereka terhadap hak berkeyakinan kelompok-kelompok yang dianggap sesat atau advokasi kesetaraan gender membawa anak-anak muda ini dianggap terlalu “liar”. Namun, apakah anak-anak ini bisa dianggap telah berada di luar lingkar NU? Mungkin mereka adalah anak-anak NU muda liar jika diukur dari pandangan mainstream, namun seperti Gus Dur, mereka tidak pernah melangkahkan kakinya keluar dari rumah NU-nya. Mereka tidak pernah melepas kecintaan dan kebanggaannya terhadap organisasi Islam tradisional ini. Ketajaman kritik-kritiknya tidak pernah mengalahkan kebesaran cintanya pada organisasi yang didirikan oleh Hasyim Asy’ari ini. Mereka hanyalah generasi baru NU yang memiliki pemikiran, gerakan, dan aspirasi yang berbeda dari para ayahnya. Mereka adalah anak-anak muda NU yang menemukan referensi ke-NU-nya pada diri Gus Dur, sebuah referensi yang pas bagi generasi ini.[]

Ahmad Zainul Hamdi. Senior Gusdurian dan Dosen Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.