Bencana Alam: Faktor Pembangunan yang Diabaikan

327
SHARES
2.5k
VIEWS


Upaya penanggulangan bencana tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Semua elemen masyarakat perlu untuk dilibatkan. Literasi bencana, kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana perlu untuk terus dibangun. Sayangnya, upaya yang terakhir  belum diprioritaskan selama ini. Bagaimana sebaiknya?

Julukan negara Indonesia sebagai negara maritim merupakan berkah potensi pembangunan yang investasinya sangat menggiurkan bagi mereka yang berkecimpung di bidang kelautan dan perikanan. Julukan negara agraris juga disematkan bagi Indonesia yang juga berkah bagi potensi pembangunan bidang pertanian karena sebagian besar tanah kita subur dan kaya sumberdaya mineral karena Indonesia terdapat pada jalur gunung api dunia (ring of fire). Namun, jika pernyataan tersebut diputar balik, Indonesia sebagai negara maritim rawan potensi tsunami dan banjir rob. Selain itu, indonesia negara agraris rawan terkena dampak tanah longsor, rawan kebakaran hutan, dan rawan terkena dampak gunung meletus, dan masih banyak lagi jenis bencana alam lainnya. Maka kita sesungguhnya hidup di negara yang memang nyaman untuk dihuni ataukah hidup di negara yang rawan bencana?

Kerugian finansial yang ditimbulkan oleh bencana alam tidaklah kecil, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut kerugian untuk kasus kebakaran hutan selama tahun 2015 sebesar Rp. 210 Triliyun

RelatedPosts

Kondisi empiris bencana alam saat ini dapat dilihat setidaknya dari bencana alam letusan Gunung Agung di Bali per Juli tahun 2018 dinaikkan dari level siaga ke level awas. Kondisi Gunung Sinabung di Sumatra Utara hingga tahun 2018 masih dalam status awas sejak tahun 2015. Sementara itu peristiwa bencana alam lainnya seperti banjir dan tanah longsong terus terjadi, Seperti di Kabupaten Banyuwangi terjadi banjir bandang bulan Juni tahun 2018. Kejadian tanah longsor terjadi di Pasirpanjang, Salem, Brebes pada bulan Februari tahun 2018.

Bencana ini menyebabkan tujuh orang meninggal dunia dan 13 orang dinyatakan hilang dan sebanyak 245 jiwa harus mengungsi. Menteri sosial mengatakan bahwa terdapat 2.163 bencana dengan 264 korban jiwa pada 2017. Sementara itu, telah ada 946 kali bencana dengan 101 korban hingga awal Mei 2018. Kerugian finansial yang ditimbulkan oleh bencana alam tidaklah kecil, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut kerugian untuk kasus kebakaran hutan selama tahun 2015 sebesar Rp. 210 Triliyun. Dari data di atas, bencana alam sesungguhnya meninggalkan kerusakan yang bisa menghambat pembangunan secara nasional.

Peristiwa Tsunami besar di Aceh tahun 2004 silam masih menyisakan renungan bagi kita semua. Kita hanya pasrah menghadapi bencana atau kita selalu siap dan tahan dalam mengahadapi bencana karena kita hidup di daerah yang rawan bencana. Usaha ini bukan bermaksud melawan takdir Tuhan karena terdapat banyak persepsi tentang bencana alam sebagai sebuah illahiyah. Namun sebaliknya kita berusaha memperbaiki keadaan (ikhtiar) yang  masih jauh dari peristiwa bencana (pra bencana) sebagai langkah antisipasi ketika bencana sesungguhnya datang. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 telah merubah paradigma penanggulangan bencana di Indonesia yakni dari tahap pasca bencana pada tahap pra bencana sehingga fokus penanggulangan bencana dilakukan pada kegiatan perencanaan, pencegahan, pengurangan resiko bencana, pendidikan, pelatihan, mitigasi, peringatan dini, kesiapsiagaan.

Tahap prabencana tersebut merupakan tahapan dalam manajemen bencana yang meliputi pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Akan tetapi di beberapa kasus ditingkat lokal, penanganan bencana masih bersifat pasca bencana. Fenomena tersebut dapat dilihat pada banjir di Kabupaten Pacitan bulan November Tahun 2017. Perbaikan tanggul jebol akibat banjir baru dilakukan setelah banjir menghancurkan tanggul tersebut. Ini menjadi pertanyaan fundamental kita, mengapa perawatan tanggul penahan banjir tidak dilakukan pada masa pasca banjir atau dilakukan pada masa kemarau?. Ini baru aspek strukturlal, belum lagi aspek non-struktural seperti penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.

Banyak program pemerintah daerah terkait sosialisasi tanggap bencana, Namun menyiapkan sistem masyarakat yang tangguh bencana terasa lebih penting mulai dari pendidikan, penyiapan jalur alternatif evakuasi, penyediaan rumah korban bencana alam, sistem mata pencaharian yang pro lingkungan, dan masih banyak lagi

Banyak program pemerintah daerah terkait sosialisasi tanggap bencana, Namun menyiapkan sistem masyarakat yang tangguh bencana terasa lebih penting mulai dari pendidikan, penyiapan jalur alternatif evakuasi, penyediaan rumah korban bencana alam, sistem mata pencaharian yang pro lingkungan, dan masih banyak lagi. Konsekuensi tersebut memerlukan kebijakan pembangunan yang memperhatikan aspek kebencanaan di tingkat pemerintah daerah (pemda). Pemda pun, sebagian besar penanggulangan bencana belum banyak menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah selama 5 tahunan. Akibatnya bencana tidak menjadi roh dalam pembangunan sektor. Apalagi menyangkut peningkatan kapasitas kesiapsiagaan menghadapi bencana yang notabene masuk tahap pra bencana. Indikator ini juga tercermin dari alokasi dana untuk penanggulangan bencana yang rata-rata kurang dari 0,5% dari APBD (sumber:BNPB)

Dalam hal ini, memang terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman bencana. Tetapi belum menjadi perilaku (attidude) dan praktek atau budaya sadar bencana. Sebagai perbandingan, Amerika memporsikan anggaran 1 US dollar untuk kegiatan pengurangan bencana yang mampu mengurangi kerugian 7 US dollar. Di Eropa, 1 US dollar  mampu mengurangi 10-40 US dollar. Khusus bagi Indonesia, manfaat pengurangan resiko bencana lebih efektif karena mendapat dukungan modal sosial yang besar. Perlu ditekankan bahwa kita menghadapi bencana alam bukan mencegah atau menghindari bencana alam tersebut, namun kita perlu melakukan antisipasi dampak yang ditimbulkan atau mengurangi resiko dampak yang diakibatkan oleh bencana alam.

Integrasi implementasi kebijakan antara Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa pembangunan menimbulkan bencana jika Pasal 2 dan pasal 3 UU 25/2004 tidak dilaksanakan yakni perencanaan pembanguan dilakukan dengan prinsip berawawasan lingkungan dan dilakukan di semua bidang kehidupan secara terpadu.

Sebagai penutup, integrasi implementasi kebijakan antara Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa pembangunan menimbulkan bencana jika Pasal 2 dan pasal 3 UU 25/2004 tidak dilaksanakan yakni perencanaan pembanguan dilakukan dengan prinsip berawawasan lingkungan dan dilakukan di semua bidang kehidupan secara terpadu. Pendekatan dalam manajemen bencana ini memang memerlukan upaya yang komprehensif dari seluruh stakeholder baik pemerintah, masyarakat dan swasta untuk menciptakan masyarakat yang tangguh menghadapi bencana.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.